Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Liburan dan Craving: Kenapa Tubuh Lapar Gula dan Lemak

Dua teman makan sambil piknik di alam saat liburan.
ilustrasi makan saat liburan (freepik.com/Freepik)
Intinya sih...
  • Stres saat liburan memengaruhi otak sehingga meningkatkan keinginan untuk makanan tinggi gula dan lemak.
  • Asupan makanan comfort berkaitan dengan aktivasi sistem reward (dopamin) yang memberi kenikmatan sementara.
  • Craving yang terus-menerus juga dipengaruhi oleh interaksi hormon stres dan sinyal lapar/kepuasan tubuh.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Masa liburan sering dipenuhi kebersamaan, makanan istimewa, dan suasana hati yang tidak biasa. Kamu berkumpul lama di meja makan, jam makan berubah, dan makanan lezat seakan tak habis-habis. Tidak jarang kamu merasa craving—ingin makanan manis, tinggi lemak, atau camilan yang selama ini jarang disentuh.

Respons ini bukan cuma “kurang disiplin” atau kebiasaan buruk. Ada mekanisme biologis yang sebenarnya bekerja di balik layar. Saat kamu mengalami stres sosial atau emosional, yang tak jarang muncul saat liburan, otak dan tubuh merespons dengan cara yang memengaruhi kebiasaan makan.

Dalam konteks ini, craving makanan manis dan berlemak terkait dengan bagaimana otak mencari cara untuk mendapatkan kelegaan dan kenyamanan sesaat di tengah tekanan yang lebih tinggi dari biasanya.

Kaitan antara stres, otak, dan comfort food

Saat stres, tubuh melepaskan hormon seperti kortisol, yang memiliki efek luas pada metabolisme dan perilaku makan. Pada masa liburan, tekanan sosial, kelelahan fisik, dan rutinitas yang berubah bisa memicu respons stres ini.

Hormon stres ini ternyata bisa meningkatkan nafsu makan terhadap makanan tinggi kalori, terutama yang manis dan berlemak, karena makanan tersebut menstimulasi pusat reward di otak. Saat makanan manis masuk, otak memproduksi dopamin, sebuah neurotransmiter yang memberi sensasi senang dan reward. Aktivasi sistem ini memberi respons emosional positif sekejap, yang kemudian mendorong kamu ingin mengulang perilaku itu lagi.

Penelitian pada model hewan menunjukkan bahwa saat stres dikombinasikan dengan diet tinggi lemak, area otak yang biasanya meredam keinginan makan justru menjadi kurang aktif. Akibatnya, sinyal "kenyang" yang seharusnya memberi tahu otak untuk berhenti makan menjadi berkurang, sehingga preferensi terhadap makanan tinggi gula dan lemak meningkat.

Craving sebagai mekanisme koping secara emosional

Beberapa potong martabak manis.
ilustrasi martabak manis (vecteezy.com/Arga Ulfah Pradana)

Rasa ingin terus makan saat stres tidak selalu didorong oleh lapar fisik. Sering kali, ini merupakan bentuk emotional eating, yaitu ketika makanan difungsikan sebagai cara mengurangi ketidaknyamanan emosional, meskipun tidak ada kebutuhan energi nyata.

Teori psikobiologi menjelaskan bahwa selama gangguan emosional atau stres, orang cenderung memilih makanan yang memberikan kepuasan cepat, yaitu makanan tinggi gula atau lemak, karena memberikan efek kelegaan sementara secara biologis.

Craving ini sulit dikendalikan karena struktur biologisnya menyerupai sistem reward pada perilaku kecanduan: makanan yang lezat mengaktifkan area otak yang sama yang terlibat ketika seseorang mengalami kepuasan dari hal-hal menyenangkan atau rewarding.

Masalahnya, efek positif itu cuma sesaat. Ketika craving ini dituruti secara berulang, bukan hanya pengaturan nafsu makan yang terganggu, tetapi juga bisa membawa dampak kesehatan jangka panjang seperti peningkatan risiko obesitas, gangguan metabolik, dan gangguan suasana hati jika dikaitkan konsumsi gula tinggi serta pola craving yang tak terkontrol.

Craving merupakan sinyal dari tubuh dan pikiran

Craving makanan manis atau berlemak saat liburan sering dilabeli "gagal diet" atau "cheating". Namun, ini bukanlah keinginan lepas kendali secara moral, melainkan respons neurobiologis yang dipengaruhi oleh stres, hormon, dan sistem reward otak.

Penting untuk memahami bahwa craving itu adalah indikator tanda bahwa tubuh dan pikiran sedang mencari cara merespons ketidaknyamanan. Alih-alih merasa bersalah, mengenali pola-pola ini dapat membantu kamu membuat pilihan yang lebih sadar dan sehat, termasuk bagaimana mengatur stres, tidur yang cukup, dan makan dengan penuh kesadaran.

Kesimpulannya, perubahan rutinitas dan beban emosional saat liburan bisa membuat otak bereaksi dengan lebih kuat terhadap makanan manis dan berlemak. Ini adalah respons tubuh terhadap stres dan pencarian kenyamanan. Memahami alasan di balik craving ini dapat membantu kamu merespons dengan bijak, dengan memahami akar emosi dan sinyal biologis di baliknya.

Referensi

"Being Stressed Leads Your Brain to Crave More Comfort Foods, Study Finds." Healthline. Diakses Desember 2025.

Chi Kin Ip et al., “Critical Role of Lateral Habenula Circuits in the Control of Stress-induced Palatable Food Consumption,” Neuron 111, no. 16 (June 8, 2023): 2583-2600.e6, https://doi.org/10.1016/j.neuron.2023.05.010.

"The Brain Science Behind Holiday Food Cravings." WebMD. Diakses Desember 2025.

Angela Jacques et al., “The Impact of Sugar Consumption on Stress Driven, Emotional and Addictive Behaviors,” Neuroscience & Biobehavioral Reviews 103 (May 21, 2019): 178–99, https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2019.05.021.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us

Latest in Health

See More

7 Tablet Tambah Darah untuk Remaja, Penuhi Kebutuhan Nutrisi

25 Des 2025, 13:43 WIBHealth