5 Musisi yang Gagal Jadi Sutradara, Filmnya Flop!

Musik dan film sering kali berjalan beriringan, dan tidak sedikit musisi yang mencoba peruntungan di dunia penyutradaraan. Namun, sayangnya, tidak semua keberanian mereka untuk berkarya di balik kamera membuahkan hasil yang gemilang. Beberapa justru menghasilkan karya yang lebih diingat karena kegagalannya daripada prestasinya.
Karya-karya mereka pun menunjukkan bahwa bakat di satu bidang tidak selalu menjamin kesuksesan di bidang lain. Berikut adalah lima musisi yang gagal jadi sutradara. Kira-kira, ada siapa saja, ya?
1. Frank Sinatra – None but the Brave (1965)

Frank Sinatra bukanlah nama asing di dunia hiburan. Sebagai penyanyi legendaris dan aktor pemenang Oscar, Sinatra tampaknya memiliki modal besar untuk menjadi seorang sutradara. Namun, film None but the Brave menunjukkan bahwa bakatnya tidak sepenuhnya merambah dunia penyutradaraan.
Film ini bercerita tentang sekelompok tentara AS dan Jepang yang terjebak di sebuah pulau terpencil di Pasifik dan harus bekerja sama untuk bertahan hidup. Meskipun idenya terdengar menarik, eksekusinya jauh dari sempurna.
Sinatra berusaha menggambarkan pesan anti-perang yang berani untuk zamannya. Namun, gaya penyutradaraannya terasa terlalu teatrikal dan tidak alami, terutama saat ia juga harus mengarahkan dirinya sendiri. Meskipun film ini memiliki niat mulia, hasil akhirnya lebih mirip eksperimen berani yang kurang matang daripada sebuah karya masterpiece.
2. Bob Dylan – Renaldo and Clara (1978)

Bob Dylan adalah sosok multitalenta di dunia seni, mulai dari menulis lagu hingga melukis. Sayangnya, ketika ia mencoba menyutradarai film, hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Renaldo and Clara adalah film berdurasi hampir empat jam yang menggabungkan cuplikan tur Rolling Thunder Revue, wawancara dokumenter, dan adegan narasi yang tidak jelas arahnya.
Film ini lebih cocok untuk penggemar berat Dylan yang memiliki kesabaran ekstra. Selain plot membingungkan, kehadiran Dylan sebagai karakter bernama Renaldo juga terasa berlebihan. Banyak yang menganggap film ini terlalu ambisius tanpa fokus yang jelas, dan reaksi negatif membuatnya segera ditarik dari peredaran.
3. Prince – Under the Cherry Moon (1986) dan Graffiti Bridge (1990)

Prince adalah ikon musik yang luar biasa, tetapi ketika ia mencoba menjadi sutradara, hasilnya tidak seindah karier musiknya. Dalam Under the Cherry Moon, Prince bermain sebagai gigolo di French Riviera era 1930-an. Film ini mencoba menggabungkan drama dan komedi, tetapi hasilnya terasa canggung meski produksi visualnya cukup megah.
Lebih buruk lagi, Graffiti Bridge yang merupakan sekuel tidak resmi dari Purple Rain. Prince menulis dan menyutradarai film ini, tetapi naskahnya lemah, dan adegan-adegan musiknya terasa seperti video klip panjang tanpa koneksi emosional yang nyata. Kedua film ini menjadi bukti bahwa bakat besar Prince di musik tidak sepenuhnya bisa diterjemahkan ke layar lebar.
4. Madonna – Filth and Wisdom (2008) dan W.E. (2011)

Madonna mungkin ratu pop, tetapi di dunia film, ia lebih dikenal karena pilihan peran buruk dan penyutradaraan yang tidak mengesankan. Dalam Filth and Wisdom, ia mencoba menggambarkan kehidupan seorang imigran Ukraina yang bercita-cita menjadi bintang rock. Sayangnya, film ini penuh dengan stereotip dan dialog yang terasa canggung sehingga membuatnya sulit dinikmati.
Karya berikutnya, W.E., mencoba mengangkat kisah Wallis Simpson dan King Edward VIII, tetapi gagal menangkap esensi cerita yang menarik. Dengan naskah yang kaku dan banyak ketidakakuratan sejarah, film ini dianggap sebagai langkah mundur bagi Madonna di dunia sinema. Meski begitu, setidaknya ia tidak mencoba memerankan tokoh utama di filmnya sendiri.
5. RZA – The Man with the Iron Fists (2012)

RZA dari Wu-Tang Clan dikenal sebagai penggemar berat film seni bela diri, jadi wajar jika ia mencoba membuat film bertema serupa. Sayangnya, The Man with the Iron Fists tidak berhasil menghadirkan pesona yang sama seperti film-film kungfu klasik yang menginspirasinya. Film ini terasa terlalu serius dan kurang menyenangkan.
Dengan naskah lemah dan akting yang kaku, termasuk dari RZA sendiri, film ini sulit untuk dinikmati. Bahkan keterlibatan Quentin Tarantino sebagai produser tidak mampu menyelamatkan proyek ini. Satu-satunya hal yang patut disyukuri adalah durasinya dipangkas dari empat jam menjadi 96 menit yang lebih tertahankan.
Berpindah dari dunia musik ke penyutradaraan adalah langkah besar, dan para musisi ini membuktikan bahwa tidak semua orang bisa melakukannya dengan sukses. Meskipun mereka adalah musisi yang gagal jadi sutradara dan karyanya tidak mendapatkan pujian, setidaknya nama-nama tersebut berani mencoba sesuatu yang baru.