[NOVEL] Segitiga Patah Kaki: Bab 1

Satu: Pulang Kampung
Orang baru stok lama. Itulah julukan Icha sekarang.
“Udah, nggak usah peduli apa kata orang. Kembali ke kantor lama bukan hal yang memalukan,” kata ibunya menyemangati.
“Bu, ntar di kantor cabang aku tuh paling senior,” Icha masih ragu
“Halah, biarin nggak apa-apa. Wajahmu imut, badanmu mungil. Nggak bakal ada yang nyangka kalau usiamu sudah 30 tahun. Ibu nggak bohong, dari belakang kamu tuh masih kayak anak SMA!”
Iya, sih. Tapi kalau dari depan, aku udah kayak kepala SMA, Icha menambahkan dalam hati. . “Tapi kan, gengsi juga kalau harus balik ke posisi asisten finance, Bu. Mana yang jadi atasanku ntar mantan bawahan.”
“Itu cuma efek samping, Cha. Yang penting kamu balik dulu!”
Hm ….“Mumpung ada kesempatan. Udah baik banget lho, itu bos di kantor lama ingat kamu, dan nawarin buat kembali.”
Icha tidak menanggapi pernyataan itu. Agak ngeri seandainya ibunya bereaksi dengan optimis berlebihan, andai tahu kalau sebenarnya Icha ditawari posisi di kantor lama tersebut secara personal.
“Memang mau berapa lama lagi kamu di Jakarta? Mau membuktikan apa lagi? Ibu sudah tahu kok, kalau anak Ibu bisa mandiri, dan nyari duit sendiri. Sudah, cukup. Sekarang pulang dan kerja di sini saja. Rumah sebesar ini mau ditempatin Ibu sendirian sampai kapan, Cha?”
“Tapi, Bu, gaji di Malang kecil, karena jabatan yang ada hanya ….”
“Seimbang, tho? Kamu nggak harus kos. Kendaraan siap. Makan irit bareng Ibu. Nggak perlu laundry karena sudah ada Bu Nah yang membantu di rumah,” potong ibunya dengan cepat.
Jiah! Mana pernah kamu menang lawan ibumu, Cha! Biawak kok dikadalin! Tunggu sampai ke bagian harus bersyukur pada rezeki yang diterima. Biar makin mantap keyakinanmu! Icha mengomeli diri sendiri.
“Tapi, Bu …”
“Jangan dikira kamu hanya bisa menikmati hidup di Jakarta. Di Malang pun bisa. Ibu nggak akan melarangmu melakukan apa yang kamu mau! Apa pernah Ibu ikut campur semua keputusanmu?”
Lagi-lagi Icha tidak bisa menjawab argumen ibunya.
“Nikmati hidupmu, tapi di sini. Karena sudah waktunya kamu pulang.”
Ya, perdebatan berlarut-larut sekian lama itu memang muaranya hanya satu: pulang, Cha! Pulang!
Atas nama akal sehat, akhirnya Icha memilih kembali ke kota kelahirannya. Atas nama akal sehat pula, Icha juga kembali bekerja di kantor yang telah tujuh tahun ditinggalkannya. Di sini, di Elite Architects Cabang Malang. Salah satu tempatnya pulang. Kembali ke awal, ke habitat asal.
***
“Cha,” panggil Melvin yang tiba-tiba sudah muncul di depannya.
Icha yang belum terbiasa lagi memiliki meja kerja tanpa sekat, beberapa kali masih terkejut setiap ada orang yang muncul tiba-tiba di depannya. “Ya?”
“Jumat ini kamu ya, yang mewakili tim keuangan ke pesta perusahaan,” kata Melvin.
“Eh? Aku kan, baru dua hari di sini? Masa sudah harus mewakili….”
“Halah, cuma pesta kecil bersama keluarga para atasan. Pak Arif dan Pak Tjandra, Cha. Orang yang sudah kamu kenal,” kata Melvin menyebut dua orang big boss di perusahaan ini. “Ini yang lain pada nggak bisa datang. Jadi aku bilang ke Nadia kalau kamu nanti yang hadir mewakili kami.”
Nadia, sekretaris Pak Arif. Cewek yang juga sudah dikenalnya. Akhirnya Icha mengangguk. Mau bagaimana lagi? Ingat, dia orang baru! “Ok,” jawab Icha, akhirnya.
“Kamu ambil undangannya ke Nadia sekarang,” kata Melvin sambil meninggalkannya tanpa merasa perlu berterima kasih.
Sejak awal Icha tahu kalau pria itu memang tidak bermaksud menawarinya, tetapi menyuruhnya. Terima aja deh, Cha. Bagaimana pun juga dia sekarang atasanmu. Meskipun dulu kamu yang mengajarinya bekerja untuk pertama kali, saat dia masih menjadi juniormu.
***
Icha berjalan menaiki tangga melingkar menuju lantai tiga, tempat ruangan para pimpinan berada. Di gedung ini fasilitas lift memang hanya diperuntukkan bagi tiga orang bos besar beserta staf pribadi mereka. Sedangkan karyawan biasa sepertinya, dan para arsitek junior, harus rajin olahraga berjalan kaki naik turun tangga. Pengaturan ini tidak berubah juga meskipun Icha sudah pergi selama bertahun-tahun.
