[Cerpen] La Pluie Après Ça

Perbincangan kita malam ini

Seperti biasa aku tertidur beberapa menit lalu. Pria berkacamata yang tadi tengah berbaring di sampingku telah pergi. Aroma parfumnya melekat pada gaun malamku, terendus kala aku memalingkan wajah ke belakang untuk memastikan bahwa dia benar-benar hilang.

Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Melepas gaun berwarna hitam bermotif bunga mawar merah, kemudian merebahkan diri di bath up setelah menyalakan shower. Membiarkan tetes-tetes air berjatuhan seolah itu adalah hujan. Lantas melipat kedua kakiku dan memeluknya. Mendengar dengan seksama betapa beratnya suara napas yang kuembuskan.

Tiga jam sebelumnya, pria berkacamata yang telah pergi—mungkin dua-tiga menit lalu—datang. Ia menekan bel apartemenku berkali-kali saat aku sedang memasak. Itu adalah kebiasaan lama yang sering aku lakukan, memasak setelah malam cukup larut. Aku membuka pintu, mendapatinya langsung memelukku begitu saja. Tubuhnya yang kian hari bertambah kurus menghalangi pintu. Tanpa melepas pelukan, tangan kirinya langsung menutup pintu untuk kemudian menguncinya, sementara aku hanya bisa menopang pria berkacamata yang sepertinya sedang mabuk.

Aku tak mengendus adanya bau alkohol pada dirinya. Hanya ada aroma parfum yang biasa ia kenakan di setiap hari ketika hendak ke luar, meski itu hanya ke luar untuk sekadar menemuiku di kedai makanan depan rumahnya. Aku bekerja di sana sejak setahun lalu, dan dua bulan setelahnya kami pernah bertemu di Passerelle Leopold-Sedar-Senghor saat aku sedang memandangi gembok cinta yang pernah kupasang semasa SMA, sedangkan ia sedang berjalan-jalan bersama seorang wanita berambut pendek.

Rasanya tak ada sesuatu yang disebut kebetulan. Aku mengenalnya, menjadi dekat, terlebih saat ia tahu kalau aku bekerja di kedai makanan depan rumahnya. Dia sering datang ke sana. Membeli makanan siap saji untuk porsi dua orang. Ya, untuk dia dan istrinya.

Tanpa mengatakan apa pun, tubuhnya yang sejengkal lebih tinggi masih terus memelukku, bahkan semakin erat dari saat ia datang. Tangannya melingkar sempurna di pinggangku, juga dagunya yang ditopangkan ke bahuku membuatku hanya bisa menepuk-nepuk lembut punggungnya. Ini adalah cara paling sederhana untuknya mengatakan, “Aku sedang ada masalah.”

Beberapa menit berlalu. Ia masih memelukku tanpa sedikit pun merenggangkan pelukannya. Berbisik agar aku tetap pada posisi seperti ini—membalas pelukannya—sedikit lebih lama. Membuatku hanya bisa mengangguk dan mengabaikan air yang telah mendidih sejak tadi.

“Ayo kita berpisah?” tanyanya yang mulai mengangkat kepala. Menatapku dari balik kacamatanya.

Aku balik menatap matanya. Menarik sudut bibirku dan berpura-pura bahwa berpisah bukanlah hal yang sulit. Mengangguk tanpa bertanya sama sekali kenapa ia mengingikan hal tersebut setelah delapan bulan kami sering menghabiskan waktu bersama. Bahkan tak jarang ia datang menemuiku setiap malam, tepatnya pada jam yang sama seperti saat ini. Bercinta untuk kemudian pergi setelahnya atau saat dering telepon memecah kesunyian yang sengaja kami ciptakan.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya lagi.

Tanganku yang tadi tengah membalas pelukannya kini kubiarkan melingkar di lehernya. Tersenyum sambil menempelkan keningku pada keningnya. Membiarkan embus angin dari jendela yang tak tertutup memainkan kain gorden juga berseru di telinga pria berkacamata ini.

“Aku akan mematikan kompor dulu,” ucapku sembari melepas tanganku juga tangannya yang sama-sama melingkar pada anggota tubuh satu sama lain.

Ia mengangguk. Lantas duduk di tepi ranjang yang terlihat jelas dari dapur. Ruangan ini tak bersekat antara kamar, dapur, juga ruang makan. Hanya kamar mandi saja yang tersembunyi, saru dengan pintu-pintu lemari pakaianku. Ini apartemen yang ia hadiahkan di ulang tahunku kedua puluh lima.

