Kesehatan Mental: Tantangan dan Solusi untuk Milenial dan Gen Z

- Generasi Milenial dan Gen Z menghadapi tekanan kesehatan mental dari ketidakstabilan ekonomi, perubahan iklim, dan ketidakadilan sosial.
- Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental mendorong mereka untuk mencari dukungan melalui praktik mindfulness dan kampanye kesehatan mental.
- Media sosial menciptakan ilusi kesempurnaan yang berdampak negatif pada harga diri, sementara kecemasan global juga mempengaruhi kesehatan mental Milenial dan Gen Z.
Milenial dan Gen Z menghadapi tantangan signifikan terkait kesehatan mental mereka, dipengaruhi oleh berbagai peristiwa global, termasuk ketidakstabilan ekonomi, perubahan iklim, dan ketidakadilan sosial.
Di era digital, mereka berjuang dengan dampak negatif media sosial, seperti tekanan untuk memenuhi standar yang tidak realistis dan perbandingan diri yang dapat merusak harga diri.
Namun, generasi ini juga makin sadar akan pentingnya kesehatan mental dan mencari dukungan melalui praktik mindfulness, kampanye kesehatan mental, dan pengurangan stigma di sekitar masalah ini.
Kesadaran ini mendorong mereka untuk memperjuangkan akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan mental dan pendidikan, serta mendorong pemerintah untuk mengintegrasikan isu ini dalam kebijakan publik.
Perhatian terhadap penyintas kekerasan seksual juga makin meningkat, dengan Milenial dan Gen Z berupaya untuk menantang stigma yang melekat dan mendorong perubahan untuk mendukung korban.
Pemerintah diharapkan memperluas akses layanan kesehatan mental, terutama di pusat kesehatan masyarakat, dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesejahteraan mental.
Meskipun ada kemajuan, tetapi tantangan struktural dan budaya tetap ada, sehingga diperlukan upaya berkelanjutan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua individu, khususnya bagi generasi muda yang berjuang dengan berbagai tekanan zaman modern.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana generasi Milenial dan Gen Z di Indonesia, IDN Research Institute bekerja sama dengan Populix sebagai Research Partner memulai studi untuk mengungkap perilaku, nilai, dan aspirasi sehari-hari yang mendorong dua generasi ini.
Berikut ini paparan temuan riset Indonesia Millennial and Gen Z Report 2025 terkait kesehatan mental dan kesejahteraan Generasi Milenial dan Gen Z.
1. Dampak peristiwa global terhadap kesejahteraan mental

Generasi Milenial dan Gen Z sering disebut sebagai "generasi cemas" karena menghadapi tantangan besar, seperti krisis global, ketidakstabilan ekonomi, dan masalah lingkungan. Semua itu mempengaruhi kesehatan mental mereka secara signifikan.
Sebanyak 55 persen responden menganggap ketidakstabilan ekonomi sebagai sumber utama kecemasan, yang menyoroti pentingnya pendekatan kesehatan mental yang lebih menyeluruh yang mempertimbangkan isu-isu global dan sosial yang lebih luas.
Lengkapnya, berikut ini beberapa faktor pemicu stres Milenial dan Gen Z:
- Ketidakstabilan ekonomi: 55 persen.
- Ketidakpastian ekonomi saat ini: 44 persen.
- Ketidakadilan sosial: 31 persen.
- Perubahan iklim: 28 persen.
- Tekanan pekerjaan: 24 persen.
- Kesulitan mencari pekerjaan pasca pandemi COVID-19: 22 persen.
Di Indonesia, generasi Milenial dan Gen Z makin sadar akan tekanan mental yang diakibatkan oleh kehidupan digital yang terus terhubung, dengan derasnya berita, paparan media sosial, dan konten online yang tiada henti.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, Milenial dan Gen Z lebih terbuka mengenai masalah-masalah ini dan secara aktif mencari dukungan serta menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas.
Pergeseran ini menunjukkan bahwa pemerintah, perusahaan, dan komunitas harus mengembangkan strategi kesehatan mental yang lebih komprehensif, melampaui sekadar fokus pada kebugaran fisik dan pola makan.
Seiring dengan meningkatnya tingkat stres, banyak yang beralih ke profesional kesehatan, perawatan diri, olahraga, dan aktivitas kreatif untuk mengatasi tekanan.
Praktik mindfulness, khususnya meditasi Vipassana, makin diminati karena membantu mengalihkan fokus dari kekacauan dunia dan membawa ketenangan dalam menjalani kehidupan saat ini. Retret meditasi di tempat-tempat seperti Vipassana International Academy di Jakarta atau Dhamma Java di Jawa Tengah menjadi makin populer sebagai cara untuk meredakan tekanan hidup modern.
Hampir setengah dari Milenial dan Gen Z menggunakan perawatan diri, olahraga rutin, dan kegiatan kreatif sebagai cara utama mengelola stres, terutama di kota-kota besar.
Sebanyak 35 persen menggunakan aktivitas kreatif sebagai sarana mengekspresikan emosi dan mencari kelegaan, dengan Gen Z menunjukkan minat yang lebih besar terhadap aktivitas ini dibandingkan Milenial. Fokus mereka pada mindfulness, kreativitas, dan dukungan komunitas mencerminkan pendekatan holistik dalam mengelola kesehatan mental.
Mindfulness telah berkembang dari praktik spiritual menjadi bagian dari gaya hidup arus utama yang membantu orang mencapai kejernihan mental, meredakan stres, dan meningkatkan kesejahteraan.
2. Terhubung di era digital secara mindful

