Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!

Apakah ini merupakan keputusan yang tepat?

Pada Rabu (2/6/2020) lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan - Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menekankan kalau pembelajaran tatap muka (PTM) akan benar-benar aktif pada bulan Juli mendatang. Keputusan ini diambil meskipun kasus penularan COVID-19 di Tanah Air masih tergolong tinggi.

Mendikbud-Ristek, Nadiem A. Makarim, menekankan kalau ini tidak bisa dikompromi lagi. Untuk memastikan sekolah tatap muka tetap berjalan dengan mengikuti protokol kesehatan, maka dirilislah panduan PTM untuk PAUD, dan pendidikan sekolah dasar hingga menengah.

Memang, di media sosial pun tidak sedikit pelajar yang mengeluhkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan merindukan PTM. Namun, apakah kebijakan ini bijak dan bisa diimplementasikan dengan aman pada bulan Juli nanti? Atau tidak bijak dan terkesan terburu-buru?

1. PJJ dan psikologi anak

Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!Ilustrasi belajar daring dari rumah (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Beberapa peneliti mengatakan kalau gejala depresi dan kecemasan pada pelajar di tengah pandemi COVID-19 meningkat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Selain itu, gangguan mental pada anak-anak, seperti kecemasan atau anxiety, depresi, hingga pikiran bunuh diri diperparah oleh pandemi. Ini dikarenakan transisi bolak-balik dari PTM ke PJJ. 

Menurut sebuah survei di sekolah negeri Rockford di Illinois, Amerika Serikat (AS) pada musim gugur tahun ini, banyak pelajar yang mengalami kecemasan dan depresi. Tercatat bahwa:

  • Sebanyak 15 persen mengeluhkan kecemasan dan 9 persen depresi di SMA
  • Sekitar 11 persen murid di bawah kelas SMP 3 menderita kecemasan
  • Sekitar 3 persen anak SD menderita kecemasan
  • Sekitar 8 persen pelajar di sekolah menengah dan 6 persen pelajar SD mengeluhkan depresi

Di Rockford, lebih dari 10 persen murid-murid di sekolah mengalami kecemasan. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menetapkan batas kecemasan hingga 7 persen pada anak usia 3-17 tahun. Dengan kata lain, sedikit lebih tinggi dari standar nasional.

Psikolog klinis di sekolah Rockford, David Jangda, mengatakan bahwa gangguan mental pada anak dapat memiliki gejala berbeda-beda. anak-anak jadi lebih gampang marah dan membangkang. Bagaimanapun juga, seperti orang dewasa, anak-anak pun ingin konsistensi, seperti ke sekolah, bergaul dengan teman, dan sebagainya.

2. Konsekuensi jika PJJ dilanjutkan

Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!ilustrasi depresi (pexels.com/pixabay)

Pemberlakuan PJJ sebenarnya memiliki beberapa risiko terhadap tumbuh kembang anak. Hal ini ditemukan oleh para peneliti di Brasil, Prancis, dan Italia pada 2020 dalam penelitiannya berjudul "The potential impact of the COVID-19 pandemic on child growth and development".

Meneliti 8 studi mengenai efek PJJ pada anak, mereka menemukan berbagai konsekuensi seperti ketergantungan pada gadget dan learning loss akibat tak ada interaksi nyata. Selain itu, para peneliti juga menekankan bahwa bahayanya, PJJ dapat menyebabkan:

  • Terhambatnya tumbuh kembang anak, dan anak lebih rentan mengalami:
    • Keterlambatan bicara
    • Mutisme selektif atau selective mutism
    • Defisit pada interaksi sosial
  • Penganiayaan anak terselubung
  • Kemungkinan lebih besar anak jadi tidak mau kembali bersekolah
  • Gangguan pada asupan nutrisi anak

Seperti penelitian di Rockford, para peneliti juga mengatakan kalau minimnya aktivitas fisik jadi alasan terjadinya fenomena tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya aktivitas yang mendukung tumbuh kembang anak secara fisik dan mental selama masa PJJ.

Baca Juga: Studi: Vaksin DNA COVID-19 Ampuh pada Percobaan Hewan

3. Penanganan gangguan mental selama PJJ

Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!ilustrasi konseling (pexels.com/Christina Morillo)

Agar gejala-gejala gangguan mental pada anak bisa ditanggulangi, harus ada sinergi antara sekolah dan wali murid. Sebagai contoh, layanan bantuan mental Michigan State University, AS, melayani 9.804 mahasiswa pada 2020, bertambah lebih dari 1.340 siswa dibandingkan 8.459 pada periode yang sama di 2019.

Mahasiswa/i tersebut mencari bantuan untuk:

  • Kecemasan (83 persen)
  • Stres (79 persen)
  • Depresi (70 persen)

Sementara sekolah dapat memantau para siswa yang memiliki pikiran untuk bunuh diri, para wali murid juga harus turun tangan. Pantau anak-anak apabila mereka sudah menunjukkan gelagat ingin mengakhiri hidup, kesepian, dan frustrasi.