“Kau ingin minum?” tanyaku sebelum beranjak meninggalkan dapur.

Ia menggeleng. Tangan kanannya menepuk-nepuk pelan ranjang yang ia duduki, memintaku untuk menemaninya tanpa ada secangkir kopi atau barangkali whisky.

“Maafkan aku,” ucapnya sembari menatap lantai.

Sebenarnya tanpa perlu dijelaskan aku sudah dapat menebak kalau istrinya telah mengetahui hubungan kami. Wanita itu pasti sangat marah dan bersumpah serapah untukku yang dengan tega merebut suaminya. Tidak, aku tidak merebutnya! Suaminyalah yang datang padaku, menggodaku dengan mengatakan kalau aku lebih menarik dibanding istrinya yang sudah tak secantik saat ia masih muda dulu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Jangan katakan apa pun padaku,” tuturku yang telah duduk di sampingnya setelah mengambil sesuatu di dalam laci meja kecil di samping ranjang berdesain klasik ini.

Kepalanya masih tertunduk. Napasnya sudah berkali-kali ia embuskan setelah aku memberikan kunci apartemen ini padanya. Tempat ini, aku sadar bukanlah hadiah untukku. Ini hanyalah tempat untuknya beristirahat atau lebih tepatnya bersenang-senang. Menampungku yang bersedia menerimanya kapan pun saat ia butuh.

“Ini milikmu,” tuturnya. Ia mengangkat tangan kananku, meletakkan kunci tepat di atas telapaknya.

Di tengah kebisuan, ia melepas kacamatanya, memelukku, dan membelai lembut rambut panjangku yang biasa tergerai. Bibirnya yang lembut mendarat mesra di bibirku, pun begitu ia merebahkan tubuhnya juga tubuhku di ranjang yang sedang kami duduki. Aku yang sudah terbiasa dengan hal ini hanya bisa menggerakkan tanganku perlahan sembari menikmati lumatannya, bersiap melepas kancing kemeja birunya satu per satu.

“Tidak,” ucapnya saat aku hendak melepas kancing kemeja paling atas.

“Kenapa?”

“Kita tidak akan melakukannya lagi.”

Aku membalikkan tubuhku, memunggunginya. Benar apa yang ia katakan. Kami akan berpisah, jadi apa gunanya bersikap seolah kami adalah sepasang kekasih. Bercinta dengannya malam ini mungkin hanya akan membuatku merindukan setiap belaiannya pada waktu-waktu berikutnya, yang nyatanya hanya menyisakanku sendiri bersama ilusi.

Tawa kecilnya terdengar jelas di telingaku, begitu juga embus napasnya terasa lembut menerpa pori-pori belakang leherku. Ia tengah bercerita tentang bagaimana pertama kali kami bertemu, juga kisah-kisah sederhana—tentang apa saja yang kami lakukan dan semua yang kami perbincangkan—yang membosankan bagi orang lain untuk didengar.

“Sebenarnya aku masih ingin bersamamu,” ucapnya tak lama kemudian.

Aku menautkan jari jemariku padanya, melirik sekilas dan bertanya kenapa dia harus memilih untuk pergi jika masih ingin bersamaku. Aku sudah tahu jawabannya, hanya saja terkadang seseorang butuh luka lebih dalam sebelum benar-benar siap untuk melepaskan, dan itulah yang sepertinya sedang aku coba lakukan.

“Aku baru mengetahuinya tadi, kalau ternyata sakit yang diderita istriku bukan karena kanker atau sejenis itu.”

“Lalu?”

“Ia terkena AIDS dan … kau tentu mengerti maksudku.”

Aku membelalakkan mata dan membalikkan tubuhku menghadapnya. Mataku seolah-olah sedang bertanya padanya tentang bagaimana denganku jika ia juga terjangkit penyakit yang sama.

“Entahlah,” hanya kata itu yang mampu ia lontarkan, setelahnya kami sama-sama membisu hingga aku tertidur, dan saat aku terbangun, aku mendapati dirinya sudah pergi. Benar-benar hilang. (*)

Baca Juga: [Cerpen] Secangkir Kopi

Lily Rosella Photo Verified Writer Lily Rosella

Penulis kumcer "Iblis Pembisik" (2019)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya