Korban KDRT Bisa Mengalami 17 Dampak Fisik dan Psikis Ini

Dampaknya bisa dirasakan seumur hidup

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan keluarga mempunyai dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap korbannya, baik secara fisik, emosional, psikologis, finansial dan dampak lainnya.

Kerugian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat berdampak seumur hidup terhadap kesehatan fisik, mental, dan seksual. Makin parah kekerasan yang diterima, makin besar pula dampaknya. Dalam kasus terburuk, kekerasan dalam rumah tangga bisa mengakibatkan pembunuhan, termasuk bunuh diri akibat KDRT.

Konsekuensi dari KDRT jauh melampaui dampak fisik dan bisa menimbulkan dampak yang parah dan bertahan lama terhadap kesehatan fisik dan mental korbannya. Dirangkum dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), Kementerian Kesehatan RI, dan sumber lainnya, berikut ini berbagai dampak fisik dan psikis yang bisa dialami para korban KDRT.

1. Cedera fisik akut atau langsung

Perempuan jauh lebih mungkin mengalami cedera fisik akibat kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasangan intimnya dibandingkan laki-laki.

Dalam studi multi negara WHO mengenai kesehatan perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga, antara 19 persen (Etiopia) dan 55 persen (Peru) perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik oleh pasangan intimnya melaporkan bahwa mereka terluka sebagai akibat dari kekerasan tersebut.

2. Masalah kesehatan kronis

Korban KDRT Bisa Mengalami 17 Dampak Fisik dan Psikis Iniilustrasi penganiayaan perempuan (IDN Times/Sukma Shakti)

Di sebagian besar wilayah, perempuan yang mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangannya setelah usia 15 tahun secara signifikan lebih mungkin melaporkan kesehatan yang buruk, nyeri kronis, kehilangan ingatan, dan masalah berjalan serta melakukan aktivitas sehari-hari dibanding perempuan lain.

Beberapa penelitian juga menemukan bahwa perempuan dengan riwayat kekerasan atau pelecehan lebih besar kemungkinannya untuk melaporkan berbagai masalah kesehatan kronis seperti sakit kepala, nyeri panggul kronis, nyeri punggung dan nyeri perut, sindrom iritasi usus besar, dan gangguan gastrointestinal dibandingkan perempuan lainnya.

3. Femisida

Secara global, perempuan lebih besar kemungkinannya dibunuh oleh orang terdekat mereka—pasangan intim laki-laki melakukan 30–70 persen dari seluruh pembunuhan terhadap perempuan di wilayah seperti Israel, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat (AS).

Di beberapa wilayah Timur Tengah dan Asia Selatan, perempuan terkadang dibunuh oleh anggota keluarga dekatnya atas nama "kehormatan", karena dianggap melakukan pelanggaran seksual.

Sementara itu, di wilayah seperti anak benua India, perempuan yang baru menikah terkadang dibunuh oleh anggota keluarga suami karena konflik terkait mahar.

Namun, sama seperti laki-laki, perempuan juga dibunuh oleh oknum kriminal di masyarakat. Pembunuhan semacam ini bisa saja terjadi secara acak, tetapi ada contoh-contoh yang meresahkan mengenai pembunuhan sistematis terhadap perempuan, khususnya di Amerika Latin.

4. Sunat perempuan

Korban KDRT Bisa Mengalami 17 Dampak Fisik dan Psikis IniIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) memiliki implikasi serius terhadap kesehatan dan praktik ini tidak memberikan manfaat. Praktik ini melibatkan menghilangkan dan merusak jaringan alat kelamin perempuan yang sehat dan normal, dan ini mengganggu fungsi alami tubuh anak perempuan dan perempuan dewasa.

Segala bentuk FGM dapat menyebabkan pendarahan dan rasa sakit serta berhubungan dengan risiko infeksi. FGM meningkatkan risiko komplikasi obstetri dan kematian perinatal. Bentuk FGM yang lebih parah menyebabkan kerugian yang paling besar.

Masalah seksual juga lebih umum terjadi pada perempuan yang pernah menjalani FGM. Mereka 1,5 kali lebih mungkin mengalami rasa sakit saat berhubungan seksual, mengalami penurunan kepuasan seksual secara signifikan, dan dua kali lebih mungkin melaporkan kurangnya hasrat seksual.

Baca Juga: Jangan Dianggap Remeh! Kenali Ciri-ciri Kekerasan dalam Rumah Tangga

5. Gangguan ginekologi dan trauma

Perempuan yang mengalami kekerasan seksual mempunyai tingkat masalah ginekologi yang lebih tinggi dibanding perempuan lainnya, termasuk infeksi vagina, nyeri saat berhubungan seksual, nyeri panggul kronis, dan infeksi saluran kemih.

Misalnya, penelitian berbasis populasi di AS menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan dari pasangan intimnya mempunyai risiko tiga kali lipat mengalami masalah ginekologi dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan.

Bahkan, tanpa pelecehan seksual, perempuan yang mengalami kekerasan dari pasangannya tampaknya memiliki peningkatan risiko masalah ginekologi, meskipun alasannya tidak dipahami dengan baik.

Kekerasan seksual terkadang menimbulkan trauma ginekologi, terutama dalam kasus pemerkosaan dengan benda, atau ketika seorang anak perempuan dipaksa melakukan hubungan seksual dan melahirkan sebelum panggulnya terbentuk sempurna. Trauma ginekologi bisa termasuk robeknya vagina; fistula (sobekan antara vagina dan kandung kemih atau rektum, atau keduanya); pendarahan, infeksi atau ulserasi; dan cedera atau komplikasi genital lainnya saat melahirkan.

6. Kehamilan yang tidak diinginkan

Korban KDRT Bisa Mengalami 17 Dampak Fisik dan Psikis Iniilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (IDN Times/Aditya Pratama)

Perempuan yang mengalami kekerasan fisik dari pasangannya atau pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh pelaku mana pun tampaknya memiliki risiko lebih besar mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dibanding perempuan tanpa riwayat pelecehan, baik dalam jangka pendek maupun selama masa reproduksinya.

Penelitian telah mendokumentasikan tingkat kehamilan setelah pemerkosaan yang dilakukan oleh non pasangan berkisar antara 5 persen di antara perempuan di AS hingga 17 persen di kalangan remaja di Etiopia dan 15–18 persen di antara anak perempuan dan perempuan yang mencari bantuan di pusat krisis pemerkosaan di Meksiko, Thailand, dan Korea Selatan. 

Risiko kehamilan yang tidak diinginkan dapat terjadi, secara langsung melalui pemaksaan hubungan seksual atau kesulitan dalam menegosiasikan penggunaan kondom atau kontrasepsi dalam hubungan yang penuh kekerasan, atau secara tidak langsung melalui perilaku seksual berisiko tinggi yang terkait dengan riwayat pelecehan seksual di masa kanak-kanak atau remaja.

7. Aborsi yang tidak aman

Anak perempuan dan perempuan dewasa yang hamil akibat hubungan seksual yang dipaksakan sering kali mengakhiri kehamilannya, terlepas dari tersedia atau tidaknya akses aborsi yang aman.

Kekerasan oleh pasangan intim, pemerkosaan oleh orang yang bukan pasangan, dan hubungan seks transaksional semuanya dikaitkan dengan tingkat terminasi kehamilan yang lebih tinggi.

Misalnya, studi multinegara WHO menemukan bahwa di hampir semua wilayah, perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intimnya juga melaporkan tingkat aborsi yang diinduksi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan perempuan lain.

Misalnya, di Nigeria bagian selatan, di mana aborsi sering kali tidak aman, perempuan muda yang pernah melakukan transaksi atau melakukan hubungan seksual yang dipaksakan secara signifikan lebih besar kemungkinannya melaporkan pernah melakukan aborsi dibandingkan perempuan lain.

Dalam sebuah penelitian tahun 1996 di AS, sebanyak 32,2 persen dari korban perkosaan yang hamil tetap mempertahankan bayinya; 50 persen menjalani aborsi; dan proporsi yang lebih kecil menyerahkan bayinya untuk diadopsi atau mengalami keguguran (masing-masing 5,9 persen dan 11,8 persen).

8. HIV dan infeksi menular seksual lainnya

Korban KDRT Bisa Mengalami 17 Dampak Fisik dan Psikis Iniilustrasi KDRT (pexels.com/MART PRODUCTION)

Penelitian yang dilakukan di banyak daerah berpendapatan tinggi dan rendah menemukan bahwa perempuan HIV positif lebih besar kemungkinannya mengalami kekerasan fisik dan seksual dibandingkan perempuan lain.

