Studi: Otak Remaja Menua Pesat saat Pandemi COVID-19

Bukti dampak stres saat COVID-19 nyata!

Bukan rahasia kalau pandemi COVID-19 bikin stres. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa tingkat prevalensi depresi dan kecemasan (anxiety) saat pandemi naik hingga 25 persen di seluruh dunia. Dari faktor kesendirian hingga halangan produktivitas, berbagai faktor bikin kita makin stres.

COVID-19 dan stres memiliki kesamaan. Apa itu? Sama-sama bisa memengaruhi usia otak. Selain dapat berbahaya untuk otak, ternyata stres akibat pandemi COVID-19 juga mempercepat penuaan otak!

Meneliti ratusan partisipan remaja

Studi: Otak Remaja Menua Pesat saat Pandemi COVID-19ilustrasi sedih (pexels.com/ Juan Pablo Serrano Arenas)

Memang, stres di masa pandemi berdampak negatif bagi kesehatan mental dan saraf. Namun, apakah dampak pandemi terhadap perkembangan psiko-biologis bisa dibandingkan dengan masa sebelum pandemi? Inilah yang coba diteliti oleh para peneliti dari Stanford University, Amerika Serikat (AS).

Dimuat dalam jurnal Biological Psychiatry: Global Open Science pada awal Desember 2022, penelitian ini melibatkan 163 partisipan dengan usia rata-rata 16 tahun. Para partisipan terbagi menjadi:

  • Sebanyak 81 partisipan (sebelum pandemi COVID-19: November 2016–November 2019).
  • Sebanyak 82 partisipan (saat pandemi COVID-19: Oktober 2020–Maret 2022).

Dari setiap kelompok partisipan sebelum dan saat pandemi COVID-19, sebanyak 64 partisipan menjalani pemindaian otak dengan teknologi pencitraan resonansi magnetik (MRI).

Hasil: Terlepas dari usia, otak menjadi lebih tua saat pandemi COVID-19

Hasilnya, para peneliti AS memaparkan perbedaan kesehatan mental antara remaja sebelum COVID-19 dan di tengah pandemi. Ternyata, kelompok remaja yang telah menyaksikan pandemi COVID-19 melaporkan gejala kecemasan dan depresi yang lebih buruk dibanding sebelum pandemi.

Para peneliti juga membandingkan hasil pemindaian otak kedua kelompok. Dibanding sebelum pandemi, otak remaja saat pandemi mengalami penyusutan di bilateral cortical (fungsi eksekutif, perencanaan, dan logika) dan penambahan di volume amigdala (ketakutan dan stres).

Terlepas fakta bahwa kedua kelompok sama usia dan karakteristik demografi lainnya, otak remaja pada masa pandemi lebih tua dibanding remaja yang diteliti sebelum pandemi.

"Perbedaan usia otak sekitar tiga tahun. Kami tidak menyangka perbedaannya bisa begitu besar mengingat periode lockdown hanya kurang dari setahun," tutur kepala peneliti dan profesor psikologi di Stanford University, Ian Gotlib, PhD., dilansir The Guardian.

Baca Juga: Studi: Olahraga Outdoor Cegah Depresi saat Pandemik COVID-19

Lebih terlihat pada remaja dengan masa kecil kurang bahagia

Studi: Otak Remaja Menua Pesat saat Pandemi COVID-19ilustrasi orang depresi (unsplash.com/M.)

Penelitian ini menambah bukti bahwa pandemi COVID-19 berdampak negatif bukan hanya untuk psikis, juga bagi perkembangan otak. Selain itu, para peneliti mencatat bahwa temuan ini terlihat jelas pada remaja yang berusia lebih lanjut dan memiliki riwayat masa kecil kurang bahagia.

Selain penyusutan, penelitian ini mencatat peningkatan di beberapa wilayah otak. Karena volume struktur ini bisa menipis dan bertambah seiring usia, perubahan ini memperlihatkan penuaan otak selama pandemik dan usia otak yang lebih tua dibanding remaja sebelum pandemik.

"Oleh sebab itu, terlihat bahwa pandemik tidak hanya memengaruhi kesehatan mental remaja secara negatif, tetapi juga mempercepat penuaan otak," tulis penelitian bertajuk "Effects of the COVID-19 Pandemic on Mental Health and Brain Maturation in Adolescents".

Perlu dilihat dalam jangka panjang

Para peneliti mengingatkan kelemahan terbesar penelitian ini: sampel berasal dari status sosial ekonomi tinggi. Oleh karena itu, para peneliti berharap penelitian selanjutnya mengenai efek stres pandemi COVID-19 terhadap otak bisa dilakukan pada populasi lebih beragam.

Selanjutnya, para peneliti mengatakan bahwa penelitian ke depan bisa mencari tahu apakah perubahan otak tersebut bersifat sementara atau permanen. Selain memantau para partisipan remaja, para peneliti mengingatkan bahwa perlu penelitian lebih dalam mengenai stres yang dipicu COVID-19 dalam skala global.

"Kami belum tahu. Kami mulai memindai kembali semua partisipan pada usia 20 tahun. Jadi, kita bisa mengerti lebih baik apakah perubahan ini menetap atau memudar seiring waktu," tandas Prof. Ian.

Baca Juga: 7 Aktivitas Positif Ini Bantu Cegah Depresi saat Pandemi COVID-19

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya