Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

RI Cita-Cita Swasembada Pangan, Gimana Nasib Diversifikasi?

Talkshow Faperta Harvest Day IPB. (dok. IPB)

Jakarta, IDN Times - Swasembada pangan, terutama beras, selalu menjadi cita-cita pemerintah yang tak kunjung tercapai. Di sisi lain, Indonesia juga punya cita-cita diversifikasi pangan.

Menurut Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Mumpuni, kemandirian pangan yang bisa diperoleh dari swasembada tak bisa hanya mengandalkan beras.

Dia mengatakan, untuk mencapai kemandirian pangan, masyarakat harus mau mengonsumsi komoditas pangan lokal yang diproduksi daerah masing-masing.

"Kemandirian pangan kita harus based on local wisdom," kata Tri Mumpuni dalam Talkshow Faperta Harvest Day Institut Pertanian Bogor (IPB), Minggu (24/9/2023).

1. Diversifikasi pangan bertabrakan dengan cita-cita swasembada beras

Sawah padi. (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk atau BRI, Sunarso yang merupakan alumni Agronomi Institut Pertanian Bogor (IPB), turut menyoroti diversifikasi pangan demi mencapai kemandirian pangan Tanah Air.

Misalnya, diversifikasi beras dengan konsumsi sagu. Sayangnya, jumlah masyarakat yang mengonsumsi sagu menurun. Sebab, masyarakat Indonesia menurutnya dibiasakan untuk mengonsumsi beras.

"Ini adalah masalah kebijakan diversifikasi pangan yang menurut saya memang harus diorkestrasi lagi. Tapi ini sudah terlanjur, yang mengonsumsi sagu sudah berkurang, kemudian yang produksi sagunya sendiri ada nggak? Bisa dihitung dengan jari ya," ucap Sunarso.

Dia mengatakan, diversifikasi demi mencapai kemandirian pangan akan sulit tercapai jika ditabrakkan dengan cita-cita swasembada beras.

"Yang kita sayangkan adalah bahwa ada satu periode, di mana kita di waktu yang sama mau mendiversifikasi pangan, tapi kemudian di waktu yang sama juga, demi gengsi swasembada dan segala macam, kemudian pangan malah diseragamkan menjadi beras, itu yang jadi masalah," tutur Sunarso.

2. Masalah kepemilikan lahan bikin cita-cita swasembada sulit tercapai

Petani memanen padi di kawasan Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten. (IDN Times/Herka Yanis P.)

Selain adanya tabrakan antara cita-cita swasembada dan diversifikasi pangan, menurut Sunarso, persoalan lainnya adalah kepemilikan tanah yang terbatas, terutama bagi petani di pulau Jawa. Hal itu menyebabkan untuk menanam padi menjadi tidak menguntungkan.

"Bagaimana kita bisa swasembada dengan struktur kepemilikan tanah di Jawa rata-rata 0,3 hektare per KK. Per KK loh, bukan per orang. Bagaimana bisa swasembada dengan struktur pertanian yang mozaik seperti itu? Terus bagaimana kalau swasembada itu menyejahterakan petani? Tidak mungkin, jawabannya tidak mungkin," tutur Sunarso.

Akibatnya, banyak petani dengan kepemilikan lahan yang kecil beralih ke profesi lain, seperti menjadi pedagang makanan kaki lima.

"(Misalnya) saya petani, mending saya jual buat biaya kuliah di IPB dari pada saya mengandalkan lahan 3 ribu meter itu untuk survive, tidak mungkin, dan rasionalisasinya akan terjadi seperti itu. Termasuk terciptanya usaha-usaha informal," ujar Sunarso.

3. Kesejahteraan petani menjadi kunci kemandirian pangan

Petani di Penajam Paser Utara panen padi (IDN Times/Ervan)

Untuk bisa meningkatkan kesejahteraan dan produksi petani dengan kepemilikan lahan yang kecil, menurutnya bisa dengan mengkonsolidasi sawah atau lahan pertanian.

Kesejahteraan petani itu menjadi kunci untuk mencapai kemandirian pangan, baik melalui swasembada ataupun diversifikasi pangan. Namun, dia mengatakan, hal itu tak akan bisa tercapai jika petani hanya menjual barang yang belum jadi atau diolah.

"Meningkatkannya itu ya jangan dengan jual gabah dong, apalagi gabah kering panen (GKP). Apalagi hasil di Indramayu, nyatu. Yang panen saja dari 5 karung, dapatnya 2. Itu nyatu namanya, di Indramayu, di Karawang, dulu ya, sekarang juga masih ada seperti itu. Kalau gitu jangan jual gabah, ditingkatkan," tutur Sunarso.

Dia mengatakan, perlunya meningkatkan nilai tambah dari produksi petani. Salah satunya dengan menyalurkan hasil produksi petani ke industri tepung, yang menurutnya hingga saat ini berhasil tumbuh dengan pesat.

"Industri-industri yang berbasis tepung itu maju. Tapi kalau model-model itu dikembangkan ke petani-petani yang lahan sempit tadi, menurut saya begini, proses pengusahaan lahan itu harus dikonsolidasikan. Supaya skalanya memenuhi skala ekonomi, dan itu bisa jadi proses agribisnis yang efisien, produknya sendiri juga efisien," ujar Sunarso.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us