kalau tidak ada yang mau menjadi petani, generasi selanjutnya mungkin tidak akan punya cukup makanan.”
Mau Kaya? Jadi Petani!

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, lebih dari 7 juta tenaga kerja Indonesia atau 5,61 persen menganggur. Menurut perwakilan Dewan Pendidikan Tinggi Indonesia dan mantan rektor Universitas Gadjah Mada, Sofian Effendi, banyaknya pengangguran disebabkan tidak sesuainya tenaga kerja dengan kebutuhan masyarakat.
Sebenarnya ada banyak pilihan kerja, namun tingkat persaingan cukup tinggi sehingga kesempatan berkarir sangat minim. Bagi yang memiliki keberanian, menjadi pengusaha adalah pilihan. Selain pengusaha, ternyata ada satu profesi yang sebenarnya menguntungkan tapi belum cukup dilirik. Pekerjaan itu adalah petani. Berikut beberapa fakta mengapa profesi petani bisa dijadikan alternatif pekerjaan.
Jumlah petani terus berkurang.

"Indonesia pada suatu masa akan kehilangan petani," kata Pending Dadih Permana, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian. Sejak 2003 hingga 2013, jumlah rumah tangga tani Indonesia berkurang sebanyak 5 juta. Bahkan, dalam rentang waktu 2010 hingga 2014 saja tenaga kerja pertanian berkurang sebanyak 3,15 juta orang.
Berkurangnya jumlah petani bukan hanya terjadi di Indonesia. Penelitian Marilyn Elauria memperlihatkan bahwa pada 2013, usia rata-rata petani di Filipina adalah 57 tahun. “Mengasumsikan rata-rata orang hidup sampai umur 70, dalam 15 tahun mendatang kita akan kekurangan petani,” jelas Elauria.
Sementara di Kamboja, petani sekaligus nelayan Hun Heang menyatakan bahwa walau pada generasi orangtuanya semua orang menjadi petani dan nelayan, hanya setengah orang dari generasinya yang menjadi petani dan nelayan.
Hun Heang, yang berusia 30 tahun, termasuk petani termuda di kampungnya. “Petani dan nelayan di sini usianya 30 sampai 60 tahun,” katanya. “Anak muda mau pekerjaan yang gajinya lebih menjanjikan.”
“Makanya kita tidak punya cukup makanan dan harus impor,” kata ayah dari dua anak tersebut. “Aku khawatir karena kalau tidak ada yang mau menjadi petani, generasi selanjutnya mungkin tidak akan punya cukup makanan.”
Dengan menjadi petani, setidaknya kamu bisa sedikit membantu ketersedian pangan dalam negeri.
Tantanganmu adalah perubahan iklim.

“Berkurangnya jumlah petani akan berimplikasi pada menurunnya ketersediaan produk pangan dalam negeri,” kata Dini Widiastuti dari Oxfam Indonesia.
Selain itu, jumlah produksi pertanian juga menurun akibat perubahan iklim, sebagaimana dijelaskan Kepala Daerah Kang Meas, Kamboja, Lay Seng Hong.
Perubahan iklim menyebabkan musim kemarau yang lebih kering dan musim hujan dengan curah hujan yang lebih tinggi, semakin banyak dan parahnya kejadian ekstrim seperti badai, kemarau berkepanjangan dan banjir bandang. Akibatnya, petani kesulitan memperkirakan cuaca sehingga panen mereka gagal.
tantangan utama pada 2025 bukan perang, melainkan perubahan iklim.”
“Dua tahun terakhir ini sangat parah. Hujan sama sekali tidak turun,” kata Hun Heang.
Sementara di Filipina, hujan badai melanda pada akhir Januari tahun ini – tepat ketika masa menanam, saat sebagian besar petani baru menyemai benih untuk dipanen April nanti. Total kerugian yang diderita para petani dari 25 daerah di Filipina mencapai lebih dari 1,3 miliar Rupiah.
George Junatas, petani di Filipina, dengan murung memandang 1,5 hektar lahannya yang terendam banjir. Ia menyesal karena tepat setelah ia selesai menanam, hujan deras turun. “Aku akan meminjam uang supaya aku bisa beli benih dan menanam ulang,” katanya.
Kejadian serupa dialami Hamidin – petani di Banten, Indonesia – pada 2014. Ia hanya dapat memandangi separuh sawahnya yang tergenang air hujan. Padahal, ia baru menanam benih. Menurut Hamidin, ini biasa terjadi karena dibanding 10 tahun lalu, cuaca begitu berubah sehingga ia susah memperkirakan kapan seharusnya mulai menanam.
“Kalau hujan berhari-hari tanaman bisa mati,” kata pria berusia 68 tahun itu. "Sawah di sini tadah hujan, jadi sangat bergantung pada cuaca," tuturnya.
Kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) Andi Eka Sakya menegaskan, “Perubahan iklim bukan lagi hanya isu tapi benar-benar sudah dirasakan." Bahkan. Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO yang merupakan aliansi puluhan negara mengatakan tantangan utama pada 2025 bukan perang, melainkan perubahan iklim.”
Jangan gengsi, banyak juga petani muda yang sukses.

Dijelaskan Tina Napitupulu dari AgriProFocus Indonesia, rendahnya minat anak muda terhadap sektor pertanian dikarenakan pekerjaan ini masih dipandang oleh anak-anak muda sebagai profesi yang tidak menjanjikan. Apalagi, banyak petani yang mengalami kerugian dan bergelut dengan kemiskinan.
Padahal, sesungguhnya banyak anak-anak muda di pertanian yang maju dengan usaha pertaniannya. Dan karena tingkat permintaan pangan dunia yang semakin meningkat, menjadi petani justru peluang bisnis yang bagus.”
sesungguhnya banyak anak-anak muda di pertanian yang maju dengan usaha pertaniannya. Dan karena tingkat permintaan pangan dunia yang semakin meningkat, menjadi petani justru peluang bisnis yang bagus.”
Salah satu kisah sukses dialami oleh petani muda bernama Adi Pramudya. Dia memutuskan untuk bertani meski profesi ini tak banyak diminati. Secara bisnis, kata dia, pekerjaan ini sebenarnya cukup menjanjikan. Dia memberi contoh saat bertanam lengkuas. Dengan modal Rp 40 juta, dia mampu maeraup pendapatan hingga Rp 90 juta saat memanen lengkuas yang ditanamnya di Bogor. Kini ia memperluas usaha bertani rempah-rempahnya dengan memproduksi lengkuas, kunyit, dan kencur. Tiap tanaman menghasilkan 35-40 ton atau sekitar Rp 300 juta dalam satu kali masa tanam.
Kesuksesan serupa juga dialami Hariyanto. Petani jagung ini mampu menghasilkan Rp 28 juta setiap panen. Ia bisa panen jagung tiga kali per tahun dengan berbekal ilmu yang didapatnya dari pengalamannya di Jepang dan Korea Selatan. Hariyanto juga mengajak 200 petani di kampung halamannya untuk bertani jagung dan mengajari mereka bagaimana agar sukses bertani jagung.
Ingin sukses seperti Adi Pramudya dan Hariyanto? Jadilah petani ☺
***
Artikel ini dibuat oleh Jennifer Sidharta dan jurnalis TV dari Filipina, Tricia Zafra, berdasarkan liputan saat pelatihan jurnalistik di Kamboja yang diselenggarakan oleh UNESCO Bangkok, Climate Tracker Southeast Asia, Cambodian Institute of Media Studies, dan pemerintah Malaysia.



















