Teten Ungkap Satu Hal yang Bisa Gagalkan RI Jadi Negara Maju

- Indonesia terjebak dalam middle income trap selama 30 tahun, menyebabkan kegagalan menjadi negara maju.
- Pemerintah harus menaikkan pendapatan per kapita untuk mencapai tujuan tersebut, dengan fokus pada UMKM sebagai kontributor pertumbuhan ekonomi.
Jakarta, IDN Times - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (MenkopUKM), Teten Masduki mengungkapkan salah hal yang bisa menjadi penyebab kegagalan Indonesia menjadi negara maju. Hal itu pun bakal menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Menurut Teten, pemerintah ke depannya punya tugas menaikkan pendapatan per kapita jika ingin Indonesia menjadi negara maju.
"Hari ini, 97 persen orang Indonesia bekerja di UMKM, dan 96 persennya itu adalah mikro. Nah, mikro ini sektor informal, tidak produktif (gaji) di bawah UMR. Jadi kalau kita tidak bisa mengubah menyediakan lapangan kerja yang lebih berkualitas, saya yakin kita gagal menjadi negara maju," tutur Teten dalam Kompas 100 CEO Forum, dikutip Minggu (13/10/2024).
1. Indonesia hanya punya waktu 10 tahun lagi jadi negara maju

Teten pun mengemukakan, Indonesia sudah menjadi negara berkembang selama 30 tahun dan dalam masa itu pulu ada dalam middle income trap alias jebakan negara pendapatan kelas menengah-rendah.
Di sisi lain, China membutuhkan waktu 40 tahun untuk mencapai posisinya saat ini menjadi negara maju dan kaya.
"Jadi kita tinggal punya 10 tahun lagi kalau kita ambil benchmark China. Nah, 10 tahun ini kalau menurut saya tidak punya perencanaan yang baik dan eksekusi yang baik, kita gagal," ujar Teten.
2. UMKM mesti dilibatkan dalam kontribusi untuk pertumbuhan ekonomi

Guna mencapai hal tersebut, Teten menyebutkan bahwa UMKM mesti dilibatkan lebih dalam sebagai kontributor bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Hal tersebut berkaca dari kondisi perekonomian global yang menunjukkan UMKM telah masuk dalam struktur ekonomi kebanyakan negara di dunia. Teten menjelaskan, itu terjadi sejak deindustrialisasi yang terjadi sejak 2008 dan menggerus kontribusi industri kepada pertumbuhan ekonomi hanya 18 persen.
Menurut Teten, 96,6 persen ekonomi negara-negara anggota Asian Pacific Economic Cooperation (APEC) ditopang oleh UMKM. Sementara itu, Indonesia lebih besar lagi, mencapai 99,9 persen.
"Nah karena itu, kalau dalam konteks kita mau menjadi negara maju, maka kita gak bisa lagi memperlakukan UMKM hanya sebagai buffer ekonomi, hanya sebagai ekonomi subsisten, tapi harus menjadi bagian desain kita, bagian dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri," tutur Teten.
3. Akses pembiayaan ke UMKM masih minim

Salah satu masalah yang digarisbawahi Teten sebagai masalah pelibatan UMKM dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri adalah akses pembiayaannya.
Pembiayaan dari perbankan untuk UMKM di Indonesia saat ini, menurut Teten, masih di kisaran 20 hingga 21 persen. Dia membandingkan kondisi tersebut dengan Korea Selatan yang sudah ada pada level 80 persenan.
"Akses pembiayaan ini juga menjadi masalah besar. Jadi, microfinance itu di seluruh dunia ada di Indonesia, tapi kalau kita pelajari, ya itu hanya untuk survival, mereka bisa bertahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tapi kalau untuk ada eskalasi bisnis segala macam itu agenda besar," beber Teten.
4. Belajar dari China meningkatkan daya saing UMKM

Dalam rangka menyediakan lapangan kerja dari UMKM, Teten memandang pemerintah perlu meniru apa yang dilakukan oleh China. Teten menjelaskan, China mampu meningkatkan daya saing UMKM-nya lewat teknologi yang bukan hanya digitalisasi.
"China bisa membangunkan pabrik-pabrik skala kecil. Mereka bagi dalam 200 klaster dan negara keluar untuk membangunkan, untuk meningkatkan tadi bagaimana mengubah UMKM yang informal menjadi menjadi unggul menjadi lapangan kerja yang berkualitas," kata Teten.