Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenali Ciri-ciri Anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual

ilustrasi korban kekerasan seksual (pexels.com/Kat Smith)

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami peningkatan dari 6.454 kasus di tahun 2019 menjadi 6.980 kasus di tahun 2020. Ibarat fenomena gunung es, yang dilaporkan hanya sebagian kecil dari kejadian sebenarnya.

Bagaimana cara mengenali dan menangani anak yang menjadi korban kekerasan seksual? Ini dijawab oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dalam virtual media briefing pada Jumat (28/10/2022).

Pembicara yang dihadirkan ialah dr. Baety Adhayati, SpFM(K), Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dan Siti Hajar Rahmawati, Pendamping Psikologi dari Akara Perempuan. Simak, yuk!

1. Sebagian besar korban takut untuk melapor

Ada banyak alasan mengapa korban kekerasan seksual tidak melapor, salah satunya karena diancam oleh pelaku. Entah itu diancam akan dibunuh, disebarkan videonya (revenge porn), dan sebagainya.

Akan makin sulit jika pelaku merupakan orang terdekat korban, seperti ayah kandung atau tiri, paman, atau tetangga. Apalagi, jika orang tersebut "terlihat baik" di mata orang lain.

"Belum lagi soal stigma. Masyarakat (umumnya) menilai bahwa korban kekerasan seksual sudah 'rusak' dan masa depannya hancur. Padahal, yang lebih penting adalah kondisi psikologis korban dan potensi penularan penyakit seksual dari pelaku," jelas dr. Baety.

2. Selain itu, relasi kuasa membuat korban makin tak berdaya

University of Florida mendefinisikan kekerasan seksual berbasis relasi kuasa sebagai bentuk kekerasan seksual yang menggunakan kekuasaan, kontrol, atau intimidasi yang bertujuan untuk merugikan orang lain. Karena relasi kuasa, korban tidak berdaya untuk menolak.

Menurut studi yang dipublikasikan dalam jurnal Yustitia tahun 2022, dalam konteks relasi kuasa, korban merupakan kelompok rentan, seperti perempuan dan anak. Sementara itu, pelaku bisa sesuka hati menindas korban karena mempunyai power yang lebih tinggi.

Contoh kasus kekerasan seksual berbasis relasi kuasa adalah pelecehan yang dilakukan oleh dosen ke mahasiswa. Pelaku mengancam tidak akan meluluskan mata kuliah atau tidak mau membimbing skripsi jika korban tidak menurutinya.

3. Bahkan, tidak sedikit korban yang dipaksa menikah dengan pelaku

ilustrasi cincin pernikahan (pexels.com/Caio)

Tidak sedikit korban yang justru dipaksa menikah dengan pelaku, apalagi kalau korban terlanjur hamil. Terkadang, tekanan datang dari pihak keluarga. Mereka menganggap ini sebagai aib dan harus segera ditutupi dengan pernikahan.

"Udah jadi korban, (malah) dinikahkan dengan pelaku yang tidak disukai. Akhirnya, (dia) menjadi korban seumur hidup. Bisa jadi, dia akan mengalami KDRT di kemudian hari," ujar dr. Baety.

Selain itu, pernikahan juga cenderung menguntungkan pelaku kekerasan seksual. Konsekuensinya jauh lebih ringan daripada hukuman penjara yang seharusnya diterima pelaku.

Fakta miris ditemukan oleh Indonesian Judicial Research Society (IJRS) dalam survei bertajuk "Barometer Kesetaraan Gender Tahun 2020". Dari 1.586 responden yang mengalami kasus kekerasan seksual, sebanyak 26,2 persen korban dinikahkan dengan pelaku dan hanya 19,2 persen pelaku yang dipenjara.

4. Terlambat melapor juga menjadi kendala yang umum ditemui

Tidak sedikit korban yang akhirnya berani speak up dan melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami. Namun, karena kondisi korban belum stabil pasca kejadian, banyak yang akhirnya terlambat melapor.

Selain itu, korban juga takut dihakimi atau justru disalahkan (victim blaming). Ada pula yang ragu untuk melaporkan karena aparat penegak hukum cenderung tidak berpihak pada korban. Alih-alih memproses kasus, mereka justru menyarankan penyelesaian secara kekeluargaan. Apalagi, jika pelaku adalah orang yang punya status sosial dan ekonomi yang tinggi.

"Kasus-kasus baru, misalnya saat hari-H (kejadian), itu jarang dilaporkan langsung. Banyak yang baru melapor setelah beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. Lukanya sudah sembuh atau tidak kelihatan, sehingga agak sulit untuk dibuktikan," tukas dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini.

Bukti penting lainnya adalah cairan ejakulat pelaku, yang bisa ditemukan di tubuh maupun pakaian korban. Kalau tidak segera dilaporkan dan diperiksa, bukti penting ini akan hilang.

5. Lingkungan sekitar harus bisa mengenali tanda-tandanya

ilustrasi korban kekerasan seksual (pixabay.com/Anemone123)

Dokter Baety memaparkan tanda-tanda anak yang kemungkinan besar menjadi korban kekerasan seksual, antara lain:

  • Perubahan kepribadian dari ceria menjadi murung, tertutup, dan depresif.
  • Penurunan prestasi akademik.
  • Ada keluhan di daerah kelamin, seperti nyeri atau keputihan.
  • Ditemukan penyakit menular seksual.
  • Gemar menonton tayangan asusila.
  • Melakukan masturbasi pada usia anak-anak.
  • Perubahan perilaku seksual atau orientasi seksual.

Selain meminta lingkungan sekitar untuk peka, dr. Baety memberi beberapa saran penting lainnya. Seperti meningkatkan edukasi pencegahan kekerasan seksual hingga di tingkat sekolah dan memasukkannya ke dalam kurikulum.

Kenyamanan korban juga harus dijaga dengan menyediakan ruangan khusus di setiap fasilitas kesehatan, tidak digabung dengan pasien lain karena bisa membuatnya malu. Yang tak kalah penting adalah menyediakan rumah aman, karena ditakutkan pelaku adalah orang yang tinggal di tempat yang sama dengan korban.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nena Zakiah
Nurulia R F
Nena Zakiah
EditorNena Zakiah
Follow Us