[NOVEL] Segitiga Patah Kaki: Bab 3

Tiga: Masih Single Belum Taken Juga
Kebelet kawin. Ish, istilahnya gini amat. Tetapi bukankah memang begitu kondisinya?
Icha nggak mau munafik. Dia ingin punya suami. Yang ganteng, yang kaya, yang saleh, yang kayak Diaz. Ups! Tet tot! Jaga pikiranmu, Cha! Dia sudah beristri!
Icha berargumentasi dengan pikirannya sendiri. Membela diri bahwa Diaz hanyalah salah satu contoh. Seperti contoh-contoh lain yang selama ini dia kagumi, public figure yang bertaburan baik di dunia nyata maupun maya. Yang kehidupannya serbasempurna. Dan setiap langkah serta perbuatannya disorot media, atau diunggah di akun media sosial untuk menginspirasi ribuan hingga jutaan pengikutnya.
Ibu, maafkan anakmu ini, yang di usia segini masih belum jadi apa-apa. Mana bisa dia membela diri dengan menyebutkan salah satu alasan dirinya masih single, dan belum taken juga adalah karier. Karier apa, Cha? Jangan bikin tertawa dong! Kamu mati-matian kejar karier, menghabiskan sebagian besar pendapatan demi mengikuti pergaulan di kota metropolitan, lalu apa yang kamu dapatkan? Berusaha menjalin hubungan dari satu pria ke pria yang lain, berharap menemukan kecocokan. Dan berakhir dengan penipuan yang membuat tagihan kartu kreditnya membengkak tak masuk akal, yang ujung-ujungnya harus ditutup dengan menggunakan uang ayahnya.
Mana itu pria idaman yang kamu harapkan? Di usia pertengahan dua puluhan berkali-kali dia mencoba satu hubungan dengan pria, yang hanya berujung kena prank. Di usia akhir tiga puluhan, keadaan semakin menyedihkan. Sudahlah sering ketiban sial bagian traktir melulu, eh ada juga yang tega pinjam duit tanpa berniat mengembalikan. Saat pendekatan aduhai manisnya, begitu uang utangan sudah di tangan, menoleh saja enggan. Pria berengsek ternyata banyak bertebaran.
Jadilah sekarang dia kembali ke kampung halaman. Dengan tulisan GAGAL terstempel di dahinya. Tinggal di rumah orang tuanya, mengendarai mobil milik almarhum ayahnya. Menjadi bawahan Melvin yang mantan anak buahnya. Kurang ekstrem gimana lagi, coba? Icha memuji nyalinya yang kuat luar biasa menjalani permainan nasib seperti ini.
Dan satu lagi, single! Yups, that’s the point!
Icha mengamati wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja, mendengarkan kalimat penutupan dari Diaz –ralat: Pak Diaz—yang menekankan beberapa hal yang harus mereka lakukan demi kelancaran pekerjaan. Sebelum membubarkan rapat.
“Oh ya, Cha, laporan kamu saya tunggu sore ini, ya. Kamu orang baru, saya perlu memastikan apakah kamu bisa nge-blend dengan baik bersama tim ini,” kata pria itu.
Nge-blend? Emang eye shadow? Nih orang kebanyakan dengar istrinya ngomongin teknik makeup kali! “Baik, Pak. Saya usahakan secepatnya,” jawab Icha sambil mengangguk sopan.
Ketika Icha sudah melangkah meninggalkan ruangan, mengekor di belakang sosok-sosok peserta rapat yang lain, Diaz memanggilnya lagi.
“Ya, Pak?” tanyanya sambil menoleh dan menghentikan langkah.
Diaz tidak segera menjawab. Pria itu menunggu hingga orang terakhir, Fahri sang arsitek penanggung jawab proyek, meninggalkan ruangan.
“Lusi semalam meminta izin untuk menemuimu di sini,” kata Diaz. “Tentu saja saya mengizinkan. Saya senang kalau istri saya menemukan teman yang cocok.”
What? Icha kok belum paham ya ini maksudnya apa.
