Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Mimpi Besar dari Wong Cilik

Ilustrasi Pelukis Perempuan (pexels.com/Valeriia Miller)

Di sinilah aku, terbaring di atas kasurku yang lapuk. Aku memandang kosong plafon kamarku yang sedikit menguning. Air mata mengalir dari pelupuk mataku. Aku menangis lagi.

Dadaku sakit. Hatiku pilu. Semangatku hancur. Aku bertengkar hebat dengan Bapak karena aku membicarakan mimpiku. Mimpi menjadi seorang pelukis terkenal. Bapak marah karena aku membeli peralatan melukis lagi dengan gajiku.

Sejak aku kecil, aku suka melukis. Aku melukis apa pun. Aku berkreasi dengan imajinasiku. Tetapi, keluargaku adalah keluarga menengah ke bawah. Kami tidak punya cukup uang untuk memenuhi bakatku ini. Apalagi aku punya dua adik laki-laki yang masih sekolah, Bapak yang tahu aku ngotot mau jadi pelukis tentu melarang keras.

Bibirku bergetar hebat. Aku mengingat kembali perkataan Bapak. “Udahlah tidak usah mimpi. Sok-sokan mau jadi pelukis. Tidak ada duitnya. Kita ini wong cilik. Kamu jangan bermimpi ketinggian. Lihat para tante dan sepupumu. Mereka semua hidup enak karena jadi guru. Apa susahnya kamu ikutin kata Bapak? Bapak yang lebih tahu dunia ini. Bapak udah 60 tahun merasakan pahitnya dunia. Apa bagusnya coba jadi pelukis? Buang-buang duit aja. Udah,ya, kamu harus tetap jadi guru. Bapak maksa kamu jadi guru.”

Bapak memang selalu begitu. Angkuh. Tidak mau mengalah. Tidak mau mendengarkan pendapat keluarganya sendiri. Aku paham maksud Bapak. Bapak hanya ingin aku hidup layak dan bisa membantu keluarga ini. Aku juga sudah mengikuti perintah Bapak itu. Aku sekarang jadi guru sekolah dasar (SD) di salah satu sekolah swasta.

Hanya karena Bapak melihat paket yang berisi alat melukis saja, beliau sudah marah besar. Apa salahnya aku sekalian menekuni bakatku? Aku juga tidak boros menggunakan gajiku untuk membeli alat lukis. Aku menangis lagi kala mengingat itu semua.

Bapak memang selalu begitu. Saat aku berkuliah, aku berhasil menang juara satu lomba melukis di tingkat provinsi. Para dosen melihat potensiku, jadi lukisanku dimasukkan ke dalam pameran karya seni tingkat kota. Kala itu, ada rasa bangga dalam diriku. Aku memberitahukannya pada orang tuaku saat sampai ke rumah.

“Pak, Bu, Kirana berhasil dapat juara satu! Lukisanku juga masuk ke pameran karya seni. Keren kan?” kataku sambil tersenyum memamerkan pialanya.

Namun, Bapak menanggapinya dengan getir. “Halah. Gitu doang semuanya juga bisa. Udah sana kamu belajar. Jangan buang-buang waktu. Nanti percuma beasiswamu itu.” Bapak pergi begitu saja.

Ibu menghiburku. “Selamat, ya, Nduk. Ibu bangga sama kamu! Senangnya anak Ibu bisa bawa pulang piala.” Ibu memelukku erat. Aku menangis di bahu ibu.

Ah, hatiku remuk. Aku jadi rendah diri. Bapak semakin menekanku setelah aku lulus. “Kita ini wong cilik. Untuk bermimpi menjadi hebat saja sudah seharusnya kita tahu diri. Yang pasti saja. Jadi guru. Hidupmu dijamin enak.”

Pikiranku semakin kalut. Rencana untuk mengakhiri hidup jelas memenuhi kepala. Tetapi, ada sesuatu dalam hati yang mendorongku untuk mencari Sang Pencipta. Dengan tubuh gemetar, aku mulai berdoa. Kupanggil nama Tuhanku. Lalu, aku menangis. Tergagap aku menyampaikan luka di hatiku.

Satu jam aku berdoa dan sejak saat itu hidupku tidak sama lagi. Pikiranku lebih tenang dan mimpi yang telah patah itu disambung kembali.

Ah, Sang Pencipta yang baik hati. Engkaulah satu-satunya tempatku berlabuh.

Tekad hidupku membulat. Aku menghapus air mataku. Kuputar kunci kamarku lalu memilih keluar kamar dan menemui orang tuaku.

                                                                            ***

Di sinilah aku, masih menjadi guru SD. Masih belajar untuk mengajar sepenuh hati. Namun, aku masih suka melukis. Diam-diam lukisanku semakin dikenal banyak orang. Kini, diam-diam aku tengah mempersiapkan pameran tunggal pertamaku.

Kesulitan masih ada. Tekanan itu masih saja menghimpit. Cemooh atas mimpiku masih terngiang. Tetapi itu tidak membiarkanku untuk bermimpi besar. Aku memang wong cilik, tapi aku bangga punya mimpi.

Wong cilik yang punya mimpi setinggi langit.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Indi Kusuma Hati
EditorIndi Kusuma Hati
Follow Us