Pemerintah Tarik Utang, Cadangan Devisa Naik Rp13,8 Triliun

Jakarta, IDN Times - Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia pada akhir Februari 2023 mencapai 140,3 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp2.155,7 triliun (kurs Rp15.364). Posisi cadev meningkat 0,9 miliar dolar AS atau Rp13,8 triliun dibandingkan dengan posisi pada akhir Januari 2023 sebesar 139,4 miliar dolar AS.
"Peningkatan posisi cadangan devisa pada Februari 2023 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak serta penarikan pinjaman luar negeri pemerintah,” ungkap Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam siaran pers, Selasa (7/3/2023).
1. Cadangan devisa di atas standar kecukupan internasional

Erwin menjelaskan, posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
“Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” tambahnya.
Ke depan, lanjut Erwin, BI memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga. Seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional.
2. Ketidakpastian global berlanjut

Dihubungi terpisah, Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Faisal Rachman mengatakan ketidakpastian global terus berlanjut, memberikan tantangan bagi ketahanan sektor eksternal Indonesia.
"Kami terus mengantisipasi bahwa neraca transaksi berjalan Indonesia akan berubah menjadi defisit yang dapat dikelola di tahun ini dibandingkan surplus tahun lalu," ucapnya kepada IDN Times, Selasa (7/3/2023).
Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan ekspor cenderung melambat akibat penurunan harga komoditas. Hal tersebut didorong oleh permintaan global yang melemah di tengah tingginya inflasi dan berlanjutnya kenaikan suku bunga kebijakan.
3. Surplus perdagangan diproyeksi susut

Surplus perdagangan diproyeksikan menyusut tetapi bisa bertahan lebih lama dari yang diantisipasi karena penurunan harga komoditas akan lebih bertahap. Hal itu berkat pembukaan kembali ekonomi China dan kondisi kawasan Euro yang lebih baik dari perkiraan.
Namun pertumbuhan impor dapat lebih kuat karena permintaan domestik cenderung terus menguat. Hal ini menyusul pencabutan PPKM pada akhir tahun 2022 dan keputusan untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional.
"Pertumbuhan impor terlihat melemah dari pertumbuhan tahun lalu karena harga minyak yang lebih rendah," ujarnya.