“Kemungkinan beberapa jam lagi dia akan datang dan akan mengajakmu makan siang. Maaf, merepotkan. Tapi kamu nggak keberatan kan, kalau harus menemani dia?”
Seperti orang bego Icha mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat. Berusaha menahan derasnya prasangka yang muncul semena-mena di otaknya, atas perilaku bos yang bucin habis kayak gini, sampai-sampai meminta bawahan untuk menemani sang istri.Padahal menurut Icha Melvin sudah cukup aneh. Sang julitawan yang sering insecure tanpa alasan ini.
“Kamu nggak bilang kalau dekat sama Pak Diaz, Cha,” tegur Melvin begitu Icha kembali ke tempat duduknya.
Tuh, kan! Dasar si Melvin. “Dekat gimana maksudnya?” tanya Icha tak acuh.
“Kesannya dia panggil nama kamu enteng gitu,” jawab Melvin.
Oh, itu maksudnya? Icha baru paham standar Melvin tentang arti ‘dekat’. “Nggak sengaja ketemu pas pesta Jumat kemarin.”
“Ha? Terus kalian ngobrol gitu?” reaksi Melvin sungguh berlebihan.
“Ya iyalah, ngobrol. Masa iya harus gaplok-gaplokan? Ada-ada aja kamu ini, Vin.” Melvin boleh jadi atasannya sekarang. Tetapi dia tidak akan bisa memaksa Icha memanggilnya ‘Pak Melvin’.
“Maksudku, di acara-acara kayak gitu biasanya bos-bos nggak ada yang mau dekat sama bawahan, Cha. Mereka ngobrol sendiri. Orang-orang yang dianggap nggak penting dicuekin kayak nyamuk pengganggu. Tapi selalu diwajibkan hadir. Ngeselin, kan? Mana acaranya boring habis. Makanya pada ogah datang.”
Icha mendengus sebal. “Pantesan aku dikorbanin.”
“Anggap saja ucapan selamat datang dari tim, Cha,” Melvin nyengir.
Membuat Icha teringat pada cowok itu delapan tahun yang lalu, ketika pertama terdaftar di sini. Terlihat lugu pada mulanya, tetapi tidak malu-malu menunjukkan ambisinya setelah mengenal lebih dekat.
“Selamat datang gundulmu! Aku udah tua, Vin! Serendah apa juga jabatanku sekarang, kurang ajar banget kalian ngerjain aku,” hardiknya. “Serius deh, Vin. Sikapmu itu berengsek banget, tahu?”
“Iya, Cha, iya, maafin, ya. Aku inget kamu sebagai orang yang baik dan nggak dendam,” Melvin cengengesan.
Icha menghela napas panjang dan bersiap kembali bekerja.
“Ini serius aku nanya, Cha, gimana caranya kamu bisa langsung ngobrol sama Pak Diaz?”
Ish! “Aku ketemu Lusi, dan baru tahu kalau dia menikah dengan Pak Diaz. Terus gitu deh, chit chat terjadi gitu aja.”
“Lusi hadir? Kok tumben?”
“Kok kamu bilang tumben sih? Kan wajar aja, dong. Itu acara bos-bos, dan Lusi istrinya salah satu bos.”
Tetapi Melvin tidak menanggapi ucapan Icha. Sebaliknya cowok itu melengos dengan menyebalkan.
“Makan siang di mana, Cha?” tanya Melvin beberapa saat kemudian.
“Belum tahu. Tumben kamu ramah banget sama aku. Pakai nanya-nanya makan siang segala. Kemarin-kemarin aku dicuekin.”
“Jangan marah, Cha. Kan judulnya test the water. Makan bareng aku yuk!”
“Ehm…” Icha teringat ucapan Diaz tentang rencana kedatangan Lusi.
“Ayolah, Cha. Kapan lagi kamu ditawarin makan siang sama berondong kayak aku?”
Icha membelalak. “Berondong? Siapa? Kamu? Hei, kamu sama aku tuh seusia cuma beda sebulan doang! Enak aja berondong!”
“Biar sebulan kan aku lebih muda, Cha. Jadi tetap saja namanya berondong.”
