Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[REVIEW] Avatar: The Way of Water, Tontonan Akhir Tahun yang Fantastis

Sam Worthington dalam film Avatar: The Way of Water (dok. 20th Century Studios/Avatar: The Way of Water)

Setiap menjelang akhir tahun, Hollywood selalu mempunyai cara agar penggemar film datang ke bioskop. Setelah akhir tahun lalu ada Spider-Man: No Way Home (2021), akhir tahun ini, giliran Avatar: The Way of Water (2022) yang siap mengguncang bioskop.

Tayang sejak 14 Desember kemarin di bioskop Indonesia, sekuel Avatar (2009) ini langsung diserbu oleh penikmat film di tanah air. Bagaimana tidak, selain menjadi salah satu sekuel dengan jarak perilisan terlama, yakni 13 tahun, film arahan James Cameron ini juga menjanjikan kualitas CGI dan worldbuilding yang jauh lebih apik dari film pertama.

Lantas, apakah film yang meraih nominasi Best Motion Picture – Drama di Golden Globe 2023 ini mampu tampil sebagus pendahulunya? Sebelum menontonnya, ada baiknya kamu menyimak dulu review film Avatar: The Way of Water berikut ini.

1. Avatar: The Way of Water berlatar 15 tahun setelah film pertama

Britain Dalton dalam film Avatar: The Way of Water (dok. 20th Century Studios/Avatar: The Way of Water)

Seperti penggemar yang telah menunggu selama lebih dari satu dekade, Avatar: The Way of Water juga mengambil latar 15 tahun setelah Avatar (2009). Alkisah, Jake Sully (Sam Worthington), yang kini menjadi kepala suku Omatikaya, hidup bahagia bersama Neytiri (Zoe Saldaña) di hutan Pandora.

Namun, mereka tak cuma berdua. Jake dan Neytiri mempunyai lima orang anak, yakni Neteyam (Jamie Flatters), anak laki-laki tertua, Lo'ak (Britain Dalton), anak laki-laki kedua, Tuk (Trinity Jo-Li Bliss), anak perempuan bungsu, serta dua anak yang mereka adopsi, Spider (Jack Champion), anak manusia yang lahir di Hell's Gate, dan Kiri (Sigourney Weaver), anak dari avatar Dr. Grace Augustine.

Sayangnya, kebahagiaan yang mereka rasakan tersebut tak berlangsung lama ketika Miles Quaritch (Stephen Lang), kolonel jahat yang mati di Avatar (2009), "dihidupkan" kembali dalam wujud recombinant (avatar yang ditanam ingatan manusia). Ketika Spider diculik oleh Quaritch, Jake dan keluarganya memutuskan untuk mengasingkan diri demi menyelamatkan suku mereka.

2. Ajak penonton melihat kehidupan Metkayina, bangsa Na'vi yang mendiami wilayah samudra

adegan dalam film Avatar: The Way of Water (dok. 20th Century Studios/Avatar: The Way of Water)

James Cameron sepertinya sadar kalau penonton butuh sesuatu yang lebih spektakuler dari hutan Pandora. Karena itu, dari hutan Pandora, penonton langsung diajak ke tempat Jake dan keluarganya mengasingkan diri, yakni daerah pantai yang didiami oleh suku Metkayina.

Meski sama-sama bangsa Na'vi, penampilan fisik serta adat istiadat suku Metkayina cukup berbeda dari Jake dan keluarganya (baca: suku Omatikaya). Karena bergantung pada lautan, suku Metkayina memiliki warna kulit yang lebih hijau dengan kemampuan menyelam luar biasa. Selain itu, mereka juga mempunyai hewan laut yang dihormati bernama tulkun.

Rupanya, dalam menciptakan suku Metkayina, Cameron terinspirasi dari suku Māori, salah satu kelompok etnis terbesar di Selandia Baru. Dilansir teamaori.news, Cliff Curtis, aktor pemeran Tonowari, kepala suku Metkayina, yang juga keturunan Māori, bekerja sama dengan Cameron untuk menciptakan tarian Metkayina yang diadaptasi dari tarian suku Māori bernama haka.

3. Avatar: The Way of Water sajikan visual kelas wahid. Berasa masuk ke Pandora!

Trinity Jo-Li Bliss dalam film Avatar: The Way of Water (dok. 20th Century Studios/Avatar: The Way of Water)

Tak bisa dimungkiri, salah satu keunggulan dari Avatar: The Way of Water adalah visualnya. Bermodal teknologi baru yang memungkinkan proses motion capture di bawah air, format HFR (high frame rate) 48 fps yang disematkan, dan sinematografi garapan Russell Carpenter (Titanic, Ant-Man), Cameron berhasil menciptakan sisi lain Pandora yang impresif.

Sejumlah adegan mampu disulap menjadi pengalaman sinematik yang menarik bagi penonton. Mulai dari adegan menaiki skimwing (hewan sejenis ikan terbang yang dipakai untuk berburu), menjelajahi samudra Pandora yang dipenuhi makhluk eksotis, sampai yang sederhana seperti gerimis, semua begitu memanjakan mata.

Visual dan cinematic experience yang disuguhkan tersebut juga ditunjang oleh musik gubahan Simon Franglen yang megah. Buat kamu yang sudah menonton Avatar: The Way of Water, coba dengarkan "The Way of Water" dan "From Darkness to Light," deh. Berasa kembali ke Pandora!

4. Third-act yang dikemas secara intens. Ada "feel" Titanic!

Sam Worthington dalam film Avatar: The Way of Water (dok. 20th Century Studios/Avatar: The Way of Water)

Ngomongin soal Avatar: The Way of Water, rasanya kurang lengkap jika belum menyinggung tentang aksi dan petualangan. Meski bisa dihitung dengan jari, tapi James Cameron tak pernah setengah-setengah dalam mengemas adegan yang mampu memompa adrenalin penonton.

Bisa dibilang, Avatar: The Way of Water adalah kulminasi perjalanan karier Cameron selama lebih dari 4 dekade. Sejumlah elemen yang pernah muncul dalam film-film arahan Cameron sebelumnya, seperti air dan kapal (Titanic), robot (Terminator), dan—tentu saja— pertempuran antara manusia dan Na'vi (Avatar), mewarnai babak akhir alias third act yang dapat diwakilkan dengan dua kata, dramatis dan emosional.

5. Tak hanya aksi, Avatar: The Way of Water juga mengusung drama keluarga dan coming-of-age

adegan dalam film Avatar: The Way of Water (dok. 20th Century Studios/Avatar: The Way of Water)

Uniknya, meski menampilkan aksi dan visual yang juara, sejatinya inti cerita dalam Avatar: The Way of Water sangat sederhana dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Penjajahan manusia atas Pandora memang masih menjadi menu utama. Namun, secara keseluruhan, film ini bertutur tentang ikatan keluarga.

Avatar: The Way of Water adalah tentang bagaimana proses adaptasi keluarga Jake di lingkungan yang baru. Dari tema tersebut, penonton diajak untuk mengikuti perjuangan Jake dan Neytiri dalam membesarkan anak-anak mereka, dilema Kiri sebagai anak adopsi, hingga hubungan alot antara Lo'ak dan Jake karena selalu dibanding-bandingkan dengan Neteyam yang sempurna.

Selain drama keluarga, Avatar: The Way of Water juga mengangkat tema coming-of-age lewat persahabatan antara Lo'ak dan Payakan, seekor tulkun yang dikucilkan dari kawanannya. Bukankah konflik keluarga dan kisah orang-orang terbuang yang disajikan dalam film ini juga terjadi di dunia nyata?

Dengan visual dan penceritaan yang jauh lebih kompleks dari film pertama, Avatar: The Way of Water seakan menjadi jawaban dari James Cameron untuk penggemar yang telah menanti sekian lama. Mengingat prestasinya di Golden Globe 2023, apakah film ini juga mampu menembus nominasi Oscar tahun depan? Mari kita sama-sama berharap.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us