Di Indonesia, Milenial dan Gen Z makin sadar akan dampak negatif dari penggunaan media sosial yang berlebihan, seperti kelelahan digital dan kecemasan.
Mereka merangkul gerakan detoks digital, mencoba menemukan keseimbangan yang lebih sehat dengan teknologi melalui inisiatif seperti “Unplugged Sundays” atau menghadiri retret untuk memutuskan hubungan dari perangkat.
Pergeseran ini bertujuan untuk mengembalikan kendali atas waktu dan kesehatan mental mereka.
Mengelola kecemasan di tengah tantangan cancel culture
Generasi Milenial dan Gen Z mengelola kecemasan terkait ancaman daring dengan cerdas. Sebanyak 56 persen menghindari topik konflik, 51 persen memperketat pengaturan privasi, dan 51 persen lainnya menggunakan fitur blokir atau nonaktifkan terhadap pengguna yang mengancam.
Ini menunjukkan bahwa mereka proaktif dalam menjaga lingkungan digital yang aman dan terkontrol, sambil tetap waspada terhadap risiko interaksi daring.
Tantangan untuk memutus hubungan dengan paparan konten digital
Generasi Milenial dan Gen Z menghadapi tantangan besar dalam memutus hubungan dari dunia digital.
Sebanyak 63 persen Milenial dan 70 persen Gen Z berjuang untuk melepaskan diri dari keterhubungan ini, sementara hanya 37 persen Milenial dan 30 persen Gen Z yang berusaha mengurangi waktu layar mereka.
Siklus doomscrolling, di mana mereka terus terpapar berita negatif, meningkatkan kecemasan dan menciptakan rasa kewalahan. Paparan ini dapat menyebabkan stres berkepanjangan, sehingga perlu upaya untuk menemukan keseimbangan dan mengelola kesehatan mental.
Dampak negatif ilusi kesempurnaan dari media sosial pada Milenial dan Gen Z
Media sosial menciptakan ilusi kesempurnaan yang berdampak negatif pada Milenial dan Gen Z.
Sebanyak 55 persen Milenial dan 65 persen Gen Z mengaku bahwa standar ideal yang diproyeksikan di media sosial merusak harga diri mereka. Meskipun memahami bahwa gambar tersebut terkurasi, tetapi mereka tetap merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dan sering kali terjebak dalam siklus mengejar kesempurnaan yang tidak realistis; ini dialami oleh 45 persen Milenial dan 35 persen Gen Z.
Melawan budaya membanding-bandingkan diri di media sosial dan menemukan self-worth
Budaya membandingkan diri di media sosial berdampak besar pada Milenial dan Gen Z. Sebanyak 70 persen Gen Z dan 58 persen Milenial secara rutin membandingkan hidup mereka dengan orang lain secara daring, yang memperburuk kecemasan dan depresi.
Meski menyadari bahaya membanding-bandingkan diri di media sosial ini, banyak yang kesulitan melepaskan diri dari siklus tersebut, dengan 42 persen Milenial dan 30 persen Gen Z merasa sulit menghindarinya.. Hal ini memicu rasa ketidakmampuan yang dapat memperburuk masalah kesehatan mental.
Memahami risiko mencari validasi eksternal
Milenial dan Gen Z sama-sama bergantung pada validasi media sosial, dengan 52 persen Milenial dan 68 persen Gen Z mengandalkan like, komentar, dan share untuk meningkatkan harga diri mereka.
Meskipun 48 persen Milenial dan 32 persen Gen Z menyadari perlunya melepaskan diri dari ketergantungan ini, tetapi banyak yang masih berjuang karena sifat media sosial yang dapat menyebabkan kecanduan. Ini menggambarkan dampak signifikan media sosial terhadap harga diri kedua generasi dan tantangan untuk membangun hubungan yang sehat dengan umpan balik daring.
Dampak doomscrolling pada Milenial dan Gen Z
Doomscrolling, atau konsumsi berita negatif secara terus-menerus, telah memperburuk masalah kesehatan mental bagi Milenial dan Gen Z.
Sekitar 60 persen Milenial dan 72 persen Gen Z merasa terbebani oleh berita negatif dan krisis global, sementara 40 persen Milenial dan 28 persen Gen Z sulit untuk melepaskan diri dari kebiasaan ini.
Dalam era informasi yang selalu tersedia, mereka sering kali kewalahan oleh paparan berita buruk mengenai perubahan iklim, kerusuhan politik, dan krisis kesehatan, yang makin meningkatkan kecemasan dan rasa putus asa.
Paparan terus-menerus terhadap konten negatif ini berkontribusi pada siklus kecemasan yang sulit diputus, terutama bagi mereka yang memiliki empati tinggi.
Dampak konflik global terhadap kesehatan mental
Konflik Palestina yang berkepanjangan memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan mental Milenial dan Gen Z di Indonesia.
Sekitar 55 persen Milenial melaporkan stres akibat implikasi lokal dari krisis ini, dengan 45 persen merasakan tekanan untuk ikut serta dalam kampanye boikot.
Pada Gen Z, sebanyak 68 persen merasa terbebani secara mental oleh isu ini, dan 32 persen merasa dorongan kuat untuk bertindak, yang dapat menimbulkan ketegangan dalam komunitas.
Paparan terus-menerus terhadap berita dan gambar yang menyedihkan mendorong mereka untuk terlibat, tetapi juga menambah beban emosional, membuatnya sulit untuk mengatasi tekanan tersebut.
Stres akibat menyesuaikan diri dengan ekspektasi masyarakat
Generasi Milenial dan Gen Z menghadapi stres akibat tekanan untuk memenuhi ekspektasi masyarakat terkait aktivisme sosial.
Sebanyak 58 persen Milenial merasa terbebani oleh tuntutan ini, yang sering kali menyebabkan konflik sosial, sedangkan 65 persen Gen Z merasakan tekanan lebih besar, merasa dihakimi jika tidak sejalan dengan pandangan dominan.
Kedua generasi berjuang untuk menyeimbangkan keyakinan pribadi dengan tuntutan sosial, dengan 42 persen Milenial dan 35 persen Gen Z mengalami konflik internal.
Beban emosional dari dinamika sosial ini dapat sangat membebani, sering kali mengorbankan kedamaian pribadi demi memperjuangkan keyakinan mereka.
Merangkul keberagaman dan memahami perbedaan kemanusiaan
Krisis global, seperti konflik Palestina, telah memperdalam perbedaan pandangan kemanusiaan dan religius di antara Milenial dan Gen Z.
Di Indonesia, 50 persen Milenial merasakan bahwa isu-isu global ini telah meningkatkan perbedaan dalam komunitas mereka, dengan 50 persen lainnya mengalami ketegangan dalam lingkaran sosial dan keluarga akibat interpretasi yang berbeda.
Sementara itu, 60 persen Gen Z mencatat adanya bentrokan pandangan mengenai isu global, dan 40 persen merasa kesulitan untuk mengatasi perbedaan yang kompleks ini.
Divergensi ini menunjukkan tantangan yang muncul ketika kepedulian global berinteraksi dengan keyakinan pribadi dan komunitas, sering kali menyebabkan ketegangan dan konflik.
3. Perubahan pandangan terhadap korban kekerasan seksual

Generasi Milenial dan Gen Z di Indonesia telah memimpin perubahan sikap terhadap kekerasan seksual, menggunakan media sosial untuk menantang stigma dan budaya menyalahkan korban (victim-blaming).
Upaya mereka bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih mendukung dan mendorong perubahan sistemik, yang melindungi dan memberdayakan mereka yang terdampak kekerasan seksual.
Sebuah survei menunjukkan bahwa 37 persen Gen Z memprioritaskan pengurangan stigma kesehatan mental, sedikit lebih tinggi dibandingkan 35 persen Milenial, menunjukkan komitmen yang lebih besar dari Gen Z.
Meskipun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan, tetapi kekhawatiran mengenai bantuan bagi korban tetap tinggi, dengan 45 persen responden Milenial dan 49 persen Gen Z meyakini bahwa lebih banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan korban menerima perlindungan dan dukungan yang mereka butuhkan.
Namun, ada kesenjangan dukungan antara wilayah perkotaan dan area rural; 55 persen Gen Z dan 54 persen Milenial di kota besar menunjukkan kepedulian terhadap korban, dibandingkan dengan 43 persen dan 35 persen di kota kecil. Hal ini menunjukkan perlunya penjangkauan dan edukasi yang lebih baik di kota-kota yang lebih kecil untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan.
4. Upaya pemerintah terhadap kesehatan mental

Generasi Milenial dan Gen Z mendukung perluasan layanan kesehatan mental di Indonesia, terutama di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas).
Sebanyak 61 persen responden menganggap pentingnya layanan konsultasi dengan psikolog di Puskesmas, dengan dukungan paling kuat datang dari Gen Z (63 persen).
Sebanyak 51 persen responden menekankan perlunya akses yang lebih luas ke layanan kesehatan mental yang terjangkau, mencerminkan peningkatan permintaan dukungan kesehatan mental. Dengan kesadaran yang makin tinggi terhadap kesehatan mental, generasi ini menyerukan pemerintah untuk memastikan layanan dapat diakses di daerah yang kurang terlayani.
Promosi kesehatan mental setara dengan kesehatan fisik menjadi prioritas bagi 60 persen responden, dengan Gen Z menunjukkan dukungan kuat. Perubahan generasi ini dalam sikap terhadap kesehatan mental ini menggarisbawahi pentingnya kampanye dari pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma.
Selain itu, 50 persen responden menilai pentingnya cakupan masalah kesehatan mental dalam program BPJS dan fasilitas kesehatan negara lainnya.
Upaya untuk mengurangi stigma, yang didukung oleh 45 persen responden, juga sangat penting agar lebih banyak orang merasa nyaman mencari bantuan.
Melalui kampanye dan kebijakan yang tepat, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi mereka yang menghadapi tantangan kesehatan mental.
5. Menjadikan dukungan kesehatan mental terjangkau dan mudah diakses

Akses ke layanan kesehatan mental yang terjangkau menjadi perhatian utama, dengan 56 persen responden menekankan pentingnya layanan konsultasi dengan psikolog yang terjangkau.
Hal ini menunjukkan bahwa keterjangkauan merupakan elemen kunci dalam kebijakan kesehatan mental yang efektif.
6. Mengurangi stigma seputar kesehatan mental

Terdapat kesenjangan signifikan dalam dukungan terhadap kebijakan kesehatan mental antara wilayah perkotaan dan pedesaan di kalangan Gen Z dan Milenial.
Di kota-kota besar, 67 persen Gen Z dan 62 persen Milenial menganggap pentingnya upaya pemerintah dalam kesehatan mental. Namun, dukungan ini menurun di kota-kota yang lebih kecil, dengan hanya 58 persen Gen Z dan 52 persen Milenial yang mendukung.
Kesenjangan ini menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran dan dukungan di kota-kota yang lebih kecil, dengan pendekatan khusus untuk mengatasi tantangan yang berbeda di masing-masing komunitas.
7. Menangani masalah kesehatan mental dari sumbernya

Tekanan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap kesehatan mental, memengaruhi empat area utama: kondisi sosial ekonomi, stres pekerjaan, media sosial, dan ekspektasi akademis.
Kecemasan sosial ekonomi muncul dari kekhawatiran tentang stabilitas keuangan dan ketidakadilan sistemik.
Stres pekerjaan terkait dengan navigasi pasar kerja pascapandemi yang penuh ketidakpastian, sementara media sosial menciptakan rasa takut untuk tidak memenuhi standar yang ditetapkan.
Kecemasan akademis juga meningkat akibat tekanan untuk berprestasi dalam ujian dan mendapatkan penempatan universitas terbaik.
Untuk meningkatkan kesehatan mental, diperlukan lingkungan yang aman dan mendukung di berbagai aspek kehidupan.
Dalam keluarga, komunikasi terbuka dan dukungan emosional sangat penting. Sekolah harus meningkatkan kesadaran dan menyediakan layanan konseling, sedangkan tempat kerja perlu memprioritaskan kesehatan mental dengan promosi work-life balance.
Selain itu, kampanye publik dan layanan yang mudah diakses diperlukan untuk menciptakan budaya yang mendukung kesejahteraan mental masyarakat.
8. Menciptakan masa depan yang lebih cerah untuk kesehatan mental

Generasi Milenial dan Gen Z dikenal sebagai "generasi yang cemas," sangat terpengaruh oleh krisis global seperti ketidakstabilan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan perubahan iklim.
Sekitar 55 persen responden mengidentifikasi ketidakstabilan ekonomi sebagai sumber utama kecemasan, menunjukkan perlunya pendekatan komprehensif terhadap kesehatan mental yang mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas.
Media sosial berfungsi sebagai alat dan tantangan, membantu koneksi dan aktivisme, tetapi juga memaksakan standar yang tidak realistis, menyebabkan keraguan diri dan kecemasan.
Selain itu, konsumsi berita negatif secara kompulsif, atau doomscrolling, memperburuk kesehatan mental dengan meningkatkan kecemasan terkait peristiwa global dan lokal. Tekanan untuk terlibat dalam aktivisme dan memenuhi ekspektasi sosial menciptakan ketegangan dalam komunitas dan keluarga.
Dengan meningkatnya tantangan ini, generasi Milenial dan Gen Z makin mengadvokasi layanan dan pendidikan kesehatan mental yang dapat diakses. Mereka mendukung integrasi pendidikan kesehatan mental ke dalam kurikulum sekolah dan perluasan layanan di Puskesmas. Peningkatan praktik kesadaran dan sistem dukungan komunitas menunjukkan pengakuan akan pentingnya kesejahteraan mental.
Untuk meningkatkan hasil kesehatan mental, inisiatif pemerintah yang komprehensif dan upaya mengurangi stigma sangat diperlukan.
IDN menggelar Indonesia Millennial and Gen-Z Summit (IMGS) 2024, sebuah konferensi independen yang khusus diselenggarakan untuk dan melibatkan generasi Milenial dan Gen Z di Tanah Air. Dengan tema Catalyst of Change, IMGS 2024 bertujuan membentuk dan membangun masa depan Indonesia dengan menyatukan para pemimpin dan tokoh nasional dari seluruh nusantara.
IMGS 2024 diadakan pada 22-23 Oktober 2024 di The Tribrata Dharmawangsa, Jakarta. Dalam IMGS 2024, IDN juga meluncurkan Indonesia Millennial and Gen-Z Report 2025. Survei ini dikerjakan oleh IDN Research Institute bekerja sama dengan Populix sebagai Research Partner. Melalui survei ini, IDN menggali aspirasi dan DNA Milenial dan Gen Z Indonesia.