Tak kalah penting, para orang tua harus lebih waspada soal bagaimana mereka berbicara pada anak-anak tentang kesehatan mental. Jangan ragu untuk berbagi atau mendiskusikan dari hati ke hati mengenai masalah yang sedang dialami. Bagaimanapun juga, keterbukaan adalah awal pemulihan.

4. Status vaksinasi anak di dunia

Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!ilustrasi anak dan vaksin (muhealth.org)

Sebelum membahas lebih lanjut soal PTM di Indonesia pada Juli mendatang, perlu diketahui kalau vaksinasi COVID-19 untuk anak di Indonesia masih belum dilakukan. Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara sudah mengizinkan vaksinasi untuk anak, paling dini usia 12 tahun.

Berdasarkan izin dari Eropa, vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna dikatakan aman dan efektif untuk anak-anak dari usia 12 tahun. Negara-negara Eropa yang sudah mengizinkan vaksin untuk anak-anak adalah:

  • Italia: mengesahkan perluasan cakupan vaksin Pfizer-BioNTech hingga anak berusia 12-15 tahun pada akhir Mei

  • Jerman: berencana untuk menawarkan suntikan pertama kepada anak-anak usia 12-16 tahun mulai 7 Juni

  • Polandia: akan menawarkan suntikan kepada anak-anak berusia 12-15 tahun pada tanggal yang sama dengan Jerman

  • Prancis: menyuntikkan vaksin pada remaja berusia 16-18 tahun pada bulan Juni, dengan anak usia 12-15 tahun menerima suntikan pada awal tahun ajaran

  • Lituania: vaksinasi anak-anak dari usia 12 dapat dimulai pada bulan Juni

  • Estonia: vaksinasi remaja dimulai pada musim gugur

  • Rumania: anak-anak dari usia 12 tahun dapat mulai menerima suntikan mulai 1 Juni

  • Austria: menargetkan vaksinasi lebih dari 340.000 anak berusia 12-15 tahun pada akhir Agustus

  • Hongaria: mulai vaksinasi anak-anak berusia 16-18 tahun pada pertengahan Mei

Untuk negara-negara di luar Uni Eropa seperti Inggris dan Norwegia, Pfizer masih dipertimbangkan untuk anak-anak berusia 12-15 tahun dan dengan risiko tinggi terkena COVID-19 parah. Di sisi lain, Pfizer sudah mengajukan persetujuan untuk vaksinasi anak-anak usia 12-15 tahun kepada pemerintah Swiss.

Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!ilustrasi vaksin Pfizer (Reuters/Dado Ruvic)

Di Timur Tengah, Israel telah memperbesar cakupan vaksin untuk anak-anak berusia 16-18 tahun pada Januari 2021, dan pada bulan Juni mempertimbangkan untuk mencakup usia 12-15 tahun.

Dubai pun juga menawarkan vaksin Pfizer untuk anak-anak usia 12-15 tahun pada awal Juni. Keputusan ini menyusul Uni Emirat Arab yang juga memperbolehkan vaksin Pfizer untuk kelompok umur tersebut pada pertengahan Mei. Di kawasan Asia, Singapura, Jepang, dan Filipina telah memperbolehkan penggunaan vaksin Pfizer untuk usia 12-18 tahun.

Di kawasan Amerika, Cile sudah memberi lampu hijau pada Pfizer untuk kelompok 12-16 tahun pada 31 Mei. Dengan rekomendasi CDC, negara-negara bagian AS juga memperbolehkan vaksinasi anak-anak usia 12-15 tahun. Kanada pun sudah setuju penggunaan vaksin Pfizer untuk anak-anak sejak awal Mei.

Baca Juga: Sudah Mendapat Dosis Lengkap Vaksinasi COVID-19, Amankah Lepas Masker?

5. Bagaimana vaksinasi anak di Indonesia?

Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!Ilustrasi vaksin atau jarum suntik (IDN Times/Arief Rahmat)

Dihubungi pada Jumat (4/6), Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa saat ini vaksinasi COVID-19 untuk anak masih menunggu pertimbangan ITAGI, IDAI, dan BPOM. Dengan kata lain, vaksinasi COVID-19 untuk anak Indonesia masih belum diketahui.

Selain itu, dr. Nadia menegaskan kalau vaksin Pfizer yang digadang-gadang aman dan efektif untuk anak masih belum diterima Indonesia. Oleh karena itu, pertimbangan terhadap vaksin COVID-19 terdepan di Indonesia saat ini, AstraZeneca dan Sinovac, masih menunggu.

"Mereka (Pfizer) belum memberikan komitmen kapan kirim ke Indonesia. Kecuali, vaksin Sinovac atau AstraZeneca sudah dapat diberikan pada anak-anak. Baru kita bicara. Kalau sudah ada, pasti kita berikan," kata dr. Nadia.

Pertanyaannya adalah apakah produsen vaksin bisa mengirimkannya ke Indonesia? Hal ini dapat mengubah sasaran yang sebelumnya 181 juta, hingga dapat berkurang atau menambahkan anak-anak jadi salah satu prioritasnya.

6. Status vaksinasi COVID-19 untuk pendidik yang belum optimal

Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!ilustrasi penyuntikan vaksin (ANTARA FOTO/Soeren Stache/Pool via REUTERS)

Agar PTM dapat berjalan maksimal pada Juli mendatang, tentu tenaga pendidik dan guru harus menerima vaksinasi COVID-19 komplet hingga 100 persen. Itulah usaha dari Kemenkes RI. Akan tetapi, vaksinasi COVID-19 untuk tenaga pendidik di Indonesia sampai saat ini masih belum optimal.

Per Mei 2021, Kemendikbud mengatakan kalau baru 23 persen atau 4,5 juta guru dan tenaga pendidik yang menyelesaikan vaksinasi. Dokter Nadia sendiri mengatakan kalau Kemenkes sedang mengupayakan rampungnya akselerasi vaksinasi guru dan pendidik dari Juni sampai Agustus.

"Jadi akan kita tentukan sampai dengan Juni atau Agustus kalau masih ada yang belum dapat vaksinasi secara lengkap. Sedang kita akselerasi sudah dari April," jelas dr. Nadia.

7. Pedoman PTM yang masih minim di Indonesia

Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!Sejumlah siswa mengikuti kegiatan sekolah tatap muka (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Bersama dengan siaran Kemendikbud-Ristek RI pada 2 Juni, Kemendikbud-Ristek RI juga merilis pedoman PTM untuk persiapan Juli mendatang. Ditegaskan bahwa setelah vaksinasi guru dan pendidik, maka PTM terbatas seharusnya sudah dilakukan di daerah zona hijau.

Namun, untuk membuka PTM, institusi pendidikan harus mengantongi izin dari pemerintah setempat dan memenuhi standar Kemendikbud-Ristek saat pandemi COVID-19. Hal-hal tersebut mencakup penerapan protokol kesehatan, pengadaan toilet bersih, tempat cuci tangan, thermogun, dan disinfektan.

Dari segelintir syarat yang diajukan oleh Kemendikbud-Ristek, masih belasan ribu sekolah yang tidak dapat memenuhinya. Perkiraannya, hampir 11.000 sekolah tidak memiliki sarana cuci tangan, 38.600 sekolah tidak memiliki sarana untuk disinfeksi, dan hampir 12.000 sekolah tidak memiliki akses toilet bersih.

Sayangnya, meskipun PTM tak bisa "dikompromi", sekolah-sekolah harus bergantung pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk mewujudkan standar tersebut. Di sisi lain, pemerintah tidak mengalokasikan anggaran tersendiri untuk meningkatkan fasilitas kesehatan dan kebersihan sekolah di tengah pandemi COVID-19.

8. dr. Siti Nadia Tarmizi: PTM Juli mendatang bersifat dinamis

Sekolah Kembali Tatap Muka Bulan Juli Nanti? Ini Pertimbangannya!Ilustrasi sekolah tatap muka (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Menanggapi kebijakan PTM pada Juli mendatang, dr. Nadia mengatakan kalau kebijakan tersebut bersifat dinamis. Yang paling penting adalah pelonggaran seperti pembukaan sekolah harus mengikut protokol kesehatan COVID-19 yang ketat, seperti yang dituangkan dalam pedoman PTM 2021.

Selain itu, menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) yang disetujui oleh empat kementerian, termasuk Kemendikbud-Ristek RI dan Kemenkes RI, harus ada evaluasi secara kontinu terhadap penyelenggaraan PTM. Kebijakan PTM ini bersifat dinamis, sehingga kalau ada kenaikan kasus COVID-19, maka PTM harus ditunda dulu.

"Kita lihat bahwa SKB Kemendikbud-Ristek dan Kemenkes adalah PTM akan tetap kita evaluasi terus. Kalau ada peningkatan kasus, tentunya kita akan menunda dulu. Jadi, sangat dinamis statusnya, tergantung situasi pandemi," tandas dr. Nadia.

Dokter Nadia menutup pembicaraan bahwa harus ada sinergi antara institusi pendidikan dengan pemerintah setempat, karena tanggung jawab pelaksanaan PTM di tengah pandemi COVID-19 tidak hanya terletak di Kemenkes dan Kemendikbud-Ristek.

Baca Juga: Apa Itu KIPI Vaksin COVID-19? Begini Penjelasannya!

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya