Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Kafe Buku Milik Grace

Cokelat panas dan buku (pixabay.com/Pixels)

"Rupanya kau lagi,” ucap satu suara yang menginterupsi kesibukannya memilah buku.

“Hmm …” gumamnya acuh tak acuh, seperti biasanya.

Wanita berkacamata itu menghela napas. “Sudah berapa kali kubilang? Yang kau cari tak akan pernah ada di sini,” tegasnya.

“Aku tahu,” jawab lawan bicaranya tanpa menoleh.

“Aku menyerah.” Wanita berkacamata itu mendengkus. “Terserah kau saja,” lanjutnya sembari mengelap meja lalu meletakkan gelas dan piring kosong pada nampan yang dibawanya.

Kiara, wanita yang dua hari lalu berusia tepat 27 tahun itu mengenakan cardigan cream yang membalut kaos putihnya. Dia pelanggan tetap di book café ini merangkap sebagai karyawan part time jika suasana hatinya sedang baik. Grace adalah pemilik sekaligus satu-satunya karyawan di kafe ini, ya, wanita berkacamata itu. Kafe buku ini memang tidak membutuhkan banyak karyawan. Di samping Grace yang malah mengatur management-nya yang menurutnya akan rumit, kafe ini juga terletak di ujung gang yang mana tidak terbilang strategis sehingga jika belum pernah mengunjunginya tidak akan tahu jika ada kafe di tempat seperti ini. Selain itu, hanya ada plang kecil di dekat pintu—yang tentu saja sudah pudar warnanya—yang memuat nama kafe ini. Sisanya, tempat ini seperti rumah kecil dengan arsitektur zaman Belanda. Elegan dan bernuansa mistis.

Entah bagaimana hubungan keduanya bisa terjalin, yang jelas usia mereka terpaut cukup jauh. Enam belas tahun perbedaan rentang usia keduanya, Grace yang lebih tua. Dan wanita ini tidak mau dipanggil dengan embel-embel apapun. Cukup menyebutkan namanya saja. “Mengapa kau ingin Kembali ke masa lalu?”

Kiara menjatuhkan tubuhnya di kursi kayu paling dekat dengan jendela. Grace membawa cokelat panas dan roti gandum untuk keduanya. Kiara segera memindahkan roti itu ke mulutnya dengan terlebih dahulu mencelupkannya ke cokelat panas miliknya.

“Dasar jorok! Kau belum mencuci tangan,” tegur Grace yang seperti biasa dibalas cengiran dengan pipi yang menggembung oleh roti.

Setelah roti itu berhasil melewati kerongkongannya, Kiara menatap mata di balik kacamata itu. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya.

“Aku hanya takut, Grace.”

Mendengar kalimat yang diucapkan Kiara, Grace ikut memajukan tubuhnya.

“Aku takut yang di sini tidak seindah apa yang sudah jauh tertinggal di belakang sana. Aku takut tak bisa menerimanya.”

“Oh, Kiara, aku tahu kau bukan orang yang seperti itu. Aku percaya kau bisa melakukannya.” Grace memeluk Kiara dan mengusap lembut punggung perempuan itu. “Aku tak bisa membantumu, tapi aku tahu buku apa yang harus kau baca.”

Kiara mulai tampak antusias mendengar Grace membicarakan buku. 

“Hanya buku yang membuatmu tampak hidup,” cibir Grace seraya melenggang pergi dengan Kiara mengekor di belakangnya.

Buku itu ada di rak belakang, dekat dengan gudang penyimpanan bahan makanan. Kiara mengamati buku itu. Buku yang sudah berumur ditandai dengan warna kertasnya yang menguning dan dihiasi bercak-bercak cokelat. Sampulnya mengelupas hamper di semua sisinya. Dan tentu saja berdebu karena rak belakang ini benar-benar jarang dilirik pengunjung. Hamper semua buku yang ada di rak ini adalah buku usang yang seharusnya sudah berada di gudang, tetapi karena ruangan sempit yang diharapkan Grace menjadi gudang justru penuh untuk menyimpan bahan makanan, maka semua buku itu ditempatkan di rak paling ujung.

“Grace?”

“Ya?”

