[CERPEN] Ketidakwarasan yang Pahit

Aku tak tahu dari mana kisah ini dimulai. Yang jelas setelah aku tau semua kebenaran ini, harapanku selama ini terasa sia-sia. Kopi yang kuseduh pagi tadi ku harap jadi kawan bersantai di minggu pagi ku biarkan menguap dingin. Aku yakin di dasar cangkir itu sedang mengendap ampas pekat sepekat rasa benciku kepada orang yang kuharapkan kabarnya pagi tadi.
Monitor laptopku masih menampilkan pemandangan yang sama sejak tiga jam yang lalu. Sejak air mataku meleleh dan aku membaca tulisan itu berulang-ulang. Aku berharap ini tak nyata. Aku berharap itu bukan akunnya. Tapi semakin aku melawan kenyataan semakin rasa sakit ini merasuk. Siapa pula aku? Sekalipun aku menangisinya hingga kosong kotak tisuku terbuang demi lelehan air mataku karenanya, ia takkan kembali, bukan?
**
“Dek Yas, sudah makan?” Suara itu mengejutkan lamunanku. “Hehe sudah, Mas.” Jawabku singkat demi menyelamatkan suaraku yang sudah serak bergetar tak karuan hanya karna mendengar suaranya lagi.
Ini sambungan telepon kesekian kali semenjak aku mengenalnya Desember lalu, namun aku masih jadi gadis pengecut yang tak berani jadi diri sendiri didepannya. “Jangan diem mulu dek, Mas haus. Cerita dong.” Aku tahu ia hanya bergurau, mencoba mengundang suaraku agar menanggapinya lebih lama. Bukan sekadar jawaban singkat yang memuakkan.
Otakku memutar berbagai kejadian di sekolah seharian ini, bahkan seminggu yang lalu. Aku menemukan banyak hal yang bisa kuceritakan. Namun sayang, otak dan bibirku tak sinkron sehingga aku hanya menjawab dengan gugup.
“Hmm cerita apa ya, Mas? Aku gak punya cerita." Bodoh memang. Gadis 16 tahun sepertiku tak bisa mengimbangi percakapan telepon seperti itu. Ini bukan aku. Benar-benar bukan Ayas yang tak pernah kehabisan pembicaraan. Namun didepan laki-laki itu, aku beku. Demi mendengar suaranya menyebut namaku saja tangan dan kakiku terasa dingin.
“Dek Ayas capek ya? Ya, sudah cepat tidur dek. Jangan lupa nasihat-nasihat mas tadi.” Suara itu memecah keheningan semenit yang terasa seperti setahun. “Eh, iya, dah mas. Ayas tidur dulu,” jawabku sekenanya.
“Iya dek. Jangan lupa berdoa. Sing Kendel dek, Reporter majalah sekolah kok diem terus dari tadi haha. Iya, sudah dek selamat malam,” Klik. Sambungan telepon 61 menit itu terputus.
Begitulah. Berkali-kali aku mencoba mengambil alih pembicaraan, berkali-kali itu pula mulutku mengkhianati otakku. Apa susahnya bicara dengan seseorang puluhan kilometer jauh di sana hanya lewat sambungan telepon? Entahlah, tapi suaranya selama 61 menit itu mengambil alih duniaku. Aku bahkan bisa tidur sambil tersenyum selama dua hari hanya karena semalam mendengar suaranya bercerita, menasihati atau sekedar menanyakan kabarku.
Aku tak peduli seramai apa kelas ini. Cukup berkawan laptop kesayanganku dan kolom chatting dengannya, aku bisa punya dunia sendiri yang tak kalah seru dengan gosip terbaru teman-teman dipojok kelas sana.
“Ayas,” aku menoleh.
“Aku perhatiin kamu lama-lama kayak orang gila. Kayak gak butuh temen. Laptopan terus, senyum-senyum sendiri. Laptopan lagi, senyum-senyum lagi, ngelamun. Haduh. Kamu kenapa, sih?” Ujar Malia teman sebangkuku. “Gak apa Mal, hehe.”
“Tuhkan kamu kayak orang gila. Artikel kamu kelar belom? Besok kita ada wawancara lagi buat majalah. Uda siapin daftar pertanyaan?”
“Sudah sis sudah, hehe.” Jawabku sambil membuka file yang sejak tadi sudah ku kerjakan sambil tersenyum mengingat pujian dari orang itu. “Yas, kamu tadi malem habis di telepon, ya?” Tanya Siska penuh selidik. Aku hanya tersenyum sambil mendorong pundak Siska.
