Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[NOVEL] Segitiga Patah Kaki: Bab 4

storial.co

Empat: Karena Setiap Orang Butuh Teman

 

Icha mengatur posisi kalung yang melingkari leher jenjangnya.

“Semula Ibu pikir rantai kalung itu terlalu sederhana, Cha. Ternyata malah terlihat elegan kamu pakai,” komentar ibunya saat menghampiri Icha yang sedang merias diri di depan cermin.

“Emang cantik kok, Bu. Icha suka sekali,” balasnya sambil menyentuh benda yang tergantung di lehernya itu.

Trinity necklace, salah satu koleksi klasik dari Cartier ini adalah hadiah dari almarhum ayahnya. Dibeli saat mereka liburan di Singapura, tepat setahun sebelum beliau meninggal. Desain sederhana berupa rantai tipis ganda dari emas 18 karat, dilengkapi liontin dari tiga utas kawat berbahan emas putih, rose gold, dan emas kuning yang dipintal bersama membentuk lingkaran tak beraturan untuk mengikat berlian mungil di tengahnya, justru menjadi daya tarik utamanya.

“Ibu lihat kamu setiap hari sudah nyaman mengenakan kalung lagi, Cha,” kata ibunya lagi.

“Iya, Bu. Di Malang sih aman saja pakai kalung seperti ini. Banyak orang nggak paham sama nilai sebenarnya, dikira ini imitasi,” kata Icha.

Gadis itu masih harus berusaha untuk mengenyahkan bayangan buruk tragedi yang dialaminya beberapa tahun lalu. Tragedi yang melibatkan salah satu kalung kesayangannya. Tragedi yang hingga saat ini belum berani Icha ungkapkan kebenarannya pada ibunya.

“Baguslah. Kamu pelan-pelan sudah kembali ke dirimu seperti sedia kala. Ibu selalu bilang, perhiasan yang paling cocok buatmu memang kalung. Kamu nggak pernah pas dengan cincin maupun gelang!”

“Karena Ibu yang mendandaniku dengan kalung sejak kecil, makanya aku senang pakai kalung sampai sekarang,” balas Icha.

“Ibu kan nggak asal menentukan kalung yang kamu pakai, Cha. Tetapi melalui pengamatan yang intens.”

“Iya, Bu. Percaya. Siapa juga yang meragukan selera fashion Ibu!” Icha tertawa lebar.

“Siapa tahu dengan penampilan terbaikmu, jodohmu semakin dekat,” tambah ibunya sambil mencomot beberapa lipstick dari kotak makeup milik Icha, dan memilih yang paling sesuai.

“Bu, Icha sudah sepuluh tahun lho merawat diri dan sadar banget sama penampilan. Tapi jodoh Icha seret juga.”

Halah, kamu ini pesimis banget,” ibunya meremehkan sambil memilih beberapa barang lagi dari kotak makeup Icha.

Berdandan bersama adalah salah satu bentuk kekompakan mereka berdua. Apalagi sejak ayahnya tiada. Mereka dekat karena saling membutuhkan. Sekarang Icha jadi semakin sering melibatkan diri dalam kegiatan ibunya yang aktif ini. Seperti siang ini, mereka akan pergi ke acara bersama teman-teman ibunya, dan pulangnya mampir ke supermarket untuk berbelanja.

“Sebentar Ibu lihat dulu,” ibunya menyentuh kalung di leher Icha, dan mengamati bekas goresan yang semakin samar di sana.

Icha tersenyum, mengakui kalau selera orang tuanya dalam hal perhiasan memang oke. Trinity necklace ini juga yang tempo hari dia bahas bersama Lusi saat mereka makan siang bersama.

“Aku suka kalung itu, Mbak. Bisa kasih referensi belinya di mana?” katanya memuji. “Tampak indah, apalagi kalau dipakai dalam satu set bersama cincin, anting, gelang, dan perhiasan lainnya.”

“Aku dibeliin ayahku, Lus,” jawab Icha enteng. Bagi istri Diaz, pasti mampu lah beli perhiasan ini komplet satu set! Harga segitu pasti nggak mahal bagi suami Lusi. Hanya senilai DP mobil SUV standar saja, kan?

“Oh ya, Mbak, kalungmu yang dulu mana? Aku ingat, liontinnya seperti dari batu-batuan, dan rantainya memang bukan emas sih, tapi untuk ukuran kalung imitasi, yang dulu tuh, lumayan ya!” celetuk Lusi tiba-tiba.

