Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[REVIEW] Dogfight, Ketika Kaum "Halo Dek" Ditampar Kenyataan

Dogfight
Dogfight (dok. Warner Bros/Dogfight)
Intinya sih...
  • Dogfight membuka adegan yang mengekspos kelakuan khas mayoritas oknum berseragam
  • Protagonis perempuan yang kuat jadi titik balik film ini
  • Film memotret bagaimana Perang Vietnam mengubah Amerika Serikat selamanya
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kaum “Halo Dek” jadi salah satu istilah yang menghiasa jagat maya. Buat yang ketinggalan, istilah itu dipakai untuk menyebut pria-pria yang berusaha menggaet jodoh lewat media sosial dan biasanya mengawali percakapan privat dengan sapaan “Halo, dek”. Fenomena ini juga punya polanya sendiri, yakni sering kali dilakukan oleh oknum berseragam, seperti tentara dan polisi.

Menariknya, fenomena “Halo Dek” ternyata bukan masalah khas Indonesia. Sebuah film lawas karya Nancy Savoca berlatar Amerika Serikat tahun 1960-an berjudul Dogfight (1991) mengekspos kecenderungan serupa. Hebatnya, Savoca berhasil menggarapnya dengan semangat female gaze dan antiperang. Bagaimana bisa? Berikut secuplik review film Dogfight!

1. Dibuka dengan adegan yang mengekspos kelakuan khas mayoritas oknum berseragam

Dogfight
Dogfight (dok. Criterion/Dogfight)

Dogfight dibuka dengan adegan seorang tentara muda yang melakoni perjalanan darat dengan bus dan turun untuk istirahat makan di sebuah diner (tipe resto khas Amerika Serikat). Pada saat itu, ia teringat kejadian beberapa tahun lalu, tepatnya pada 1963. Si tentara muda yang diperkenalkan sebagai Korporal Edward Birdlace (River Phoenix) dapat jatah cuti 24 jam sebelum bertolak ke Okinawa untuk persiapan keberangkatan ke Vietnam.

Ditulis oleh Bob Comfort, produser yang juga veteran perang Vietnam, banyak referensi personal yang dipakai untuk menghidupkan karakter Birdlace dan kawan-kawannya. Mulai dari obrolan misogini dan candaan rasis yang jadi makanan sehari-hari sampai postur yang mencerminkan rasa percaya diri dan bangga. Kecenderungan Birdlace untuk mencari validasi dari sesama teman prianya juga tak luput dari proses penciptaan karakter.

2. Protagonis perempuan yang kuat jadi titik balik film ini

Dogfight
Dogfight (dok. Criterion/Dogfight)

Singkat cerita, Birdlace dan kawan-kawan hendak memanfaatkan 24 jam ini untuk bersenang-senang. Salah satunya dengan mengadakan sayembara “dogfight”. Nama sayembara itu diambil dari kata “dog” yang pada 90-an sering dipakai sebagai hinaan untuk orang yang dianggap buruk rupa. Intinya, mereka harus berlomba mencari teman kencan paling tak menarik sesuai standar kecantikan yang berlaku untuk dibawa ke pesta dansa. Pemenangnya akan dapat sejumlah uang dari hasil taruhan.

Birdlace kemudian memutuskan untuk merayu Rose (Lili Taylor) seorang pramusaji sebuah kafe yang sedang asyik bermain gitar sendirian di sudut ruangan. Lewat rayuan-rayuan mautnya, Rose yang pemalu dan terkungkung di kafe milik keluarganya melihat kehadiran Birdlace sebagai jalan keluar dari rasa bosan dan kesepiannya. Kencan pun dimulai, tetapi menariknya Comfort dan Savoca tak menunggu sampai akhir film untuk membongkar kelicikan Birdlace dan kawan-kawan.

Alih-alih meratapi nasibnya, Rose melawan dengan konfrontasi langsung sembari membela perempuan lain yang jadi korban di pesta itu. Sebuah adegan yang cukup menarik dan segar. Sejak ini, dinamika cerita berubah. Birdlace bukan satu-satunya protagonis utama. Ia kini harus bersaing dengan Rose yang tak kalah kuat dan mencolok secara pendirian.

3. Memotret bagaimana Perang Vietnam mengubah Amerika Serikat selamanya

Dogfight
Dogfight (dok. Criterion/Dogfight)

Film belum selesai. Birdlace ternyata memilih menyusul Rose yang kecewa berat untuk meminta maaf. Mereka sepakat menghabiskan semalam berkeliling kota San Fransisco dan mengenal satu sama lain. Momen ini didominasi percakapan, adegan kocak, serta momen manis sekaligus.

Savoca dan Comfort pun tidak memaksakan keduanya untuk selalu sejalan. Beberapa percakapan antarkeduanya justru berisi perdebatan sengit. Birdlace adalah tipikal tentara muda yang tone-deaf , apatis, dan memegang teguh nilai-nilai maskulinitas tradisional, hal yang menjelaskan mengapa ia berkenan diterjunkan ke Vietnam. Sebaliknya, Rose adalah pencinta musik yang pasifis dan humanis.

Pakai teknik bookend, jelang akhir film, kita akan dibawa kembali ke perjalanan darat Birdlace. Kondisinya diperjelas. Ia bukan lagi pemuda tegap dan percaya diri seperti beberapa tahun lalu. Ia lebih sering menunduk, jalannya pincang, dan beberapa kali dirundung secara verbal di jalanan. Ini sesuai dengan kondisi Amerika jelang berakhirnya Perang Vietnam.

Merujuk tulisan Tracy Karner untuk jurnal American Studies berjudul ‘Fathers, Sons, and Vietnam: Masculinity and Betrayal in the Life Narratives of Vietnam Veterans with Post Traumatic Stress Disorder’, Perang Vietnam mengubah perspektif orang Amerika tentang konsep maskulinitas dan kejantanan. Berbagai kejahatan perang dan pelanggaran HAM yang dilakukan tentara AS tersingkap sontak membuat banyak orang berbalik mencibir propaganda serta doktrin heroisme yang biasa pemerintah pakai untuk menjustifikasi kebijakan luar negeri mereka.

Dengan menampilkan kondisi terkini Birdlace, Savoca dan Comfort tak perlu kata-kata lagi untuk menyampaikan pesan mereka. Adegan minim dialog yang meremukkan hati sekaligus penuh makna tersirat pun dipilih untuk mengakhiri film tersebut.

Dogfight sayangnya tak seberapa sukses pada perilisan perdananya, terlepas dari nama Warner Bros yang membiayai produksi dan distribusinya saat itu. Ia baru dapat eksposur lumayan besar setelah dirilis ulang oleh Criterion pada 2024. Padahal, ini film pertama yang memfitur Brendan Fraser sebagai cameo, salah satu proyek indie terbaik yang memamerkan bakat River Phoenix dan Lili Taylor, serta mungkin satu-satunya film romcom yang bernapaskan pesan antiperang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us