Peristiwa Black Monday, Saat Wall Street Runtuh dalam Sehari

- Kehancuran pasar saham terbesar dalam sehari, Indeks Dow Jones anjlok 508 poin, persentase penurunan mencapai 22,6 persen.
- Teknologi dan kepanikan jadi pemicu utama, program trading berbasis komputer memicu aksi jual masif dan spiral penurunan tak terbendung.
- Regulasi baru lahir setelah krisis, circuit breakers diperkenalkan untuk memberi jeda saat harga saham turun terlalu drastis.
Pasar saham dunia pernah mengalami guncangan besar yang membuat banyak pihak terpukul. Peristiwa itu terjadi pada 19 Oktober 1987 dan kemudian dikenal luas dengan nama Black Monday (Senin Hitam).
Kejatuhan ini memperlihatkan bagaimana gejolak pasar bisa berubah menjadi krisis dalam hitungan jam. Untuk lebih memahami peristiwa tersebut, berikut tiga fakta yang menunjukkan betapa besarnya dampak Black Monday.
1. Kehancuran pasar saham terbesar dalam satu hari

Dilansir dari Ebsco, peristiwa Black Monday bermula di New York Stock Exchange (NYSE), ketika Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 508 poin dalam sehari. Persentase penurunan itu mencapai 22,6 persen, menjadi rekor kerugian harian terbesar dalam sejarah bursa AS. Nilai kapitalisasi pasar yang hilang saat itu ditaksir mencapai 500 miliar dolar AS (setara Rp8,3 kuadriliun).
Guncangan ini langsung menjalar ke berbagai belahan dunia. Pasar di Hong Kong, Eropa, hingga Wall Street ikut terpukul oleh efek domino yang tercipta. Media global memberitakan betapa rapuhnya sistem keuangan internasional saat itu, memperlihatkan keterhubungan antar pasar yang begitu kuat.
Kepanikan juga menyebar ke kalangan pejabat dan masyarakat. Kepala Securities and Exchange Commission (SEC), David Ruder, bahkan sampai mengancam akan menutup pasar untuk menahan keruntuhan. Presiden AS saat itu, Ronald Reagan mengaku bingung karena fundamental ekonomi AS masih sehat, tetapi rasa takut publik akan terulangnya Depresi Besar (The Great Depression) membuat situasi semakin sulit dikendalikan.
2. Teknologi dan kepanikan jadi pemicu utama

Tidak ada satu kejadian tunggal yang bisa dijadikan kambing hitam dalam krisis ini. Para ahli menilai kejatuhan Black Monday dipicu oleh kombinasi faktor, terutama program trading berbasis komputer dan kepanikan massal. Pasar saham saat itu sedang berada di tren naik sejak 1982, sehingga kondisi memang rentan terhadap koreksi.
Dilansir dari Investopedia, sistem program trading seperti portfolio insurance dan index arbitragemenjadi sorotan. Portfolio insurance misalnya, secara otomatis mengeksekusi penjualan kontrak berjangka ketika pasar turun. Begitu harga jatuh, algoritma langsung memicu aksi jual lanjutan dalam jumlah masif.
Dalam hitungan menit, siklus ini berulang tanpa kendali. Semakin banyak saham dilepas, semakin tajam harga jatuh, hingga menciptakan spiral penurunan yang tak terbendung. Para pedagang manusia yang melihat angka merah di layar mereka pun ikut panik, mempercepat kehancuran total. Bisa bayangkan betapa menegangkannya situasi kala itu?
3. Regulasi baru lahir setelah krisis

Meski banyak yang takut ekonomi bakal terjerumus ke jurang resesi, kenyataannya dampak jangka panjang Black Monday tidak separah dugaan. Tidak terjadi gelombang kebangkrutan besar, dan pasar berhasil bangkit dalam waktu relatif singkat. Namun, krisis ini menjadi pelajaran berharga tentang risiko teknologi dalam sistem keuangan.
Sebagai respons, otoritas bursa memperkenalkan circuit breakers atau pemutus sirkuit. Aturan ini memungkinkan perdagangan dihentikan sementara secara otomatis jika harga saham turun terlalu drastis dalam waktu singkat. Tujuannya sederhana: memberi jeda agar investor bisa berpikir jernih dan tidak larut dalam kepanikan massal.
Selain itu, NYSE juga memperketat aturan modal bagi para specialist untuk menambah stabilitas. Langkah-langkah inilah yang kemudian menjadi dasar sistem perlindungan pasar modern. Hingga kini, circuit breakers masih menjadi rem darurat yang dipercaya bisa mencegah terulangnya kepanikan seperti di tahun 1987.