Review Dia Bukan Ibu, Penerus Hereditary (2018) dari Indonesia?

- Film horor terbaru Indonesia, Dia Bukan Ibu, disutradarai oleh Randolph Zaini dan menampilkan kisah keluarga disfungsional dengan teror psikologis dan emosional.
- Akting mengerikan Artika Sari Devi sebagai "ibu" menjadi kekuatan utama film ini, sementara simbolisme kucing dan sosok ibu membawa kritik sosial tentang motherhood dan womanhood.
- Dia Bukan Ibu direkomendasikan untuk penggemar horor keluarga ala Hereditary, namun perlu diingat adegan disturbing yang bisa memicu sebagian penonton.
Film horor terbaru Indonesia berjudul Dia Bukan Ibu (A Woman Called Mother) baru saja tayang perdana di Fantastic Fest 2025. Disutradarai oleh Randolph Zaini di bawah panji MVP Pictures, film ini menampilkan Artika Sari Devi, Aurora Ribero, dan Ali Fikry dalam kisah yang menegangkan sekaligus emosional.
Dia Bukan Ibu mengisahkan Vira (Aurora Ribero) dan Dino (Ali Fikry), kakak beradik yang tinggal bersama ibunya, Yanti (Artika Sari Devi). Dua tahun setelah kematian suaminya, Yanti tiba-tiba berubah drastis: lebih ceria, lebih cantik, dan sukses hingga mampu membeli rumah baru di pinggiran kota. Namun, perubahan itu justru menimbulkan tanda tanya besar, karena hal-hal ganjil mulai menghantui rumah baru mereka.
Lalu, apa saja kelebihan dan kekurangan film ini? Apakah layak untuk ditonton? Yuk, simak ulasannya di bawah!
1. Sajikan horor dengan latar belakang keluarga disfungsional

Randolph Zaini sajikan horor yang terasa begitu dekat dengan menjadikan dinamika keluarga disfungsional sebagai inti cerita. Alih-alih sekadar menakut-nakuti lewat jumpscare, film ini lebih menekankan teror psikologis dan emosional. Hubungan Yanti dengan anak-anaknya yang perlahan berubah membentuk ketegangan yang menyesakkan dada, bahkan tanpa kehadiran entitas supernatural.
Simbolisme juga memainkan peran penting dalam film ini. Dari sosok kucing yang rela memakan anaknya sendiri, hingga susu dan ritual okultisme, semuanya seakan mengisyaratkan bahwa kengerian terbesar bisa muncul di sekitar kita. Randolph berhasil menggabungkan drama emosional dengan teror, menjadikan Dia Bukan Ibu terasa seperti "horor keluarga" yang lebih relevan dan personal.
"Now, simbolisme kucing itu adalah kucing adalah suatu spesies yang bisa memakan anaknya sendiri, atau melukai anaknya sendiri. Ada beberapa spesies lain seperti kelinci juga. Kalau lagi dikejar predator, itu bisa melukai anak sendiri dan meninggalkannya. Dan semuanya, semua simbolisme-simbolisme ini harus kembali lagi ke konsep motherhood," jelas Randolph saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (12/9/2025).
Tak heran, banyak penonton yang menyebut film ini mengingatkan pada Hereditary (2018) karya Ari Aster. Keduanya sama-sama menggunakan trauma keluarga sebagai pintu masuk menuju mimpi buruk yang lebih besar. Bedanya, Dia Bukan Ibu mengadaptasi konteks lokal Indonesia dengan segala nilai budaya dan sosialnya.
2. