Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[NOVEL] Segitiga Patah Kaki: Bab 2

storial.co

Dua: Kalkulator Kehidupan

 

Beauty privilege itu memang ada.

Lusi adalah monumen hidup yang membuktikan bahwa wajah cantik memberinya keberuntungan. Iri nggak sih melihat dia memiliki suami setampan Diaz? Jujur, Icha bukan malaikat. Icha manusia yang dilengkapi dengan segala sifat iri dan dengki. Apalagi melihat Lusi yang malu-malu menatap suaminya ini. Hati perempuan mana yang tidak bergelora?

Semua ingatan tentang Lusi terpampang jelas di depan mata. Betapa dulu Icha berkali-kali menderita gara-gara Lusi. Kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh bawahannya itu sering membuatnya tertahan di tempat kerja lebih lama, begadang semalaman untuk memeriksa tabel demi tabel yang salah input, hingga menerima amukan dari atasan karena dianggap tidak becus mengurus tim.

Tapi lihatlah sekarang. Seolah tanpa perlu susah payah, Lusi memakai jalur khusus untuk masuk ke pergaulan perusahaan langsung di posisi tinggi. Dengan ujung matanya Icha menyaksikan bagaimana perempuan yang dulu sering membuatnya murka itu kini beramah-tamah dengan istri para pimpinan. Luar biasa! Sedangkan Icha? Duduk di pojok ruangan sendirian. Meratapi segala hal yang dalam hidupnya yang seolah menolak berjalan sebagaimana mestinya. Apa salahku, Tuhan? Berkali-kali dia berusaha mencari jawaban, kenapa hidupnya masih begini-begini saja.

Dulu Icha mengira dengan pergi ke Jakarta dia akan mengalami lompatan karier yang luar biasa. Ternyata semua tidak seperti bayangan semula. Gaji naik, tetapi standar hidup juga naik, yang ujung-ujungnya kembali ke titik semula. Dan sekarang, kembali ke Malang, bisa dikatakan hidupnya terlempar ke titik nol lagi.

Ah, cukuplah mengasihani diri untuk malam ini. Dengan beringsut, Icha berjalan menuju pintu keluar.

“Mau pulang sekarang, Cha?” tahu-tahu Diaz sudah berada di dekatnya. Pria itu berdiri begitu dekat. Caranya mengucap nama panggilannya juga terdengar akrab. Membuat Icha jengah. Tanpa sadar gadis itu mundur selangkah.

“Iya, sudah cukup saya berada di sini,” jawab Icha sopan. “Lusi masih di ….”

“Biarlah. Lusi senang berada di lingkaran seperti ini. Meskipun sebenarnya tidak ada gunanya bagi dia.”

Eh? Maksudnya apa nih? Icha penasaran. Tetapi memilih untuk tidak menanggapi. Bukan urusanku, Pak Bro! “Baiklah, saya pulang dulu, Pak,” pamitnya takzim. “Selamat malam.”

“Tunggu, Cha!”

Icha menoleh. Terkejut ketika Diaz mendekatinya lagi. “Ya? Ada apa, Pak?”

“Ini sudah cukup malam. Kamu pulang sama siapa?”

Sialan! Apa mentang-mentang aku sendirian jadi harus dikasihani begini? “Oh, itu. Saya bawa kendaraan sendiri kok. Terima kasih sudah peduli. Mari,” kali ini Icha mengangguk singkat dan sopan, lalu cepat-cepat pergi.

***

Baru hari Senin. Tetapi Icha sudah harus bersitegang dengan atasannya sendiri. Melvin.

Tak cukup puas setelah mengerjainya habis-habisan dengan mengirimnya ke pesta membosankan pada Jumat malam, kali ini pria itu lagi-lagi mengerjainya dengan menyuruh melakukan pekerjaan yang sedang berjalan. Yang tidak dia ketahui ujung pangkalnya.

“Ya, nggak apa-apa sih melanjutkan kerjaan on going. Tapi kasih tahu dulu sudah jalan sampai mana, dan mana data-data pendukungnya,” balas Icha dengan kesal, karena merasa diperlakukan seperti mahasiswa magang yang biasa dikerjai.

“Ini proyek desain interior kafe biasa kok, Cha! Masa iya kayak gitu aja kamu nggak sanggup hendel, sih? Harusnya kamu malah sudah khatam. Jenis pekerjaannya gitu-gitu aja,” Melvin menjawab dengan cara merendahkan.

Dan itu sangat menyebalkan!

“Iya, meskipun proyek biasa, nggak bisa dong aku tahu-tahu nyebur tanpa data satu pun!”

“Halah, jangan kebanyakan alasan, deh, Cha. Rapatnya 15 menit lagi tuh. Kamu bisa mulai kerja, dan bukannya ngomel-ngomel kayak nenek-nenek gini!”

“Iya, nggak masalah rapat 15 menit lagi. Lima menit juga nggak apa-apa. Tapi mana laporan yang sudah ada? Kasih ke aku dong. Biar aku ntar nggak bego kayak kebo waktu rapat!” Icha benar-benar kesal. “Etikanya orang yang akan hand over kerjaan itu ya, kasih laporan sebelumnya, biar orang baru tinggal meneruskan,” Icha berusaha sabar.

