Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Soal Pagar Laut, Nusron: Kami Tidak Bisa Berbuat Apa-apa

Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid masih pikirkan sanksi bagi 537 perusahaan sawit yang berproduksi tanpa kantongi HGU. (IDN Times/Amir Faisol)

Jakarta, IDN Times - Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, memastikan persoalan pagar laut yang jadi isu belakangan ini bukan ranah yang jadi kewenangan dirinya.

"Selama masih di laut, itu adalah rezimnya laut. Kalau di darat, tergantung apakah masuk kawasan hutan atau bukan. Kalau hutan, itu menjadi kewenangan kehutanan, kalau bukan hutan, ya itu menjadi kewenangan kami," ujar Nusron kepada awak media, dikutip Kamis (16/1/2025).

1. Nusron akui belum dapat laporan resmi soal pagar laut

Pemasangan pagar laut di perairan Tangerang Banten. (IDN Times/Maya Aulia Aprilianti)

Nusron pun menjelaskan, sejauh ini belum ada laporan atau informasi resmi terkait masalah tersebut yang diterima oleh Kementerian ATR/BPN.

Namun, Nusron memastikan selama area yang dimaksud masih berupa lautan, pihaknya tidak akan melakukan intervensi apa pun.

"Mungkin yang Bapak-Bapak tanyakan itu masih sebatas dugaan. Namun, hingga saat ini belum ada laporan resmi kepada kami. Pemerintah hanya dapat bertindak atas dasar legal standing. Jadi, selama belum ada dasar hukum yang jelas, kami tidak bisa berbuat apa-apa," tutur dia.

2. Pagar laut tidak punya izin

IDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Sebelumnya diberitakan, pagar laut di wilayah perairan pantai utara Kabupaten Tangerang menghebohkan jagad media sosial, sejak beberapa waktu lalu. Pasalnya, pagar laut tersebut melintang sepanjang 30,16 kilometer, tanpa diketahui siapa pemiliknya dan apa fungsinya.

Mengetahui hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan, pagar laut tersebut tidak memiliki izin dasar kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Atas dasar tersebut, pagar laut tersebut pun disegel dan dihentikan pemasangannya.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, segala kegiatan pemanfaatan ruang laut yang tidak memiliki izin dasar dan berpotensi merusak keanekaragaman hayati serta menyebabkan perubahan fungsi ruang laut seperti pemagaran laut ini untuk segera dihentikan.

"Sebab tidak sesuai dengan praktik internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) dan mampu mengancam keberlanjutan ekologi," kata Sakti, Kamis (9/1/2025).

3. Tujuan dan fungsi pagar laut masih misteri

Pagar laut di perairan Tangerang Banten. (dok. Fraksi PKS DPR RI)

Pagar laut di Kabupaten Tangerang itu merupakan susunan bambu-bambu yang tertancap dari dasar laut hingga tampak ke permukaan, serta membentuk serupa pagar. Tingginya diketahui sekitar 6 meter. Pagar itu memanjang hingga 30,16 kilometer dan membentang di 3 desa Kecamatan Kronjo, 3 desa Kecamatan Kemiri, 4 desa Kecamatan Mauk, 1 desa masing-masing di Kecamatan Sukadiri, Pakuhaji, serta 2 desa Kecamatan Teluknaga.

Di beberapa bagian pagar bambu itu tampak ditutupi paranet hitam. Beberapa bagian lain, hanya bambu yang disusun sedemikian rupa. Hingga kini, pemilik pagar laut tersebut pun masih menjadi misteri.

Tak hanya itu, tujuan dari pemasangan pagar laut tersebut juga belum diketahui betul. Pasalnya, pagar laut tidak bergaris lurus melainkan berpola layaknya mengitari pulau.

"Dari bibir pantai sejauh 700 meter ya, dan itu tidak hanya lurus, tapi kami mendapati mengitari pulau, seperti itu. Kadang terus, ada yang terputus juga," kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Pung Nugroho Saksono, Kamis (9/1/2025).

Menteri Trenggono mengungkapkan, penghentian pemagaran laut tersebut juga karena pagar laut berada di dalam Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang menimbulkan kerugian bagi nelayan dan kerusakan ekosistem pesisir. Apalagi, area tersebut jadi akses keluar masuk masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai nelayan, untuk menuju laut Pantura Tangerang ataupun Jakarta bagian utara.

"Tadi saya sempat ngobrol dengan nelayan, jadi kalau mereka melaut malam, perahu itu suka nabrak pagernya, karena kan tidak terlihat. Akses mereka juga jadi terbatas, juga mengancam ekosistem biota laut, sehingga masyarakatlah yang dikorbankan," tutur pria yang akrab disapa Ipung tersebut.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us