Untung Icha terbebas dari gangguan Melvin ketika Pak Tjandra muncul dari lift dan berjalan menuju ke tempatnya.
“Melvin!” panggil Pak Tjandra.
Cukup satu kata, pria senior itu sudah membuat Melvin terbirit-birit. Yang disambut Icha dengan mengembuskan napas lega.
Menjelang waktu makan siang, resepsionis menghubungi Icha, mengabarkan kalau Ibu Lusi Sentosa telah menunggunya di lobi.
Hm … Lusi Sentosa? “Baik, akan saya temui segera,” balas Icha kepada sang resepsionis yang belakangan diketahuinya bernama Rani.
Gadis itu segera bangkit dan bergegas. Di lorong menuju lobi, diam-diam dia mengamati Lusi yang sedang duduk di sofa sambil memainkan telepon genggamnya. Bila malam itu istri Diaz tampil dalam busana pesta yang glamor, siang ini dia memakai busana yang lebih sederhana. Setelan rok sepan selutut warna hijau toska pucat dan blus polos warna putih. Selera yang berbeda dengan Lusi yang dikenalnya bertahun-tahun lalu.
Lalu Icha meneliti outfit yang dia kenakan hari ini, dan tersenyum puas pada pilihannya. Celana bahan dengan potongan ramping berwarna moka dia padukan dengan blus sutra warna krem polos. Simplicity is the perfect example of a cool and laid back look. Kalau pun mereka akan makan siang bersama, tanpa perlu menyebut merek, Icha merasa seleranya belum terkalahkan. Yah, paling tidak tagihan kartu kredit dari tahun-tahun kemarin akibat terlalu sering dia gesekkan di butik-butik terkenal itu ada gunanya juga.
Lusi berdiri menyambut kedatangannya. Senyum terkembang di bibir cantiknya yang dipoles sempurna. Riasan natural di wajahnya memang terkesan simpel, tapi Icha paham betul kalau yang terlihat sederhana itu tidak sesederhana proses dan biayanya. Ini garapan seorang profesional! Tebakan yang akhirnya terbukti karena tatanan rambut Lusi kelihatan banget baru keluar dari salon.
“Halo, Mbak Icha. Maaf mengganggu. Kebetulan tadi aku pas lewat sini dan memutuskan mampir buat ketemu kamu,” kata Lusi berbasa-basi.
Icha tersenyum. Hm … kita lihat apa maumu, Lus? Lagian kalian pasangan kok ngomongnya nggak kompak gini sih? Kalau emang sengaja mau datang, apa salahnya ngomong terus terang? Tetapi Icha hanya membalasnya dengan senyum ramah. “Waduh, makasih, ya, Lus. Udah disamperin.”
“Mbak Icha sibuk?”
Icha menggoyang-goyangkan telapak tangannya. “Nggak. Sibuk biasa aja. Udah hampir makan siang juga kok. Kamu mau ketemu Pak Diaz?” pancingnya kepo, kira-kira sang istri pakai alasan apa.
“Oh, nggak. Aku mah pantang gangguin suami saat kerja.”
“Ya, kirain mau makan siang bareng suami,” isengnya Icha kumat deh.
Lusi tersenyum cantik–karena dia tidak manis—sambil memandang Icha. “Suamiku punya urusan sendiri dalam pekerjaan. Makan siang bersama kolega salah satunya. Aku nggak boleh ganggu, dong.”
Yaelah, kalau cuma nyamperin ke kantornya, sekadar say hi! sambil cium-cium manja nggak apa juga kali. Namanya juga suami istri. Lagi pula punya suami dengan bibir seksi macam Diaz kan sayang kalau dianggurin.
Itu kamu kali, Cha! Perawan tua ngebet kawin! Icha tersenyum kecil.
“Mbak, mumpung aku di sini, kita makan siang bareng, yuk!”
Tanpa menunggu ditawari dua kali, Icha mengangguk penuh semangat. Jiwa julid yang diam-diam mengintip, membuatnya penasaran seperti apa selera Lusi sekarang. Terutama setelah dia menempelkan nama Sentosa di belakang namanya.
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co