Nggak apa-apa, biar sehat, komentar Icha dalam hati. Sambil menapakkan kaki pada setiap anak tangga. Icha begitu tekun mengamati pola pada keramik lantai sehingga tidak menyadari kedatangan seseorang dari lantai dua yang bergabung dengannya dengan tergesa-gesa.
“Ups!” seru pria itu.
Icha menoleh dengan terkejut. Di hadapannya kini muncul seorang pria yang juga sedang menatapnya.
“Maaf,” kata Icha sopan sambil menganggukkan kepala.
Pria itu tersenyum ramah. Jiah, ganteng!
“Mau ke mana?” tanya pria dengan suara seempuk daging keluar dari panci presto.
“Ke lantai tiga, kantor Pak Arif.”
“Oh, ada urusan?” tanyanya lagi.
Nggak mungkin dong aku asal naik tangga ke kantor orang kalau cuma iseng, Bambang! “Iya. Mau ketemu sekretarisnya.”
“Oh, gitu. Yuk, silakan!” pria itu mempersilakan Icha jalan duluan.
“Terima kasih,” kata Icha sambil mengangguk dan meneruskan langkah.
“Kamu baru masuk kerja hari ini?”
Deg! Hampir saja Icha terkena serangan jantung. Dia tidak menyadari kalau pria tadi berjalan di belakangnya. “Ehm … tidak. Sudah dua hari, kok.”
Icha berusaha menyembunyikan senyum cerah yang merekah di bibirnya. Setelah bertahun-tahun merasa menjadi sosok perawan tua yang tidak terlalu mendapat perhatian, di-notice seperti ini membuat ego Icha meningkat sedikit. Tetapi wajar juga sih, di kantor sekecil ini, yang jumlah pegawainya tidak sampai dua puluh persen dari kantor pusat di Jakarta, kehadiran orang baru pasti menjadi perhatian. Jadi jangan GR ya, Cha!
Sayangnya begitu mereka tiba di ujung, pria itu mengambil arah yang berbeda dengannya.
“Selamat datang di kantor ini, ya. Semoga kerasan. Yuk!”
Dengan kalimat tersebut pria itu melangkah lebar-lebar mendahului Icha.
Icha mengangguk lagi. Coba kejadian kayak gini berlangsung tiga kali sehari seperti minum obat. Dijamin otot-otot lehernya akan segera mencapai tingkat kelenturan yang sempurna.
Dipandanginya punggung pria itu ketika menghilang pada salah satu pintu ruangan yang berjejer di lantai tiga. Apakah dia salah satu dari arsitek yang berkumpul di lantai dua? Masih cukup muda. Mungkin sebaya dengannya yang sudah berusia kepala tiga.
Penampilan kasualnya memang sangat menarik. Jean berwarna biru pudar berpotongan klasik dan kombinasi kemeja putih yang lengannya digulung separuh, terbukti tidak pernah gagal membuat penampilan pria meningkat beberapa derajat kekerenannya. Ya, sepertinya dia memang arsitek di sini. Gaya mereka sangat khas, seolah tulisan I Am an Architect tercetak jelas di dahi mereka.
Para arsitek, makhluk istimewa yang diberi keahlian kreativitas di dalam darahnya. Membuat orang-orang finance seperti Icha merasa kaku dan membosankan. Padahal, meskipun kaku di luar, kami ini lembut dan seru di dalam, lho! batinnya geli.
***
Menghadiri pesta sendirian itu jelas satu kesalahan.
Kurang nekat apa Icha, muncul di acara resmi begini tanpa pendamping. Wajar saja kalau tidak satu pun anggota tim keuangan sudi datang. Kaum lajang yang merasa waras tidak akan mau menghadiri acara beginian! Membosankan!
Apa serunya melihat para atasan bersama pasangan yang ngobrol dalam kelompok-kelompok khusus yang seolah tidak membiarkan orang lain bergabung. Juga beberapa klien yang lebih memilih berdansa di depan diiringi musik yang dimainkan oleh sekelompok musisi di panggung sebelah kiri. Terlihat Pak Arif dan Pak Tjandrabersama istri masing-masing sedang beramah-tamah dengan orang-orang penting itu.
Lalu ngapain kamu datang, Cha? Icha mengutuk kesialannya ini. Eh, tunggu, bukan salahnya kalau dia datang dan sekarang bengong sendirian di sudut ruangan seperti orang hilang. Salahkan yang mengundang, dong! Juga Melvin keparat yang sudah mengerjainya habis-habisan ini. Sialan!
“Mbak Icha?” tanya seseorang.
Icha menoleh mencari sumber suara. Kini dia berhadapan dengan sosok perempuan cantik jelita yang pernah dia kenal sebelumnya. Tapi dia lupa siapa namanya.
“Ini Mbak Icha, kan?” tanya perempuan sebayanya itu dengan antusias.
