7 Sutradara yang Menjadi Wajah dari Gerakan French New Wave

Berangkat dari kegelisahan para sineas muda yang jengah dengan industri perfilman Perancis yang stagnan pada 1950-an, lahirlah gerakan French New Wave. Dikenal juga sebagai Nouvelle Vague, sejumlah kritikus dan film antusias lantang menyuarakan gagasan di mana sutradara seharusnya memiliki kontrol penuh atas karya mereka dalam majalah Cahiers du cinéma.
Merasa tidak didengar, mereka memutuskan membuat film mereka sendiri. Bebas dari kontrol studio film, para sineas muda ini menyuguhkan perspektif baru yang berani, inovatif, dan tidak jarang provokatif ke layar lebar.
Tidak hanya menghadirkan tontonan yang segar, gerakan French New Wave turut membawa dampak besar dalam sejarah industri perfilman dunia. Dari sejumlah sineas amatiran yang terlibat, tujuh di antaranya dinobatkan sebagai wajah dari gerakan French New Wave.
1. Francois Truffaut

Gerakan French New Wave pertama kali dicetuskan oleh François Truffaut lewat esai yang ditulisnya pada 1954. Berjudul Une certaine tendance du cinéma français,Truffaut mengeluhkan bagaimana para sineas cenderung main aman ketimbang menggali potensi lewat bereksperimen dengan narasi, gaya visual, serta teknik pembuatan film lainnya.
Pada 1959, François Truffaut memutuskan untuk terjun langsung ke industri perfilman sebagai sutradara. Dalam film debutnya, The 400 Blows, Truffaut menggabungkan narasi semi-autobiografi dengan teknik long take dalam membingkai emosi serta konflik yang dialami oleh si protagonis. Gaya penyutradaraannya yang inovatif dan kepiawaiannya dalam mengeksplorasi emosi manusia juga dapat kita jumpai dalam Day for Night (1973) dan Jules and Jim (1962).
2. Jean-Luc Godard

Ketika François Truffaut berperan sebagai pencetus utama, maka Jean-Luc Godard bertanggung jawab mempopulerkan gerakan French New Wave. Melalui film debutnya, Breathless (1960), Godard membuktikan bahwa film dapat digarap tanpa harus mengikuti pakem pembuatan yang ada. Kejeniusan Godard dalam memainkan narasi non-linear ikut serta mempopulerkan jump cut, yakni teknik editing dimana transisi antar adegan yang berlangsung secara kasar dan cepat.
Berbekal prinsip-prinsip French New Wave, Jean-Luc Godard dapat menjamah genre film yang terbilang luas. Mulai dari genre musikal penuh warna dalam A Woman is a Woman (1961), fiksi ilmiah berlatar di masa depan yang suram dalam Alphaville (1965), hingga black comedy yang kelewat gelap pada masanya dalam Weekend (1967).
3. Claude Chabrol

Sebelum menekuni kariernya sebagai sineas, Claude Chabrol tergabung dalam majalah Cahiers du cinéma sebagai kritikus film. Selama gerakan French New Wave berlangsung, Chabrol fokus pada genre thriller, di mana ia memanfaatkan kamera untuk membangun tensi mencekam, sekaligus bermain-main dengan perspektif penonton.
Namanya masuk dalam jajaran pencetus French New Wave usai Le Beau Serge (1958) mencuri perhatian para penggemar film. Cara Claude Chabrol meramu narasi menegangkan lewat motif yang rumit terinspirasi dari Shadow of a Doubt (1943) besutan sutradara Alfred Hitchcock. Sejak saat itu, Chabrol menggarap film thriller klasik seperti Les Biches (1968), La Femme Infidèle (1969), dan Le Boucher (1970).
4. Agnes Varda

Gerakan French New Waves terbagi ke dalam dua kubu. Pertama, ada right bank, di mana para sineas lebih berfokus pada genre serta teknik pembuatan film. Kemudian, ada left bank, di mana para sineas memperlakukan film sebagai bagian dari bentuk sastra dengan gaya pendekatan lebih artistik dan cenderung eksperimental.
Agnès Varda merupakan ikon dari left bank. Varda dikenal vokal dalam menyuarakan isu tabu, khususnya isu perempuan. Narasi non-linear yang digunakannya berpadu apik dengan teknik pengambilan gambar yang eksperimental. Sebut saja Cléo from 5 to 7 (1962), di mana ia menggabungkan objek sungguhan dan elemen fiksi dalam membangun koneksi antara protagonis dan penonton.
5. Jacques Rivette

Satu lagi alumni majalah Cahiers du cinéma yang banting setir menjadi pegiat film. Menandai debutnya pada 1956 lewat film pendek berjudul Le Coup du Berger, Rivette gemar mengeksplorasi konsep surealis yang mengaburkan garis tipis antara fiksi dan realita dalam narasi yang kompleks.
Jacques Rivette tidak segan untuk memberikan kebebasan kepada para aktor dalam melakukan improvisasi dengan dialog mereka. Tidak heran jika karya-karyanya memiliki durasi yang terbilang panjang, seperti L’amour fou (1969), La Belle Noiseuse (1991), dan Céline and Julie Go Boating (1974).
6. Eric Rohmer

Dibanding rekan sejawatnya dalam gerakan French New Wave, Éric Rohmer tidak terburu-buru mengejar kariernya sebagai pegiat film. Mantan editor majalah Cahiers du cinéma tersebut menandai debutnya sebagai sutradara pada 1959 dengan merilis Le Signe du Lion.
Dalam karya-karyanya, Éric Rohmer menjunjung tinggi konsep natural menggunakan dialog realistis berlatar kegiatan sehari-hari. Dengan begitu, Rohmer dapat menangkap rentang emosi manusia yang begitu luas, menciptakan nuansa yang hangat dan intim. Oleh sebab itu, karier penyutradaraan Rohmer terbilang langgeng dibanding pencetus French New Wave lainnya.
7. Jacques Demy

Selain Agnès Varda, Jacques Demy menjadi anggota dari kubu left bank dalam gerakan French New Wave. Karya-karyanya sendiri tidak jauh-jauh dari genre romantis musikal dengan nuansa yang cerah dan penuh warna. Meskipun dikemas layaknya sebuah dongeng, siapa sangka jika narasi yang menjadi pondasinya begitu getir dan menyakitkan.
Jacques Demy sendiri menandai debut penyutradaraannya dengan merilis Lola pada tahun 1961. Demy lantas dinobatkan sebagai legenda film musikal klasik berkat kejeniusannya dalam The Umbrellas of Cherbourg (1964) dan The Young Girls of Rochefort (1967).
Sutradara Jean-Pierre Melville, Alain Resnais, dan Chris Marker turut menjadi bagian dari gerakan French New Wave. Para sineas muda tersebut bersatu dan mematahkan pakem pembuatan film konvensional. Keberanian mereka menghadirkan perspektif baru ke layar lebar, memadukan narasi provokatif dengan teknik inovatif. Menjelma sebagai pondasi dari industri perfilman modern hingga saat ini.