Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Berjalan di Dua Garis

ilustrasi dua orang sedang berdiskusi dan bercakap-cakap di sebuah kafe (unsplash.com/@soroushkarimi)

Laila dan Dimas bertemu tanpa sengaja di sebuah kedai kopi, tempat favorit keduanya untuk menikmati ketenangan sore. Awalnya hanya sekadar tatapan yang bertukar selama beberapa detik, kemudian berlanjut menjadi obrolan ringan soal cuaca, musik, dan kopi favorit. Semakin sering bertemu, semakin sulit bagi Laila untuk mengabaikan getaran hangat yang selalu muncul ketika Dimas tersenyum.

Dimas adalah orang yang selalu punya cara untuk membuat segala sesuatu terasa lebih mudah. Saat Laila merasa lelah dengan rutinitas, hanya mendengar suaranya sudah cukup untuk membuat dunia terasa lebih ringan. Saling mendukung mimpi masing-masing, mereka tumbuh menjadi teman yang dekat, mungkin terlalu dekat. Tapi ada satu hal yang selalu menjadi bayang-bayang dalam hubungan ini: agama.

Dimas dan Laila berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, sebuah fakta yang tak pernah mereka diskusikan secara terbuka. Awalnya, Laila berpikir mungkin hal ini bisa mereka abaikan. Toh, perasaan tidak mengenal batas, kan? Tapi semakin mereka dekat, semakin jelas bagi Laila bahwa perbedaan ini bukan sekadar perbedaan kepercayaan, melainkan perbedaan pandangan hidup.

Ada saat-saat di mana Laila ingin mengatakan perasaannya pada Dimas. Di satu momen, mereka duduk berdua di bawah pohon besar, menikmati senja. Laila menatap mata Dimas yang tenang, penuh keceriaan, dan di detik itu, ia tahu kalau ia jatuh cinta. Tapi kata-kata itu tidak pernah keluar. Bukan karena ia takut ditolak, melainkan karena ia tahu tidak akan pernah ada jawaban yang mereka inginkan. Mereka mungkin bisa saling mencintai, tapi tak bisa hidup di satu jalur yang sama.

Mereka bagaikan dua garis sejajar yang berjalan berdampingan, tapi tak pernah bisa menyatu. Setiap keputusan besar dalam hidup mereka, dari mimpi hingga keluarga, selalu bersimpangan, tidak pernah benar-benar selaras.

Waktu berlalu, dan meski perasaan itu tetap ada, baik Laila maupun Dimas tak pernah melangkah lebih jauh. Mereka memilih untuk tetap berdiam di zona yang aman, menjaga jarak antara hati dan kenyataan. Pada akhirnya, mereka tahu bahwa cinta saja tak cukup. Ada terlalu banyak hal yang membatasi mereka, membuat hubungan ini tak mungkin berjalan selaras.

Dan di suatu sore, di kedai kopi yang sama tempat mereka bertemu, Laila tersenyum pahit saat menyadari satu hal: mungkin cinta memang bisa menghubungkan dua hati, tapi keyakinan adalah kompas yang menentukan arah hidup masing-masing.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Tamara Rangkuti
EditorTamara Rangkuti
Follow Us