“Tuh, kan ketahuan. Kamu tuh mesti gini kok, Yas. Hadeeeh. Emang kamu paham gak, sih maksud dia sering perhatian ke kamu gitu apa?”
“Yaa gak tau sih, Sis. Tapi aku yakin dia bisa bikin aku jadi orang yang lebih bai,” jawabku sambil menunduk.
“Yas, aku gak maksud apa-apa, sih ya. Tapi coba dipikirin lagi deh. Dia tiba-tiba baik sama kamu, perhatian sama kamu, dia nganggep kamu sekedar adik kelas atau gimana? Kamu pernah nanya gak?” Aku diam. Menggeleng pelan.
“Nah, secara ya Yas, dia itu banyak yang suka, ganteng, atlet silat, pinter IT, orangnya baik haduh pokoknya plus-plus banget deh!" Sisi warasku bekerja cepat menanggapi ucapan Malia.
Malia benar. Dia laki-laki sempurna. Apa yang membuat dia lebih memilih dekat denganku di banding gadis lainnya yang sama sempurnanya dengan dia.
“Lagian kamu gak pernah ketemu dia, Yas. Dia uda lulus setahun yang lalu, kan? Kemungkinan kecil dia pernah ketemu kamu,” lagi-lagi kupikir Malia benar. Sisi warasku terus berontak. Mencoba mencabik-cabik harapan yang terlalu tinggi kugantungkan.
“Ya, tapi gak apalah,Yas. Daripada kamu gak suka sama selusin cowok yang ngejar kamu. Biar kelihatan normal gitu kamu hahaha.” Ucap Malia mencubit pipiku.
“Maaaalll…”Jeritku sembari mengejar Malia yang berlari keluar kelas. Sisi tak warasku kembali bersorak. Tak ada salahnya berharap lebih bukan? Selusin laki-laki yang mengejarku tak pernah membuatku kehabisan kata-kata seperti dia.
**
Pagi ini sama seperti senin pada umumnya. Membosankan. Ujian Matematika pula. Tapi hari ini aku membuka mata sambil tersenyum. Bukan karena teleponnya semalam, tapi karena hari ini usiaku genap 17 tahun. Seperti sweet seventeen pada umumnya, pasti ada kejutan tak terduga
Laki-laki bertubuh tinggi dengan kulit putih itu berjalan sambil membawa kue berbentuk kartun Minions kesukaanku. Jika bukan karena teman-teman sekelas aku pasti sudah menyuruhnya pulang tanpa menyentuh kue itu. Entah kenapa aku sama sekali tak tertarik dengan pemain basket idola gadis satu sekolah ini. Usai acara remeh temeh tiup lilin dan ungkapan hatinya padaku yang nyaris setiap hari kudengar.
Aku segera kembali ke tempat dudukku. Membuka ponsel dan menemukan panggilan tak terjawab disana. Ini baru kejutan. Batinku.
“Halo mas.” Ujarku Sambil mengulum senyum.
“Hai dik.. selamat ulang tahun yaaa.” Suara di sana terdengar sangat bersemangat,atau memang hanya perasaanku saja?
“Hehe iyamas terima kasih,” jawabku sekenanya.
“Semoga tambah pintar, tambah baik, tambah cantik.” Demi mendengar kalimat terakhir itu aku tersenyum, tak sadar meremas rok ku sendiri.
“Maaf ya dik, mas gak bisa kasih kejutan.” Telepon ditutup setelah dua tiga kalimat basa-basi lainnya. Aku bahkan tak tahu cara merindukannya karena aku belum pernah bertemu dengannya. Tetapi entah, aku benar-benar mengaguminya hingga titik didih paling tinggi. Aku tak tahu kenapa. Yang jelas, setiap kali mendengar suaranya aku merasa amat sangat bahagia.
“Dek Ayas. Mas mau curhat,” suara itu lagi-lagi memecah keheningan tiga puluh detik serasa tiga puluh hari itu.
“Curhat apa, Mas?” Jawabku sambil memeluk boneka berusaha menyamarkan gugupku.
“Mas lagi suka sama cewek.” Seketika itu hatiku perih. Aku bahkan tak peduli lagi rangkaian kata yang ia ucapkan berikutnya. Aku terdiam tapi telingaku sama sekali tak mau tau apa yang ia ucapkan. Malia benar. Siapalah aku berani-beraninya berharap lebih padanya? Dia jelas punya perempuan yang pantas dianggap lebih dari sekedar adik kelas.
“Dek? Menurut kamu gimana?”
“Aku gak tahu mas,” jawabku berusaha menutupi serak yang kali ini bukan karena gugup.
“Iya, sudah dek. Paling gak pas mas udah ngejauh dia baru nyadar.” Klik. Telepon ditutup. Ganjil. Percakapan ini terasa ganjil. Tak biasanya orang ini menutup telepon dengan bahasan menggantung belum terselesaikan.
Malia menyumpah-nyumpahi ku demi mendengar ceritaku malam tadi.
“Haduh, Yaas! Cewek yang dia maksud itu kamu. Kamu bego apa gimana sih? Kalau kayak gitu, ya secara gak langsung kamu nolak dia. Haduh, Yas.”
Aku menunduk. “Aku, kan cuma bersikap tahu diri, Mal. Salah dia juga, dia gak pernah kasih kepastian ke aku. Aku juga takut berharap lebih ke dia.”
“Salah kamu jugalah. Coba kamu nanya, maksud dia deketin kamu itu sekadar anggap kamu adik kelas atau lebih, pasti kamu sekarang udah tahu perasaan dia ke kamu.”
Aku diam. Siska benar. Aku terlalu takut untuk sekedar bangkit dari status pengagum.
Sudah dua bulan ini aku putus kontak dengannya. Kabar terakhir yang ku terima dengan susah payah mengumpulkan keberanian hanya untuk mengirim sebaris pesan singkat, dibalas dua bulan yang lalu. Ia sibuk mempersiapkan diri untuk masuk sekolah militer yang ia impikan.
Dan aku? Aku hanya pengagum yang sekedar bisa mendoakannya.
Waktu berjalan tanpa ada dia yang menasihatiku. Aku diangkat menjadi Pimpinan Redaksi Majalah Sekolah. Aku bangga. Meski terkadang aku masih sering menangis saat beberapa masalah menghampiriku. Aku tak sedang menangisi masalahku. Aku sedang menangisi kepergiannya. Seandainya dia ada di sini, aku yakin dia pasti membesarkan hatiku, memberiku banyak nasihat bijak yang berguna untukku memimpin organisasi.
Sayangnya, itu hanya andai. Nyatanya ia tak lagi muncul dihidupku. Tapi aku percaya. Ia hanya menunggu waktu yang tepat agar bisa muncul kembali kehidupku. Aku percaya itu.
**
Namanya Rangga. Dia duduk d ikelas 12 saat aku masih kelas 10. Aku mengenalnya di dua bulan terakhirnya di sekolah. Itu pun melalui media sosial. Aku tak pernah bertemu dengannya. Namun aku benar-benar jatuh cinta padanya. Dia benar-benar bisa membuatku beku tak bersuara karna gugup bahkan tanpa merayuku seperti laki-laki lainnya.
Sisi ketidakwarasanku menolak selusin laki-laki yang nyata mengejarku demi seorang laki-laki yang kukenal sebatas suara dan foto profil media sosial. Dan hari ini, aku sadar. Aku salah. Aku dan dia tak lagi dalam penantian yang sama. Ia sama sekali bukan menunggu waktu yang tepat untuk muncul kembali di hidupku. Ia justru sedang melarikan diri dari hidupku.
Ia tak mau tau lagi bagaimana kabarku yang mati-matian mempertahankan nasihat-nasihatnya sampai aku dipercaya untuk jabatan setinggi ini.
Aku bukan lagi adik kelas tersayangnya. Bukan lagi orang yang harus ia perhatikan. Dan bodohnya aku baru menyadari itu. Tiga jam yang lalu. Saat sebaris tweet di beranda akun twitterku muncul. Ia sudah dekat dengan gadis lain. Bahkan mungkin sudah berpacaran.
Dan aku? Aku dengan bodohnya percaya dia akan datang lagi. Dengan bodohnya aku menolak selusin laki-laki hanya karena berharap dia kembali. Air mataku kering. Tapi tidak dengan lukaku. Bagaimanapun juga aku tak tahu kenapa aku begitu mengaguminya. Terkadang cinta mengalahkan sisi waras. Ketidakwarasan jatuh cinta pada seseorang dari social media adalah salah satunya. Dan bertahan dengan status pengagum adalah salah duanya.***