“Bilang aja kamu nggak bisa kerja. Trus kamu bertahun-tahun kerja di kantor pusat Jakarta, dapet apa? Masa iya ngurus gini aja nggak becus! Kerjaan bikin anggaran proyek interior harusnya kan kamu udah hafal, Cha, tanpa harus ada laporan progres?”

“Ya mana bisa, Vin? Aku nggak tahu proyeknya jalan kapan, anggarannya berapa, item biaya yang dipakai apa aja. Emangnya aku cenayang yang bisa mengetahui urusan begini tanpa baca laporannya? Jangan asal bilang aku nggak bisa kerja. Satu tahun lho aku yang training kamu dulu! Atau jangan-jangan kamu belum menyelesaikan laporan itu, ya? Lalu mengumpankan aku buat menanggung kesalahanmu?”

“Meskipun dulu kamu yang training aku, sekarang kamu bawahanku, Cha. Harus nurut dong apa kataku,” Melvin keras kepala. “Mentang-mentang mutasi dari Jakarta.”

Eh? Icha tertegun. Ini Melvin lagi show off power gitu?

“Melvin … Melvin … Ada-ada aja kamu ini,” Icha menggeleng-geleng, berusaha memahami jalan pikiran pria ini. “Kita sebaya, meskipun dulu secara jabatan aku lebih senior, sekarang di sini kamu yang jadi atasanku. Udah deh, nggak usah macem-macem pakai ngerjain orang segala. Yang penting urusan beres aja, dan tim kita nggak terkendala. Oke?”

“Halo, selamat pagi, Icha, Melvin. Ada apa nih, kok sepertinya tegang?”

Saat itu Icha baru sadar kalau mereka ribut-ribut di koridor depan ruangan finance yang posisinya di lantai satu. Jadi mudah terlihat dari arah lobi. Dan pria yang baru datang, siapa lagi kalau bukan Diaz? Kenapa ya, sekarang pria itu seolah mudah banget dia temui di mana-mana?

“Pagi, Pak Diaz,” Icha menyapa dengan sopan. “Cuma diskusi biasa kok.”

Diaz tertawa. “Melvin, siap rapat pagi ini?” tanyanya.

“Oh, itu. Digantiin sama Icha, Pak,” balas Melvin cepat.

Betapa inginnya Icha menonjok muka Melvin yang seolah mendorongnya pada masalah. Ngapain sih nih orang?

“Oh, Icha yang mewakili Melvin?” tanya Diaz, menatap Icha dengan matanya yang menawan.

Aduh, Pak! Sayang kamu sudah taken! Icha akhirnya mengangguk. “Perintah atasan nggak bisa dilawan, Pak,” katanya menyindir Melvin dengan halus. “Meskipun saya sama sekali tidak tahu-menahu urusannya. Hand over kerjaan tapi nggak ada laporan progres sebelumnya, membuat saya buta,” lanjut Icha. Biarin dibilang sok mengadu. Melvin sudah menyudutkannya seperti ini, satu-satunya cara bertahan ya dengan melempar balik masalah.

“Wah, mana bisa itu. Nggak ada salinan laporan sebelumnya sama sekali?” Diaz mengerutkan kening.

Icha menggeleng. Melvin membuang muka.

“Baiklah kalau begitu. Cha, tim komersial pasti punya laporannya. Yuk, ikut ke kantor saya. Kita ketemu Reza,” ajak Diaz. “Dan Melvin, kalau memang kamu nggak bantu di tim saya, kamu ke Pak Tjandra aja deh. Tadi beliau bilang akan membahas tender baru.”

Noh! Syukurin! Hampir saja Icha melompat kegirangan. Kerja sama Pak Tjandra, kebayang nggak enaknya. Bos satu itu sangat kaku sampai-sampai susah sekali diajak kerja sama. Melihat Melvin yang terkejut, Icha ingin tertawa puas. Tetapi karena tidak ingin berlama-lama berada bersama Melvin, cepat-cepat dia mengekor Diaz.

Icha terkejut ketika Diaz membawanya ke lift khusus pimpinan dan langsung memencet tombol lantai tiga. Apakah pria ini asisten salah satu pimpinan? Barangkali Diaz mau bertemu dengan salah satu pimpinan di atas. Pak Arif biasanya sudah tiba. Atau Pak Tjandra.

Memang ada sih bos satu lagi, tetapi Icha belum kenal. Meskipun bos tersebut adalah orang yang mengirim email berisi tawaran posisi ini kepada Icha saat dia masih di Jakarta. Namanya D. Winadi Sentosa. Sosok yang hingga saat ini belum pernah Icha temui. Jadi terbayang dong betapa terkejutnya Icha ketika Diaz membawanya ke sebuah ruangan. Nama yang tertulis di pintunya membuat Icha melongo. Diaz Winadi Sentosa.

Jadi D. Winadi Sentosa, sang rekanan termuda di Elite Architecs ini, Diaz? What the hell? Seketika pikiran Icha meloncat ke sosok Lusi.

Ya ampun, Lus, andai aku tahu bahwa untuk mendapatkan keberuntungan seperti kamu ternyata nggak membutuhkan kepandaian dan kompetensi di bidang finance, mungkin sudah dari dulu aku mengikuti jejakmu! Karena bersuamikan orang seperti Diaz, siapa yang nolak?

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us