SBY Ungkap Alasan Dulu Bawa RI Keluar dari OPEC

- Produksi minyak terus menurun, dari 1,5 juta barel per hari menjadi 600 ribu barel per hari.
- Dorong peralihan ke energi terbarukan yang berkelanjutan, dengan strategi, kebijakan, teknologi, dan kemitraan yang tepat.
- Indonesia pernah menjadi pemain utama migas dunia dengan lifting minyak mencapai 1,5-1,6 juta barel per hari pada tahun 1996-1997.
Jakarta, IDN Times - Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelaskan alasan di balik keputusan Indonesia keluar dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada masa pemerintahannya.
Menurut SBY, langkah itu diambil karena kondisi Indonesia yang sudah berubah dari negara pengekspor menjadi pengimpor minyak. Hal itu disampaikan dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 yang disiarkan secara daring.
Ketika Indonesia masih memproduksi minyak dalam jumlah besar, pandangan Indonesia kaya minyak masih dapat diterima. Namun ketika produksi menurun dan kebutuhan dalam negeri meningkat, pola pikir tersebut dianggap tidak lagi relevan.
"Dulu saya masih ingat, saya memang memutuskan Indonesia keluar dari OPEC. Why? Kalau mindset-nya itu, kita ini kan kaya minyak, bisa berbuat apa saja, kita masuk OPEC, the Organization of Petroleum Exporting Countries. Mindset itu ketika kita menjadi net importer, pasti keliru," Senin (6/10/2025).
1. Produksi minyak terus menurun

SBY menuturkan saat dirinya menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi minyak Indonesia masih mencapai sekitar 1,5 juta barel per hari. Kini, produksi tersebut menurun tajam hingga sekitar 600 ribu barel per hari.
Penurunan produksi itu menurutnya menjadi bukti ketergantungan pada minyak bumi sudah tidak bisa dijadikan andalan utama. SBY menilai, cara pandang yang terlalu bergantung pada sumber daya minyak justru jadi penghambat.
"Jadi dibuang penuh pemikiran kita, kaya minyak, tergantung ke minyak bumi dan sebagainya. Itu yang menghambat," paparnya.
2. Dorong peralihan ke energi terbarukan

SBY menekankan pentingnya transisi menuju energi terbarukan yang sesungguhnya berkelanjutan. Dia menilai Indonesia perlu menentukan posisi dan komitmen yang jelas seperti negara lain dalam mengembangkan energi hijau.
"Kita harus switch betul go to yang sifatnya renewable, betul-betul renewable," katanya.
Dia juga menyoroti perlunya strategi, kebijakan, teknologi, dan kemitraan yang tepat agar sumber daya yang dimiliki Indonesia dapat dioptimalkan.
Dari perspektif kepemimpinan dan manajemen pembangunan, SBY menilai hal-hal tersebut menjadi isu utama yang harus dijawab pemerintah dalam mewujudkan kemandirian energi nasional.
3. Indonesia pernah jadi pemain utama migas dunia

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya menyebut Indonesia pernah menjadi salah satu negara yang disegani di dunia, karena ikut menginisiasi berdirinya OPEC, organisasi negara-negara pengekspor minyak.
Pada puncaknya tahun 1996-1997, lifting minyak Indonesia mencapai 1,5-1,6 juta barel per hari, sementara konsumsi domestik hanya sekitar 500 ribu barel per hari. Saat itu, Indonesia mampu mengekspor 1 juta barel per hari.
"Hebat sekali waktu itu negara kita. Dan pendapatan negara kita, 40-45 persen, itu hasil daripada migas waktu itu," kata dia dalam acara Energi Mineral Forum di Kempinski Jakarta, Senin (26/5/2025).