[CERPEN] Melompati Batas

Aku, Annisa, sudah terbiasa dengan tatapan penuh rasa penasaran. Mungkin karena di usiaku yang hampir kepala tiga, aku masih lajang, memilih karir di atas segalanya, dan tidak menganggap pernikahan sebagai tujuan hidup yang mendesak. Orang-orang sering bertanya, apakah aku tidak takut kesepian? Sejujurnya, rasa takut itu ada, tapi bukan pada kesendirian. Aku lebih takut kehilangan diriku sendiri.
Pagi ini, aku melangkah keluar dari apartemenku dengan keyakinan. Sepatu hak tinggi yang kukenakan memantapkan langkahku, dan setelan kerja hitam yang kubeli dari hasil keringatku sendiri membuatku merasa percaya diri. Ini adalah hari penting—hari di mana presentasi proyek besar yang sudah kusiapkan berbulan-bulan akan dipresentasikan di depan para pemegang saham.
Ketika sampai di kantor, aku disambut rekan-rekan kerja yang sibuk. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai komentar—beberapa memandangku dengan kagum, yang lain mungkin iri, tapi ada juga yang menganggapku sebagai ancaman. "Annisa, wanita yang ambisius," begitu mereka menyebutku. Dan aku tidak keberatan.
"Annisa, semua sudah siap?" tanya bosku, Pak Hendra, ketika aku sampai di ruang rapat.
Aku mengangguk. "Tentu, Pak. Semua data sudah lengkap."
Aku melihat sekilas ke arah Rosa, rekan satu timku yang duduk di pojok ruangan. Dia tersenyum tipis. Mungkin dia merasakan sedikit beban dari keberhasilan proyek ini juga. Kami bekerja keras, tapi di akhir hari, tanggung jawab utama jatuh padaku.
Presentasiku berlangsung dengan lancar, setidaknya itulah yang kudengar dari para pemegang saham saat bertepuk tangan di akhir sesi. Mereka tampak puas, tapi aku tahu ini baru permulaan. Proyek ini akan menjadi batu loncatan besar bagi perusahaanku—dan juga bagiku.
Namun, di balik segala kesuksesan yang terlihat, ada momen-momen rapuh yang jarang kutunjukkan pada orang lain. Pulang ke apartemen kosong di malam hari, kadang terpikir, "Apa aku sudah memilih jalan yang benar?"
Aku tahu, jalan yang kutempuh bukanlah jalan yang mudah. Bukan hanya karena aku seorang wanita, tapi juga karena masyarakat punya ekspektasi tertentu tentang peran perempuan di usiaku. Ibu sering menelepon, menanyakan kapan aku akan ‘berhenti bekerja keras dan fokus pada keluarga’. Bagiku, keluarga itu penting, tapi aku juga tahu, aku tidak bisa menukar mimpiku hanya untuk memenuhi harapan orang lain.
Seminggu setelah presentasi itu, aku duduk di kafe favoritku, menikmati secangkir kopi setelah seharian bekerja. Pikiran melayang, mengingat betapa jauh aku melangkah. Dari seorang anak kampung yang datang ke Jakarta dengan harapan besar, hingga menjadi direktur proyek di sebuah perusahaan multinasional.
Aku ingat saat pertama kali tiba di kota ini, dengan segala kesulitannya. Aku tak kenal siapa-siapa, dan sering merasa kesepian. Tapi dari sanalah aku belajar bahwa hidup adalah tentang membangun kekuatan dari dalam diri sendiri. Aku belajar menjadi mandiri, mengandalkan diriku sendiri dalam mengambil keputusan besar maupun kecil.
Ketika Rosa tiba-tiba muncul di depanku, aku terkejut. "Annisa, apa kamu punya waktu sebentar?" dia bertanya, tampak sedikit canggung.
Aku mengangguk, mempersilahkannya duduk. Rosa bukan tipe orang yang suka basa-basi, jadi aku tahu pasti ada sesuatu yang penting.
"Aku selalu kagum padamu, tahu nggak?" katanya tiba-tiba.
Aku tersenyum. "Kamu berlebihan."
"Tidak, sungguh. Aku lihat bagaimana kamu bisa tetap tegak meskipun tekanan di kantor begitu berat. Aku… kadang merasa terlalu banyak mengandalkan orang lain, terutama dalam pekerjaan."
Aku mendengarkan dengan tenang, tahu betul rasanya berada di posisi seperti itu.
"Kita semua butuh bantuan kadang-kadang," jawabku. "Tapi percayalah, kekuatan itu akan datang jika kamu terus berusaha. Tidak ada yang lahir kuat. Kemandirian itu dibentuk dari proses, dari keputusan-keputusan kecil yang kita ambil setiap hari."
Rosa menatapku dengan penuh arti. "Mungkin aku harus belajar banyak darimu."
Kami berbicara lama, tentang pekerjaan, hidup, dan impian masing-masing. Ketika akhirnya Rosa pergi, aku merenung lagi. Ada saat-saat di mana aku ragu pada pilihanku, tapi di saat-saat seperti ini, aku tahu bahwa tidak ada yang salah dengan memilih jalan yang berbeda.
Aku Annisa, dan meskipun dunia sering kali mencoba menempatkan kita ke dalam kotak-kotak tertentu, aku tahu bahwa aku bertanggung jawab penuh atas hidupku sendiri. Dan aku bangga dengan itu.
Setelah sukses presentasi besar itu, kehidupan di kantor berjalan lebih lancar. Aku bisa bernapas lega untuk sesaat. Namun, ketenangan itu hanya bertahan di tempat kerja. Di rumah, situasinya berbeda.
“Annisa, tolong pikirkan baik-baik, ya. Usianya sebaya denganmu, dia dari keluarga baik-baik, lulusan luar negeri, dan sekarang pebisnis sukses!” Suara Ibu terdengar penuh semangat dari ujung telepon.
Aku menarik napas panjang. Sudah beberapa bulan terakhir ini Ibu mulai sering membahas topik yang sama: perjodohan. Dan kali ini, beliau tampak sangat serius memperkenalkan seorang pria yang sama sekali tidak kukenal.
“Ibu, aku baru saja selesai dengan proyek besar di kantor. Bisa kita bicarakan hal lain dulu?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, meski sudah tahu jawabannya.
“Annisa, sampai kapan kamu mau terus-terusan bekerja seperti ini? Ibu dan Ayah hanya ingin yang terbaik buat kamu. Coba kenalan dulu, kalau memang tidak cocok, ya tidak apa-apa. Tapi, kamu tidak bisa terus-terusan menolak tanpa mencoba.”
Aku menghela napas. Ini bukan pertama kalinya orangtuaku mencoba menjodohkanku. Mereka selalu ingin yang terbaik untukku, aku paham itu, tapi definisi ‘terbaik’ kami berbeda. Bagiku, kebahagiaan datang dari pencapaian yang kuraih dengan tanganku sendiri—dari kemandirian yang kubangun selama bertahun-tahun. Namun, bagi mereka, kebahagiaan seorang wanita sering kali terikat pada pernikahan dan keluarga.
Malam itu, setelah telepon dari Ibu, aku duduk di teras apartemenku, menatap lampu-lampu kota yang gemerlap. Pikiran tentang ‘pria sempurna’ yang mereka pilih menggangguku. Nama pria itu adalah Faris. Aku tidak tahu banyak tentang dia selain cerita dari Ibu: dia mapan, cerdas, dan sopan. Tapi bagiku, semua itu belum cukup.
Keesokan harinya, ketika aku sedang menyusun laporan di kantor, tiba-tiba ponselku berdering. Nomor tak dikenal.
“Annisa?” suara pria di ujung telepon terdengar lembut tapi tegas. “Ini Faris.”
Aku terkejut sejenak. Ibu pasti sudah memberikan nomorku padanya. “Oh, hai,” jawabku, sedikit canggung.
“Aku tahu mungkin kamu tidak nyaman dengan cara ini, tapi aku ingin bicara langsung denganmu. Bisakah kita bertemu untuk sekadar minum kopi? Tidak ada tekanan, aku hanya ingin mengenalmu.”
Aku terdiam. Aku tahu Ibu pasti sangat berharap aku setuju, tapi jauh di dalam hati, aku masih ragu. Namun, aku juga tahu bahwa menolak mentah-mentah hanya akan memperpanjang diskusi panjang dengan orangtuaku.
“Baiklah,” kataku akhirnya. “Kapan kamu punya waktu?”
Kami sepakat bertemu di sebuah kafe kecil di tengah kota. Saat aku tiba, Faris sudah duduk di sudut ruangan, terlihat santai namun rapi. Pria itu berpenampilan menarik, dan seperti yang Ibu bilang, sopan. Kami berbicara cukup lama, tentang pekerjaan, kehidupan, dan sedikit tentang keluarga. Dia pria yang menyenangkan, tapi aku tahu dari detik pertama bahwa kami tidak memiliki ikatan emosional yang dalam.
“Jadi, apa rencanamu ke depan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terdiam sesaat, mencoba merangkai kata. “Aku ingin terus mengembangkan karirku. Ada banyak hal yang ingin kucapai, dan aku merasa masih di perjalanan menuju itu.”
Faris tersenyum tipis. “Kamu wanita yang ambisius. Itu bagus. Aku kagum.”
Aku mengangguk, merasa sedikit lega bahwa dia tidak langsung menilai ambisi itu sebagai hal yang negatif. Tapi kemudian dia melanjutkan, “Tapi, bukankah ada saatnya kita harus berhenti dan memikirkan soal kehidupan pribadi? Keluarga? Aku juga sama, fokus pada pekerjaan, tapi aku tahu kapan harus menyeimbangkan semuanya.”
Kalimat itu, meski terdengar masuk akal, membuatku kembali merasa jengah. Rasanya seperti sebuah pengingat dari dunia luar bahwa pilihanku selama ini—untuk fokus pada karir dan diri sendiri—selalu dianggap sementara. Bahwa pada akhirnya, menurut banyak orang, tujuan hidup seorang wanita adalah keluarga, bukan mimpinya.
Setelah pertemuan itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Faris orang baik, tapi aku tahu kami tidak bisa bersama. Hidupku sudah kutentukan, dan aku tidak ingin seseorang yang bahkan baru kukenal mencoba mengubah arahku. Aku menghargai kebaikan Ibu dan Ayah yang ingin menjodohkanku, tapi aku yakin, kebahagiaan yang kucari tidak terletak di sana.
Esoknya, saat Ibu menelepon lagi, aku bicara dengan lembut tapi tegas, “Bu, aku sudah bertemu dengan Faris. Dia orang baik, tapi aku tidak bisa memaksakan diri. Mungkin dia bukan orang yang tepat untukku.”
“Ibu hanya ingin kamu bahagia, Nak,” jawab Ibu, suaranya terdengar sedikit kecewa.
“Aku tahu, Bu. Tapi kebahagiaan itu datang dengan caraku sendiri. Aku sedang mencarinya, meskipun jalannya mungkin berbeda dari yang Ibu bayangkan.”
Ada keheningan di telepon sejenak sebelum akhirnya Ibu menghela napas. “Baiklah, Annisa. Ibu percaya padamu.”
Dan itulah yang kubutuhkan. Kepercayaan bahwa aku tahu jalan hidupku sendiri. Aku Annisa, wanita yang memilih jalannya sendiri, meski kadang itu berarti berjalan sendirian di tengah tekanan dari segala arah. Tapi aku percaya, kemandirian bukan berarti menolak cinta atau hubungan. Itu hanya berarti aku ingin hidupku tetap menjadi milikku, sepenuhnya.
***
Kuningan, 9 September 2024