[CERPEN] Wajah di Cermin

Cermin itu pecah. Retakan-retakannya membentuk pola seperti jaring laba-laba, memantulkan bayangan wajah yang tak lagi dikenalnya.
Wajah itu—wajahnya—berkulit kasar, penuh noda hitam, dan bengkak di sana-sini. Pipinya cekung seperti terhisap dari dalam, matanya merah seperti tak pernah tidur.
Ia mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, berharap ini hanya mimpi buruk. Rasa kasar kulitnya di bawah jemarinya membuat kenyataan menghantam lebih keras.
"Ini semua salahmu, Nayla." Suara itu dingin, datang dari belakangnya.
Nayla berbalik dengan cepat. Ibunya berdiri di sana, mengenakan daster biru lusuh yang biasa ia ejek.
Rambut ibunya yang dulu ia berantakan tampak lebih rapi dibanding wajahnya sendiri sekarang. Dan yang paling menyakitkan adalah tatapan itu—tatapan kecewa yang sudah lama tak bisa ia hindari.
"Kenapa, Bu? Kenapa aku jadi begini?" Nayla memohon, suaranya pecah. "Aku nggak pantas dihukum seperti ini. Aku masih muda. Aku cantik. Aku punya masa depan."
Ibunya hanya menghela napas, seperti orang yang lelah menjelaskan sesuatu yang tak akan pernah dimengerti.
"Kamu lupa, Nay? Waktu kamu bilang aku beban? Waktu kamu lempar uang ke mukaku karena aku minta tolong beli obat? Kamu pikir cantikmu itu milikmu sendiri? Kamu pikir aku nggak pernah berdoa supaya kamu tumbuh jadi orang yang baik?"
Nayla ingin membantah, tapi kata-kata ibunya seperti duri yang menusuk di tempat-tempat yang paling dalam. Ia ingat semua itu. Ia ingat bagaimana ia pernah membanting pintu, meninggalkan ibunya yang menangis di ruang tamu hanya karena ia malu membawa ibunya ke pesta ulang tahun temannya.
Ia ingat kata-kata kasarnya, ejekannya, dan bagaimana ia selalu merasa lebih baik daripada ibunya hanya karena wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang sempurna.
Tapi sekarang? Semua itu hilang. Dalam semalam, wajahnya berubah menjadi sesuatu yang bahkan tak berani ia tunjukkan pada dunia. Semua orang menjauh. Teman-temannya tak lagi mengangkat teleponnya. Kekasihnya, yang dulu selalu memujinya, menghilang tanpa kabar.
"Aku bisa berubah, Bu. Aku janji," katanya, suaranya bergetar. "Tolong, kembalikan wajahku. Aku nggak bisa hidup kayak gini."
Ibunya berjalan mendekat. "Berubah itu nggak cuma di mulut, Nay. Kamu harus mulai dari hati."
Ia mengulurkan tangan, menyentuh wajah Nayla yang penuh luka. Sentuhan itu dingin, tapi ada kehangatan yang membuat Nayla menangis sejadi-jadinya.
***
Hari-hari berikutnya, Nayla mulai belajar menerima. Ia mencuci piring, membersihkan rumah, dan bahkan memasak untuk ibunya—hal-hal yang dulu ia anggap remeh. Setiap malam, ia berdoa dengan sungguh-sungguh, meminta maaf atas semua kesalahannya.
Namun, wajahnya tetap sama.
***
Suatu hari, ketika ia sedang menyapu halaman, seorang tetangga perempuan tua menghampiri.
"Kamu Nayla, kan? Aku dengar kamu sekarang suka bantu-bantu ibumu. Bagus, Nak. Semoga hidupmu jadi lebih baik."
Nayla hanya tersenyum kecil. Ia tak lagi peduli dengan pujian, tapi ucapan itu membuat hatinya sedikit menghibur.
***
Malam itu, ketika bercermin, ia melihat sesuatu yang berbeda. Wajahnya masih penuh noda, tapi matanya mulai bersinar. Ada sesuatu yang ia sadari untuk pertama kalinya: kecantikan sejati bukanlah apa yang dilihat orang lain, melainkan apa yang ia rasakan tentang dirinya sendiri.
Dan perlahan, cermin itu mulai merekat kembali.