Sebagai contoh, dalam penelitian di India dan Afrika Selatan, kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim sangat terkait dengan risiko perempuan tertular HIV. Kekerasan dapat meningkatkan kerentanan perempuan terhadap HIV dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya, melalui jalur langsung dan tidak langsung. Misalnya:

  • Kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim mempersulit perempuan untuk menolak melakukan hubungan seksual atau menegosiasikan penggunaan kondom.
  • Hubungan seksual yang dipaksakan bisa merobek vagina, sehingga meningkatkan risiko penularan HIV.
  • Pelecehan seksual pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan angka perilaku seksual berisiko tinggi di kemudian hari, termasuk penggunaan kondom yang lebih sedikit, bergonti-ganti pasangan, dan mengalami kekerasan berikutnya.

Penting untuk dicatat bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya kemungkinan menjadi faktor risiko HIV, tetapi juga bisa terjadi sebagai konsekuensi dari dari pengungkapan status HIV positif.

9. Kematian ibu dan konsekuensi terkait kehamilan lainnya

Ada bukti yang menghubungkan kekerasan fisik dan seksual selama kehamilan dengan banyak komplikasi. Ini bisa termasuk rendahnya kenaikan berat badan ibu, keguguran dan bayi lahir mati, serta bayi dengan berat badan lahir rendah.

Sebuah penelitian di Nikaragua menemukan bahwa hampir seperempat ibu yang memiliki bayi dengan berat badan lahir rendah pernah mengalami kekerasan fisik dari pasangannya selama kehamilan, dibandingkan dengan 5 persen ibu yang tidak mengalami kekerasan fisik.

Konsekuensi lain yang sering diabaikan dari kekerasan selama kehamilan adalah kematian ibu. Di negara-negara seperti Bangladesh, India, AS, kekerasan oleh pasangan intim menyebabkan sebagian besar kematian di kalangan perempuan hamil.

Misalnya, sebuah penelitian di 400 desa di pedesaan India menemukan bahwa 16 persen kematian perempuan selama kehamilan disebabkan oleh kekerasan oleh pasangan; dan pembunuhan terhadap perempuan adalah penyebab utama kematian terkait kehamilan di negara bagian Maryland, AS, antara tahun 1993 dan 1998. Di Inggris, lebih dari 14 persen kematian ibu terjadi pada perempuan yang memberi tahu tenaga kesehatan bahwa mereka berada dalam hubungan yang penuh kekerasan.

Baca Juga: Memahami Perbedaan Pelecehan Seksual dan Kekerasan Seksual

10. Depresi

Korban KDRT Bisa Mengalami 17 Dampak Fisik dan Psikis Iniilustrasi depresi (pexels.com/Alex Green)

Salah satu masalah yang bisa terjadi akibat KDRT adalah depresi. Dampak dari KDRT ini disebabkan oleh peristiwa traumatis. Bahkan depresi yang dialami, apalagi jika tidak mendapatkan perawatan, bisa menyebabkan bunuh diri.

Faktor risiko depresi pada perempuan akibat KDRT berhubungan erat dengan usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, hingga lamanya kekerasan dialami. Makin lama seseorang menjadi korban KDRT, makin tinggi risikonya untuk mengembangkan depresi.

11. PTSD

Post-traumatic stress disorder (PTSD) bisa terjadi pada seseorang sebagai akibat dari KDRT. Gejalanya meliputi ketakutan, kerentanan, hingga ketidakberdayaan. Ketakutan yang dialami dapat menjadi sesuatu yang traumatis.

Seseorang yang mengalami PTSD perlu mendapatkan penanganan segera. Jika tidak, gangguan mental yang lebih besar bisa terjadi, terlebih jika pelaku masih tinggal di lingkungan yang berdekatan atau masih hidup secara berdekatan dengan korban.

12. Gangguan kecemasan

Korban KDRT Bisa Mengalami 17 Dampak Fisik dan Psikis Iniilustrasi orang dengan gangguan kecemasan (pixabay.com/xenseru)

KDRT juga dapat menyebabkan korban mengalami gangguan kecemasan atau anxiety disorder. Korban bisa mengalami rasa takut secara tiba-tiba jika teringat kekerasan yang dialaminya, atau bahkan bisa terjadi tanpa sebab yang jelas.