“Ini buku tentang ap—” Belum selesai kalimatnya tiba-tiba muncul cahaya berpendar dari sela-sela rak bekas buku itu berada. Cahaya putih yang sangat menyilaukan. Kiara dan Grace refleks menutup mata dengan punggung tangan. Buku itu terjatuh dan tidak terdengar benturannya dengan lantai. Karena keduanya sudah tidak berada di ruangan dengan lantai tegel abu-abu itu, melainkan dunia yang lain.

***

Kiara mengernyit, perlahan ia mengerjap-kerjapkan matanya dan cahaya silau itu sudah sepenuhnya menghilang. Ia menatap ke arah Grace yang sama bingungnya. Bahkan wanita berkacamata itu masih tampak limbung karena efek kejut atas apa yang sedang mereka alami. Sungguh tidak masuk di akal.

Kiara langsung tahu mereka ada di mana. Masih di Bumi yang sama. Hanya saja, ini masa yang sangat ia harapkan untuk kembali. Dua puluh tahun di belakang, saat dirinya masih anak-anak. Dan tidak ingin beranjak menjadi dewasa. Bagi Kiara kecil, kehidupan orang dewasa itu lebih mengerikam dari film horor. Sepertinya Kiara versi dewasa juga mengimani hal itu.

"Hei, kau, bisakah setidaknya membantuku mendirikan istana pasir ini lagi? Kau yang menginjaknya jika kau lupa."

Kiara terperanjat melihat tatapan sinis bocah di depannya itu. Bagaimana mungkin ia bisa berbicara dengan dirinya sendiri di waktu yang 'lain'?

"Kau mendengarku? Atau ada masalah dengan telingamu?"

Kiara bergegas melakukan apa yang diperintahkan dirinya yang baru berumur tujuh tahun itu. Grace terkekeh melihat adegan itu. Kiara dewasa yang mendapat omelan dari Kiara kecil. Sungguh mengagumkan, juga konyol, pikir Grace.

Apakah aku sebawel itu saat masih kecil? Apalagi dia berbicara dengan orang dewasa dengan ketus begitu. Benar-benar tidak sopan, keluh Kiara dalam hati seraya mengamati tingkah bocah itu.

Kiara terkejut saat Grace menyikutnya. "Ada apa?"

"Apa kau akan terus begini?"

"Hah, apa maksudmu, Grace?" Kiara memiringkan kepalanya, tidak mengerti.

"Aduh, kau ini benar-benar, ya. Ini kesempatanmu, kita mencari buku lama lalu ada cahaya di celah rak lalu tiba-tiba terdampar di masa lampau di mana kita bisa berbicara dengan kau yang lain. Apa kau tak ingin menanyakan sesuatu atau apalah padanya? Oh, padamu? Eh, entahlah yang jelas bocah sinis itu," terang Grace membuat mata Kiara terbelalak. Benar apa yang dikatakan Grace.

"Ya, Grace, terima kasih. Aku hanya ... entahlah, masih sulit memproses semua ini. Peristiwa ini. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi, ya, kau benar."

Grace mengangguk mendengar itu.

"Dan soal bocah sinis, kau benar, aku saja kesal melihat wajahnya." Keduanya terkikik geli membuat Kiara kecil pasang wajah cemberut. Mereka semakin tergelak melihat itu.

"Kau Kiara, 'kan?"

Gadis itu mengangguk.

"Bagaimana kau tahu namaku? Apa kau penguntit?"

Kiara hampir terbawa emosi jika saja tidak ditahan oleh Grace. Mata wanita itu menyiratkan kalimat 'Ini kesempatanmu, jangan kehilangan kendali."

Kiara menghela napas.

"Mungkin aku hanya menebak dan kebetulan benar."

"Alasan macam apa itu? Tapi, baiklah kau sudah membuat istana pasir yang lebih baik dariku. Jadi, kita berdamai."

Hei, apa-apaan ini? Sungguh Kiara kecil ini memanglah menyebalkan. Tapi, Kiara tersenyum dan mengulurkan tangan kepada gadis berponi itu.

"Siapa nama kakak? Oh, dan bibi?" tanya gadis itu, matanya berbinar antusias.

"Boleh kami menjawab pertanyaan itu nanti? Aku ingin bertanya dulu padamu," pinta Kiara yang diangguki gadis itu.

"Apa kau bahagia?"

"Eh?" Gadis itu terkesiap dengan pertanyaan yang tidak disangkanya itu. Namun, sedetik kemudian mengangguk.

"Ya, aku bahagia. Aku senang bermain pasir di pantai membuat istana seperti ini, aku senang manunggu ayah dan ibu pulang kerja sambil membaca buku, aku senang ayah ibu sering membawakan camilan saat aku belajar, eum ... apalagi, ya? Ah, bermain bersama teman-teman di sekolah, bersepeda bersama ... oh, ya, belakangan ini kami juga membeli gelang yang sama. Aku sangat bahagia."

Kiara dan Grace tersenyum mendengar celotehan gadis yang kini rambutnya berantakan tertiup angin pantai. Kiara membantu merapikannya dengan tangan.

"Benar, itu sangat membahagiakan. Aku turut bahagia mendengarnya. Kalau begitu, apa kau tetap ingin di sini saja?"

Grace menggeleng pelan, tetapi Kiara mengangguk meyakinkan dirinya juga Grace.

"Tentu saja aku akan pulang. Kami ke pantai untuk berlibur. Itu kedua orangtuaku sedang minum kelapa muda di sana."

Kiara memgikuti arah telunjuk gadis itu. Ia melambai pada kedua orangtuanya yang duduk di gazebo. Giginya yang tanggal terlihat saat meringis.

Ayah, ibu, kalian tampak begitu muda. Aku nyaris lupa pernah melihat rona ceria itu dari wajah kalian. Kiara tertegun lalu buru-buru mengalihkan pandangan.

"Ya, tentu saja kau akan pulang ke rumah bersama mereka. Maksudku ..." Kiara berhenti dan menatap mata penuh tanya di hadapannya. "Ah, lupakan saja. Bagaimana pendapatmu perihal menjadi dewasa?"

"Kenapa menanyakan itu padaku?" protesnya.

"Aku hanya pensaran. Kalau kau keberatan tak usah dijawab," jawab Kiara merasa tidak enak karena terus bertanya.

"Bukan masalah. Menjadi dewasa, ya? Pada suatu waktu rasanya aku tidak ingin menjadi dewasa karena sepertinya semuanya terasa tidak mudah. Tapi, saat melihat ayah dan ibu tertawa, rasanya aku tidak melihat mereka kesulitan menjadi orang dewasa. Kalau ayah dan ibu saja bisa bertemu dan menciptakan bahagia bersama, bukankah aku yang anaknya ini tentu bisa juga seperti itu? Sepertinya kalau terlalu dipikirkan akan tampak sulit, tapi bahkan pare yang pahit saja bisa dinikmati, 'kan? Tentu saja kalau sudah waktunya, aku akan menjadi dewasa, seperti kakak, juga bibi." Senyum gadis itu mengembang.

Kiara dan Grace mengangguk.

Gadis itu menggenggam tangan Kiara lalu menoleh ke gazebo. "Kau tahu? Itulah sumber bahagiaku."

Kiara berkaca-kaca melihat senyum cerah kedua orangtuanya.

"Entah akan menjadi apa aku saat dewasa nanti, kurasa itu bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Aku hanya perlu tetap hidup untuk bisa terus melihat senyum mereka, 'kan?"

Kiara mengangguk, matanya basah. Ia membiarkan gadis itu dalam dekapannya.

"Terima kasih, Kiara. Tanpa memberitahu nama kami pun, kau lebih dari tahu siapa kami."

***

Cahaya yang berpendar itu seperti medan gravitasi yang sangat kuat. Rasanya semuanya seperti tersedot menuju pusatnya. Buku itu, ada di dekat kakinya. Kiara mengambilnya dan meletakkannya kembali pada celah rak yang kosong, tempatnya semula. Ia menatap Grace, lalu tersenyum.

"Grace, terima kasih."

Wanita itu mengangguk, lalu berjalan menuju sofa dekat jendela.

"Cokelat panasmu pasti sudah dingin."

Kiara melihat kembali rak buku itu, lalu melangkah mengikuti Grace.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Veti K. M.
EditorVeti K. M.
Follow Us