Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Romantika Fatamorgana

pexels.com/MinAn

Dari wajah ke wajah, angin menjelma pesona, yang mengisyaratkan fatamorgana pada puncak cakrawala.

Dari selarik sajak bisu ini, kulukiskan wajahmu yang terkapar di sela-sela otakku, menghardik, menggeram, menggerutu, diteluhkan musim lewat awan cantiknya.

Pernahkah kau mengira pagi akan datang secepat subuh? Lalu sedih kalbu selepas kau pergi dengan membunuh angan-anganku. Sungguh ingin kumenjadi optik panoramamu saja, lalu membiaskan cahaya bagai fatamorgana kala itu. Meski pada akhirnya membisu sebab itu hanya palsu.

Kicaukan saja kematianku, di bumi tempatku menggorongkan nafas sepia, bak wujud gumpalan garis di ujung sana, terlihat ada namun sebenarnya tiada.

Yah bagaikan fatamorgana. Yang senantiasa menunggu awan mengabarkan bahagia, potret lanskap cepat yang indah. Namun sekali lagi aku adalah tiada.

Bisakah kumembaca bisu yang segera raib dimakan waktu? Menunggu arah perjalananmu pulang ke tempat kita dahulu. Bersama-sama mengenali diam, mencipta sunyi lewat gelap yang semakin mengenang.

Ruangku bertanya sayang. Kita telah lupa rasa sakit yang menggema di pusat waktu kala binatang jalang sepertiku mampus akan fantasi yang membunuh.

Beri saja aku suara liar dari bangkai yang kau sebut busuk. Agar mempercepat kematianku dari setiap narasi pergimu, kalap merayap karam. Sebab asmara hanyalah nyeri yang tak berkesudahan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Aulia Anggraini
EditorDwi Aulia Anggraini
Follow Us