Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Film Kaouther Ben Hania, Suara Timur Tengah di Cannes dan Oscar

The Man Who Sold His Skin (dok. Trigon Film/The Man Who Sold His Skin)

Kaouther Ben Hania bisa disebut sebagai salah satu ikon sinema Tunisia kontemporer. Sebagai sutradara, ia sudah menelurkan beberapa film pendek dan fitur. Tiga di antaranya berhasil tayang perdana dan berkompetisi di Cannes Film Festival dan Academy Awards.

Namun, ada satu kekhasan gaya sinematik Ben Hania yang buatnya mudah dideteksi, yakni kepiawaiannya mewakili suara Timur Tengah (Asia Barat dan Afrika Utara). Naskah-naskah garapannya tak kalah seru dibanding sesama langganan Oscar dan Cannes, Asghar Farhadi.

Tentu dengan pendekatan dan isu yang berbeda, sutradara Kaouther Ben Hania bisa jadi referensi barumu saat hendak menengok perspektif Timur Tengah dalam film, terutama Tunisia yang merupakan negara asalnya. Berikut rekap film terbaik Ben Hania yang wajib kamu buktikan sendiri kehebatannya. 

1. Beauty and the Dogs (2017)

Beauty and the Dogs (dok. MUBI/Beauty and the Dogs)

Beauty and the Dogs menjadi film pertama Kaouther Ben Hania yang dapat perhatian internasional. Perdana sepanjang kariernya, lewat karyanya itu, sang sutradara asal Tunisia berhak berkompetisi pada Un Certain Regard Awards, kategori khusus sutradara baru, dalam Cannes Film Festival. 

Dari segi plot dan teknik pengambilan gambar, Beauty and the Dogs bisa dibilang superior. Ia diambil dengan teknik one-shot dan mengikuti satu malam panjang yang harus dilalui seorang mahasiswi di Tunisia kala berjuang mendapat keadilan setelah jadi korban pelecehan seksual sekelompok aparat polisi. 

2. The Man Who Sold His Skin (2020)

The Man Who Sold His Skin (dok. Trigon Film/The Man Who Sold His Skin)

Tak perlu waktu lama, karier Ben Hania melejit dengan penetapan karyanya yang bertajuk The Man Who Sold His Skin sebagai nomine Academy Awards 2021 pada kategori Film Fitur Internasional Terbaik. Ben Hania keluar dari Tunisia dan mengangkat kisah seorang pria Suriah yang memilih menjual bagian tubuhnya demi dapat visa Schengen, salah satu visa sakti yang diperebutkan banyak orang di dunia. 

Dengan sindiran yang pedas dan terarah, masih dilengkapi plot yang tidak tertebak, The Man Who Sold His Skin jadi salah satu film terunik di ajang bergengsi itu. Sayangnya, lawannya terlalu kuat kala itu. Another Round karya Thomas Vinterberg yang terpilih jadi pemenangnya. 

3. Four Daughters (2023)

Four Daughters (dok. Trigon Film/Four Daughters)

Kaouther Ben Hania kembali menghebohkan Cannes Film Festival lewat karya terbarunya, Four Daughters. Sebagai returnee, karyanya terpilih untuk berkompetisi pada kategori Palme d'Or. Four Daughters diangkat dari kisah nyata seorang ibu asal Tunisia yang kehilangan 2 dari 4 putrinya. 

Tak kalah unik dari dua film sebelumnya, pada proyeknya kali ini, Ben Hania mencoba memadukan realitas dan fiksi. Ia melibatkan si empu cerita dan dua putrinya, kemudian merekrut dua aktor untuk memerankan dua putri yang hilang itu. Kisah keluarga ini penting buat didiskusikan, kritik sosialnya pun mengena. 

4. Le Challat de Tunis (2015)

Le Challat de Tunis (dok. Trigon Film/Le Challat de Tunis)

Sebelum dikenal luas lewat tiga film tersuksesnya, Ben Hania pernah merilis beberapa film fitur secara terbatas. Salah satunya Le Challat de Tunis yang berlatarkan beberapa waktu sebelum Revolusi Tunisia 2010. Saat itu, muncul kasus begal yang menyasar pantat perempuan. 

Sang pelaku dapat julukan Le Challat yang dalam bahasa Inggris berarti The Blade karena kebiasaannya menyayat bagian sensitif korban-korbannya. Sepuluh tahun berselang, pelakunya tak pernah tertangkap. Sampai seorang sutradara perempuan mencoba melakukan investigasi mandiri.

5. Zaineb Hates the Snow (2016)

Zaineb Hates the Snow (dok. 13 Productions/Zaineb Hates the Snow)

Suara Tunisia kembali dihadirkan Ben Hania lewat sosok bocah bernama Zaineb. Usianya masih 9 tahun dan mau tak mau ia harus ikut ke mana pun orangtuanya pergi. Satu hari, kepindahannya keluar Tunisia tak terelakkan lagi setelah ibunya menikah dengan pria Kanada.

Zaineb ternyata tak menyukai rumah barunya. Ia benci salju dan merindukan Tunisia. Fakta bahwa film ini berformat dokumenter menunjukkan dedikasi Ben Hania mengangkat perspektif pihak-pihak yang cenderung diremehkan. 

Selain jadi gerbang untuk menilik perspektif Timur Tengah, Kaouther Ben Hania bisa jadi referensi untuk berkenalan dengan sutradara-sutradara perempuan lain dari region itu. Sadar atau tidak, kebanyakan film jebolan festival bergengsi dunia asal Timur Tengah ternyata digarap sineas perempuan. Salut dengan progresivitas mereka. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us