[PUISI] Ibu Memanggul Pagi

di ujung jalan yang retak seperti harapan,
langkah-langkah tua berjalan tanpa suara,
menghindari batu-batu janji pemimpin
yang tertanam tanpa akar.
daun-daun berguguran
menandai pergantian musim,
tapi bukan musim panen,
melainkan musim utang.
seorang ibu memanggul pagi
di atas kepalanya: keresek hitam,
di dalamnya: minyak, debu, dan kesabaran.
di hatinya: anak-anak yang belum sarapan.
tangannya tak sempat merias wajah,
karena hidup terlalu buru-buru untuk cantik.
ia berdiri di pasar seperti patung
yang menjual daging, tapi tak punya daging sendiri.
saat matahari menggantung di langit seperti hutang,
ia membuka lapak harap
di bawah bendera merah yang lusuh,
berharap satu sen pun cukup untuk beli esok.
di meja dagangannya:
rempah-rempah, terasi, dan kemiskinan.
di matanya: kantung-kantung berisi
doa yang belum dikabulkan.
harga naik setiap minggu,
tapi senyumnya tetap konstan—
senyum orang yang sudah berdamai
dengan rasa pahit pada lidah dan dompet.
orang-orang lewat,
menawar tomatnya, bukan nasibnya.
mereka tak tahu bahwa di rumah
anaknya tak lagi menangis—karena lapar pun bisa lelah.
langkahnya pulang
diiringi sore yang mengintip dari sela gedung
tempat orang-orang berdasi
menentukan berapa harga beras bulan depan.