“Iya … ehm … maaf, ini siapa ya?” tanya Icha ragu-ragu.
“Mbak Icha pasti lupa. Ini Lusi, Mbak. Ingat? Sudah lama banget. Tujuh tahun…”
“Lusi? Lusi yang ….”
“Iya, Mbak. Yang dulu jadi karyawan baru bantuin Mbak Icha,” Lusi tertawa senang karena Icha mengenalnya.
“Wah, kamu cantik banget,” puji Icha spontan. Tetapi dia tidak bohong. Lusi memang tampil cantik sekali malam itu. Dari tas tangan, sepatu, serta dress yang dia kenakan, semua meneriakkan brand terkenal dan pastinya berharga mahal. Eh, sebentar … “Lus, kamu datang ke sini sama …”
“Sama suamiku, Mbak. Setelah Mbak Icha pindah ke Jakarta, beberapa tahun kemudian aku resign dan menikah dengan orang sekantor.”
Icha mengerutkan dahi. Lalu secara tiba-tiba ingatan tentang Lusi menjadi jelas bagai album foto yang terbuka. Bego kamu, Cha! Masa kamu nggak lihat transformasi kecantikan Lusi yang meningkat puluhan lipat, yang artinya melibatkan duit yang tidak sedikit? Lusi memang sejak dulu cantik dan luar biasa seksi. Tetapi tidak bening kinclong dan canggih dengan selera fashion berkelas begini.
“Mbak Icha kapan balik ke kantor Malang sini?” tanya Lusi.
“Baru lima hari, Lus. Sejak Senin kemarin.”
Kebiasaan lama memang susah hilang. Mantan bawahan yang memanggilnya “Mbak” dan dirinya yang cukup panggil nama saja. Meskipun secara usia, mungkin mereka sebaya karena Icha toh memang masuk SD setahun lebih cepat dari yang seharusnya.
“Oh ya, kamu kuliah tahun berapa sih, Lus?” tanya Icha. Pertanyaan efektif dengan berbagai tujuan. Selain untuk bahan obrolan agar tidak garing, juga untuk memastikan usia mereka. Sebagai perempuan, urusan usia memang sensitif. Icha mengakui itu.
Benar saja, Lusi langsung nyerocos menyebutkan tahun masuknya ke universitas.
“Berarti kamu lebih muda dua tahun dari aku, ya? Aku lupa.”
Lusi tersipu malu. Mengatakan kalau dia memang telat masuk kuliah, serta perlu waktu enam tahun untuk lulus. Jadi fixed, mereka seumuran beda bulan doang. Dan ini penting untuk mendongkrak gengsi Icha, si perawan jomlo di usia tiga puluhan.
“Mbak Icha udah kenal sama suamiku? Namanya Diaz.”
Icha menggeleng.
“Oh,” komentar Lusi terlihat kecewa.
Penting nggak sih, aku kenal suami kamu? “Kecuali Pak Arif dan Pak Tjandra, hampir semua orang baru, Lus,” kata Icha kalem.
“Wajar sih, Mbak. Kan sudah bertahun-tahun juga, ya.”
Icha dan Lusi tidak akrab. Tetapi kondisi saat itu membuat Icha mengenal dengan baik karakter Lusi. Bagaimana tidak, selama menjadi bawahan Icha, Lusi masuk dalam daftar pegawai yang kurang memiliki kompetensi. Berkali-kali salah dalam mengerjakan sesuatu, membuat Icha sering terkena imbas. Akhirnya Icha pun menyerah dan Lusi dipindah ke bagian logistik. Karena sepertinya, meskipun sama-sama sarjana ekonomi jurusan akuntansi, Lusi kesulitan memahami kolom-kolom pembukuan sederhana.
Tetapi, apa pun yang terjadi di masa lalu, saat ini Icha sungguh bersyukur bertemu dengan orang yang pernah dia kenal di tempat yang seperti antah-berantah ini! Meskipun iri dengan nasib baik Lusi. Dari penampilannya yang cetar sudah menunjukkan kalau sang suami pasti berpenghasilan lumayan. Arsitek senior? Atau ….
“Halo, sepertinya seru banget obrolannya ini,” sapa seorang pria tiba-tiba.
Icha menoleh dan terkejut melihat siapa yang menginterupsi mereka. Lebih terkejut lagi karena pria ini adalah yang tempo hari dia jumpai di tangga kantor.
“Mbak Icha, kenalin nih, suamiku. Diaz,” kata Lusi.
“Halo, ketemu lagi,” pria itu tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk dijabat Icha.
Oh, ini suami Lusi? Beruntung banget ya, orang cantik suaminya ganteng begini. Meskipun tidak terlalu tinggi untuk ukuran pria, 175 sentimeter maksimal menurut penerawangan sok tahu ala Icha, tetapi Diaz sangat menarik. Dengan matanya yang sedikit sipit, badannya juga bagus. Bahunya lebar, seperti bahu jalan yang cocok buat sandaran!
Jaga otakmu, Cha! Kebangetan! Suami orang, woi!
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co