Icha menyembunyikan reaksi kecutnya dalam-dalam. Pasti yang dimaksud Lusi adalah kalungnya yang berbahan rangkaian sterling silver dengan liontin dari batu amethyst berwarna hijau. Kalung legenda yang dimilikinya sejak SMA. Dan harus dia lepas karena terpaksa. Sebenarnya Icha sangat tidak rela kalau perhiasan pertamanya itu disebut imitasi oleh Lusi. Tapi tidak mungkin juga dia mengoreksi. Lusi hanya tidak tahu. Wajar sih. Delapan tahun yang lalu kan, dia belum sekeren sekarang.

“Kalung yang lama entah di mana, Lus. Karena bosen, jadi aku ganti ini aja,” kilah Icha.

Dia tidak menyangka kalau Lusi masih ingat dengan barang milik orang lain yang ditemuinya bertahun-tahun lalu, dan menanyakannya. Sebab Icha bukan jenis orang yang begitu. Dia memang mengamati apa yang apa saja yang dikenakan Lusi siang ini. Tetapi memilih untuk tidak berkomentar apa pun. Nggak sopan, tahu? Selera Lusi pada barang bermerek rada-rada tidak berkepribadian. Pilihannya jatuh pada model-model mainstream yang sudah banyak dipakai orang karena tren. Membuat Icha teringat pada beberapa teman sosialita ibunya yang ngotot memakai merek tertentu bukan karena cocok, tetapi takut ketinggalan mode.

Dan Lusi masih sosok membosankan seperti yang dia kenal bertahun-tahun lalu. Obrolan bersamanya sering mentok karena kehabisan bahan. Komunikasi jadi agak sulit, karena satu sama lain tidak memiliki referensi yang seimbang. Apa yang dilontarkan oleh Icha tidak bisa ditanggapi dengan baik oleh Lusi. Sedangkan topik yang dibahas Lusi bukan jenis yang menarik bagi Icha. Mereka sudah berpisah sekian lama, dan berkembang menjadi pribadi yang sama-sama berbeda. Sekelumit kebersamaan di masa lalu tidak cukup menjadi amunisi pembahasan dalam waktu lama.

Ketika mereka berputar arah membicarakan hal-hal umum dunia perempuan, ternyata tidak menjamin obrolan bisa lancar juga. Memang sih, ngobrolin mode bisa menarik kalau bersama orang yang tepat. Tetapi orang itu bukan Lusi!

Please deh, Pak Diaz, kamu udah bisa dandanin istrimu sehingga bisa ter-upgrade sekian ribu poin penampilannya. Masa iya kamu nggak bisa sekalian merogoh kocek lebih dalam untuk mendandani otaknya? Minimal personal trainer dan mentor kepribadian harus disewa agar bisa mengajari Lusi. Kan dia sudah bergaul dengan istri para bos? Bosen tahu, dengerin dia ngomongin tas Bu Tjandra harga segini, punya koleksi dompet merek anu dibeli di sono dengan harga segitu. Atau Bu Arif yang baru mengunjungi anaknya di Jepang, lalu melancong ke mana-mana selama sebulan.

***

Setelah memarkir mobilnya dengan mulus di sela-sela kendaraan yang memenuhi halaman salah satu supermarket terkenal di Malang, Icha segera meloncat dan menyusul ibunya yang sudah lebih dulu turun dan kini menunggunya di pintu masuk. Tanpa kata, Icha mengambil satu troli dan mendorongnya pelan, mengikuti ibunya yang berjalan untuk memilih aneka barang.

Gadis itu tidak berkomentar maupun mengeluh ketika ibunya dengan cermat membaca kandungan bahan-bahan yang tertera dalam kotak beberapa jenis makanan. Karena ibunya jenis orang yang sangat peduli pada apa pun yang dikonsumsinya, dan menghitung dengan tepat jumlah nutrisi yang masuk ke tubuhnya.

Kali ini pun ibunya mengembalikan botol canola oil ke tempatnya. “Ibu mau coba varian yang lain,” katanya sambil bergerak ke rak berikut. “Merek yang tadi kurang bening dan ada aroma yang agak tidak wajar.”

Icha sama sekali tidak memahami apa yang dimaksud dengan kurang bening maupun aroma tidak wajar dari sebotol minyak. Di matanya semua terlihat mirip, hanya beda kemasan serta label saja. Tetapi dengan sabar Icha menunggu sampai ibunya memutuskan akan membeli yang mana, sambil mengamati sekelilingnya. Lai Lai Market di Sabtu siang begini memang cukup ramai. Tetapi antrean di kasir belum sampai mengular dengan mengerikan seperti beberapa kesempatan sebelumnya.

“Mbak Icha!”

Terdengar suara memanggilnya. Ketika Icha menoleh, dia melihat Lusi sedang mendorong troli berukuran mini. “Halo, Lus!” sapanya. Senang? Biasa saja.

“Belanja sama siapa, Mbak?” tanya Lusi sambil mendekat.

Iseng Icha melirik ke barang belanjaan Lusi. Kecap biasa. Dan tisu. Nih anak gabut kali ya? “Sama ibuku. Tuh! Lagi milih-milih minyak. Kamu?”

“Sendiri, Mbak,” jawab Lusi. “Naik taksi tadi, terus mampir ke sini. Lihat-lihat, kali aja ada yang butuh.”

Kok kasihan, ya? Dia yang sudah bersuami, kenapa kelihatan dia yang kesepian sekali? Akhirnya Icha menemani Lusi ngobrol sambil menunggu ibunya berbelanja. Ngobrol dalam arti Icha yang lebih banyak berbicara, menjelaskan satu demi satu barang yang dibeli ibunya.

“Ibunya Mbak Icha seru, ya,” komentar Lusi takjub. “Aku pengen banyak belajar tentang segala hal. Kayak makanan-makanan begini aku nggak paham, Mbak.”

Pak Diaz! Keterlaluan kamu, ya! Bisa-bisanya menelantarkan istrimu begini.

“Suami kamu ke mana, Cha?”

“Kalau Sabtu dia main golf sama Pak Arif dan kelompoknya. Kalau hari Minggu, biasanya dia main paralayang, naik motor, atau bersepeda sama temen-temen kuliahnya dulu.”

Icha tidak akan tega bertanya lebih lanjut. Sebab raut muka Lusi saja sudah menunjukkan kegalauan. Memang ya, cantik polesan dan cantik dari dalam itu memberi pancaran energi yang berbeda. Menurut Icha.

Hingga mereka berpisah karena ibunya sudah menyelesaikan aktivitas belanjanya.

“Itu tadi …”

“Istri salah satu bos junior di kantor, Bu,” potong Icha cepat.

“Dia salah kostum, dandanannya juga …”

“Ibu, jangan mulai, deh! Ya kali semua anak perempuan punya ibu hebat kayak Icha begini,” Icha ngakak.

Dan dihadiahi sentilan di telinganya. Membuat Icha merasa trenyuh. Kenapa ya dulu dia begitu tega meninggalkan ibunya sendiri selama beberapa tahun? Padahal hidup bersama begini ternyata sangat menyenangkan. Ah, penyesalan memang datangnya belakangan kok. Nggak usah ditanya lagi!

***

Icha menjajari langkah Fahri yang berjalan cepat keluar dari kantor. Tiga puluh menit lagi dia akan mendampingi arsitek senior yang mengepalai proyek desain interior kafe tersebut bertemu dengan owner-nya. Dalam rombongan kecil itu juga ada dua orang asisten arsitek yang turut serta.

Tiba-tiba langkah Fahri terhenti ketika HP-nya berbunyi. “Kalian duluan ke parkiran, deh. Pak Diaz menghubungi.”

Dengan menurut ketiga orang tersebut segera menuju ke mobil Innova hitam milik kantor yang akan mengantar mereka. Tetapi sebelum mereka memasuki kendaraan tersebut, suara Fahri yang berteriak kencang mencegahnya.

“Tunggu! Kita bareng Pak Diaz, nih! Pakai mobil beliau!”

Dan pengalaman yang sudah-sudah pun terulang lagi. Sebagai satu-satunya perempuan dalam rombongan kali ini, dianggap sangat wajar kalau Icha duduk di depan, di samping sopir yang kebetulan sangat menawan. Siapa lagi kalau bos ganteng bernama Diaz.

“Siap, Cha?” tanya pria itu sambil menunggu Icha memperbaiki posisi seat belt.

“Iya, Pak, sudah,” jawab Icha yang tanpa sadar menoleh dan bertatapan selama sekian detik dengan suami Lusi.

“Kalungmu … bagus,” komentar Diaz tiba-tiba. Lalu buru-buru memalingkan muka dan menatap ke depan, berkonsentrasi pada kemudi.

Sumpah ya, beneran ini pasangan suami istri Diaz dan Lusi resek banget deh soal kalung. Apa mereka ini fetish pada aksesori ini? Tiba-tiba Icha bergidik membayangkan aktivitas seks mereka berdua. Ish! Jaga otakmu, Cha!

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us