Penasihat Prabowo: Danantara Gak Akan Bernasib Seperti 1MDB

- 1MDB menjadi ajang korupsi besar-besaran di Malaysia dengan miliaran dolar hilang akibat disalahgunakan oleh elite politik dan kroni-kroninya.
- Penunjukan Rosan Roeslani, Dony Oskaria, dan Pandu Sjahrir untuk memimpin Danantara diyakini memiliki kompetensi apik dan tidak ingin lembaga ini jadi 1MDB.
- Danantara memiliki kapasitas keuangan yang sangat besar, sehingga jika tidak diawasi dengan baik, bisa menjadi bancakan bagi para elite penguasa. Peluncuran Danantara terjadi di tengah ketidakpastian iklim investasi global.
Jakarta, IDN Times - Penasihat Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan, Bambang Brodjonegoro meyakini Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara alias Danantara tidak akan bernasib sama seperti 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
Sistem 1MDB didirikan oleh pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak sebagai badan investasi strategis yang bertujuan untuk mendorong pembangunan ekonomi Malaysia. Namun, dalam praktiknya 1MDB justru menjadi ajang korupsi besar-besaran dengan miliaran dolar hilang akibat disalahgunakan oleh elite politik dan kroni-kroninya. Tak heran jika kemudian skandal 1MDB sempat mengguncang Malaysia.
"Itu barangkali negatif sentimen yang muncul, karena 1MDB itu dibuat dari nol oleh (11:09) Najib Razak, tapi jangan lupa Malaysia sudah punya sebelumnya Khazanah dan itu baik-baik aja. Jadi melihatnya jangan 1MDB, melihatnya harusnya Khazanah-nya," tutur Bambang kepada IDN Times, dikutip Kamis (27/2/2025).
1. Personel Danantara lebih dapat dipercaya

Mantan Menteri Keuangan tersebut pun yakin, orang-orang yang ditunjuk Presiden Prabowo Subianto untuk memimpin Danantara memiliki kompetensi apik.
Prabowo memilih Rosan Roeslani yang kini menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai CEO Danantara. Selain itu ada juga Wamen BUMN dan eks Dirut InJourney, Dony Oskaria sebagai COO Danantara serta Pandu Sjahrir sebagai Chief Investment Officer (CIO) Danantara.
"Dari segi personel saya kok lebih percaya yang ditunjuk sekarang pasti tidak ingin Danantara ini jadi 1MDB," kata Bambang.
2. Danantara punya risiko tinggi dan berpotensi mengulangi skandal 1MDB

Sebelumnya, Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menerangkan, untuk bisa memahami risiko yang dihadapi Danantara, publik dapat belajar dari skandal 1MDB.
Lebih jauh Nur Hidayat menyebutkan, 1MDB dan Danantara punya kesamaan cukup mencolok. Keduanya sama-sama lembaga yang diciptakan pemerintah dengan klaim untuk mengelola investasi nasional, tetapi dengan pengawasan lemah dan kekuasaan sangat terpusat.
Skandal 1MDB juga menunjukkan bagaimana dominasi politik atas suatu lembaga bisa menggantikan prinsip rule of law. Di Malaysia, investigasi terhadap 1MDB baru berjalan ketika tekanan internasional meningkat, bukan karena ada mekanisme pengawasan domestik yang kuat.
"Kekhawatiran yang sama berlaku untuk Danantara. Jika lembaga ini lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik daripada regulasi yang ketat, maka skandal serupa bisa terjadi," ujar Nur Hidayat.
"Dengan modal awal mencapai Rp1.000 triliun dan aset pengelolaan Rp14.670 triliun, Danantara memiliki kapasitas keuangan yang sangat besar, yang jika tidak diawasi dengan baik, bisa menjadi bancakan bagi para elite penguasa," sambung dia.
3. Danantara dibentuk pada saat iklim investasi tidak pasti

Di sisi lain, Nur Hidayat menyoroti momen peluncuran Danantara di tengah iklim investasi yang tidak pasti. Nur Hidayat menilai, pembetukan Danantara terjadi di tengah ketidakpastian iklim investasi global.
Dengan ketegangan geopolitik yang meningkat, suku bunga yang tinggi, dan perlambatan ekonomi global, tantangan dalam mengelola investasi negara menjadi semakin kompleks. Untuk menghadapi tantangan ini, sebuah lembaga investasi harus memiliki tata kelola yang kuat dan transparansi tinggi agar tetap bisa menarik kepercayaan investor domestik maupun internasional.
"Namun, hingga kini, Danantara masih minim dari aspek governance yang jelas. Tidak ada jaminan bahwa kebijakan investasinya akan benar-benar didasarkan pada prinsip kehati-hatian (prudential principles) dan bukan sekadar instrumen untuk memperkaya kelompok tertentu. Jika mekanisme pengelolaan yang diterapkan tidak jelas, maka lembaga ini berisiko mengalami kegagalan atau bahkan menjadi pusat skandal keuangan baru di Indonesia," tutur Nur Hidayat.