Di Balik Angle hingga Teknik Kamera Film Gowok: Kamasutra Jawa

Surabaya, IDN Times - Gowok: Kamasutra Jawa menoreh prestasi dengan ditayangkan melalui world premiere di International Film Festival Rotterdam pada 2 Februari 2025. Sudah ditayangkan di bioskop Indonesia, sampai artikel ini dirilis, film Gowok: Kamasutra Jawa (2025) sudah ditonton lebih dari 400 ribu orang.
Hanung Bramantyo selaku sutradara berusaha mengawinkan emansipasi perempuan dengan kamasutra jawa yang dikemas dengan visual indah. Untuk mendukung perspektif tersebut, Hanung bekerja sama dengan Satria Kurnianto dan Barmastya Bhumi Brawijaya demi menyajikan penggambaran yang tidak mendiskreditkan perempuan.
Saat diwawancarai oleh IDN Times, Satria Kurnianto dan Barmastya Bhumi sepakat bahwa sudut pengambilan gambar yang mereka sajikan memberikan makna, serta rasa secara tersirat. Simak selengkapnya #COD (Cerita Orang Dalam) bersama DOP (Director of Photography) film Gowok: Kamasutra Jawa (2025) berikut ini.
1. Angle yang disajikan hadir untuk menggambarkan status karakter di Gowok: Kamasutra Jawa

Hanya melalui angle atau sudut pengambilan gambar, penonton sudah bisa memaknai status yang dimiliki para karakter di film Gowok: Kamasutra Jawa (2025). Selain itu framing juga menunjang drama hingga tangga gramatik.
"Itu salah satu konsepnya. Di situ akan ngomongin soal kelas seorang bangsawan. Cara men-syuting kalau aku seperti itu, karena masing-masing DOP berbeda-beda. Framing atau gambar itu punya dramanya, punya gramatiknya. Itu nanti akan membentuk suatu pola," ungkap Satria Kurnianto saat diwawancarai secara virtual pada Kamis (19/6/2025).
Sebagai contoh, di babak pertama, tepatnya saat keluarga Kamanjaya (Devano Danendra) datang ke padepokan Gowok, ada perbedaan angle di antara Ratri (Alika Jantinia) dengan karakter lain.
"Ratri agak low karena dia kan masih nyantrik. Jadi sebenarnya angle-nya Nyai Santi, Devano, sama orangtuanya, itu sama derajatnya. Kita track, kita pakai tripod statis gitu," jelas Barmastya Bhumi Brawijaya pada Jumat (20/6/2025).
Perbedaan angle juga hadir saat adegan Raja yang diperankan Slamet Rahardjo Djarot datang ke Padepokan Gowok. Karakter para nyai disorot menggunakan high angle karena derajat mereka lebih rendah, dibandingkan raja.
"Adegan di Padepokan Gowok 30 tahun kemudian, Nyai Santi dan Ratri dewasa itu lebih rendah dari raja. Mau gak mau mereka duduk di bawah, raja duduk di atas. Jadi kita ngebuat dua komposisi. Satu kameranya agak ke bawah, agak tilt down. Sementara, high angle kalau dari sudut pandangnya Ratri menatap raja," tambah Bhumi mengingat proses syuting yang ia lakoni.
Kemunculan Reza Rahadian sebagai Kamanjaya dewasa di adegan tersebut pun disorot high angle agar terlihat lebih majectic. Sementara Raihaanun sebagai Nyai Ratri digambarkan terimtidasi lewat high angle dan close up.
2. Kamanjaya dan Ratri muda disorot menggunakan eye level demi menyajikan adegan yang indah

Ternyata angle tidak selalu hadir untuk menggambarkan status para karakter, lho. Jika berbicara soal interaksi Kamanjaya dan Ratri muda, bukan kesetaraan yang menjadi acuan, tetapi soal rasa hingga cinta.
"Tapi di satu momen dia akan setara. Karena sudah tidak ngomongin kesetaraan, (tapi) yang ngomong adalah soal rasa dan cintanya," tutur Satria kepada jurnalis IDN Times.
Di mata Kamanjaya, Ratri muda digambarkan memiliki paras yang ayu, begitu juga sebaliknya. Maka dari itu, eye level menjadi angle yang paling pas untuk menampilkan keindahan di antara mereka.
"Jadi ya angle-nya harus menggambarkan bagaimana cara kita memandang mereka sebagai pasangan yang indah. Gimana caranya Kamanjaya di pandangan Ratri harus ganteng, Ratri di pandangan Kamanjaya harus cantik. Kalau kamera terlalu rendah kan jelek, kalau kamera top juga jelek. Jadi mau gak mau kan tergantung eye level mereka berdua," jelas Bhumi.
Tidak hanya itu, demi menampilkan sequens indah dari Kamanjaya dan Ratri, departemen DOP Gowok: Kamasutra Jawa (2025) harus memilih lensa yang tidak terlalu lebar dan meminimalisir distrosi ke wajah.
"Gimana caranya kita harus membuat sequens sebelum mereka berpisah ini indah dalam arti warm, hangat, romantis gitu. Berarti kan treatment-nya kita gak boleh pakai lensa yang terlalu lebar, kita gak boleh terlalu distorsi ke wajah. Kita gak boleh terlalu tight juga, nanti malah gak kelihatan apa-apa," tambah pemilik akun @barmastyabhumi ini.
3. Teknis di balik adegan one shot saat Ratri memutuskan menjadi Gowok

Momen saat Ratri yang sakit hati memutuskan untuk menjadi Gowok adalah golden scene dari film ini. Agar pesan dan rasa yang disuguhkan bisa tersampaikan secara natural, Hanung meminta adegan tersebut diambil dengan teknik one shot.
"Itu semua dalam one shot karena sang sutradara mau ini direkam natural. Jadi gak boleh staging, kamera gak boleh ngulang, kamera gak boleh salah. Jadi mau gak mau, ini harus direkam secara natural aja," jelas Bhumi.
Adegan tersebut dimulai dengan menyorot lukisan Gowok yang merepresentasikan Nyai Santi (Lola Amaria). Selain itu, pergerakan kameranya dibuat sedikit abstrak agar lebih natural.
"Angle kameranya bergerak-gerak. Dari awalnya ke lukisan yang menggambarkan Gowok yang merefleksikan Nyai Santi, habis itu kamera track out dan pen ke arah pintu. Itu dilakukan one shot," lanjutnya.
Bhumi berkata pemilihan sudut pengambilan gambar di film Gowok: Kamasutra Jawa (2025) itu secara alamiah terbentuk saat persiapan di lokasi syuting. Namun, konsep secara general sudah mereka persiapkan sejak pra produksi, lho.