Masalah psikis ini perlu mendapatkan penanganan dari profesional kesehatan mental karena ini bisa mengganggu kehidupan sehari-hari dan mengakibatkan masalah lain yang lebih serius.

13. Penyalahgunaan zat

KDRT bisa membuat korban terpicu melakukan penyalahgunaan zat. Mengutip dari Addiction Center, perempuan yang pernah mengalami KDRT memiliki kemungkinan 15 kali lebih besar untuk menyalahgunakan alkohol dan 9 kali lebih rentan untuk menggunakan narkoba, jika dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat KDRT.

Bukan hanya itu, pelaku yang kerap mabuk karena obat-obatan atau alkohol juga cenderung kehilangan kendali atas perbuatannya. Hal ini juga menjadi salah satu faktor penyebab KDRT rentan terjadi. Berada di bawah pengaruh zat apa pun sangat meningkatkan kemungkinan perilaku kasar.

14. Merasa tidak berharga

Korban KDRT Bisa Mengalami 17 Dampak Fisik dan Psikis Iniilustrasi KDRT (pexels.com/Timur Weber)

Menurut WHO, perempuan yang melaporkan riwayat pelecehan pada usia dini sering kali melaporkan perasaan tidak berharga dan kesulitan membedakan perilaku seksual dan kasih sayang, mempertahankan batasan pribadi yang sesuai, dan menolak rayuan seksual yang tidak diinginkan.

Beberapa penelitian secara konsisten menghubungkan riwayat pelecehan seksual terhadap anak dengan risiko lebih tinggi mengalami kekerasan seksual di kemudian hari

Baca Juga: Kenali Ciri-ciri Anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual

15. Isolasi dari masyarakat

Dampak psikologis dari kekerasan dalam rumah tangga bisa sangat drastis sehingga korban mungkin mulai mengasingkan diri dari orang yang dicintai, teman, dan anggota keluarga. Isolasi dapat menjadi lebih buruk ketika masalah mental lainnya, seperti kecemasan atau depresi, muncul.

Korban mulai merasa terputus dan kesepian serta kurang mendapat dukungan dari orang lain. Selain itu, jika korbannya adalah orang tua, akan ada dampak negatif terhadap kesejahteraan anak-anak mereka karena mereka mungkin tidak tersedia secara emosional untuk mereka. Ini adalah indikator klasik kesehatan mental dari kekerasan dalam rumah tangga, dilansir Marriage.com.

16. Melukai diri sendiri dan pikiran untuk bunuh diri

Korban KDRT Bisa Mengalami 17 Dampak Fisik dan Psikis Iniilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (IDN Times/Aditya Pratama)

Pikiran untuk bunuh diri atau melukai diri sendiri diakibatkan oleh KDRT. Ketika kondisinya memburuk hingga menyebabkan keputusasaan pada diri korban, ini menempatkan orang tersebut pada risiko melakukan perilaku yang menyakiti diri sendiri.

Rasa putus asa dalam diri mereka bisa berkembang menjadi keadaan emosi kronis, seperti rasa bersalah dan kesepian, dan karena itu mereka mungkin merenungkan pikiran untuk melukai diri sendiri atau bunuh diri.

17. Masalah dengan kepercayaan dan keintiman

Dampak KDRT yang bersifat fisik dan psikologis antara lain adalah penghindaran keintiman dengan pasangan dan hilangnya kepercayaan. Pelecehan juga menimbulkan hambatan bagi keintiman dalam hubungan selanjutnya.

Mungkin sulit bagi para penyintas KDRT untuk memercayai orang lain, khususnya pasangan, kenalan, atau bahkan anggota keluarga mereka sendiri.

KDRT dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pengalaman ini bisa sangat traumatis, meninggalkan luka fisik, luka emosional, dan masalah kesehatan. Hal ini dapat memengaruhi setiap aspek kehidupan korban KDRT dan menyulitkan mereka untuk berfungsi.

Pemulihan membutuhkan waktu. Berbicara tentang pengalaman yang dialami, meninggalkan situasi yang penuh kekerasan, mendapatkan dukungan, dan mencari pengobatan adalah langkah-langkah penting yang dapat membantu korban KDRT.

Baca Juga: Dampak dan Kondisi Korban Kekerasan Seksual Menurut Psikolog

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya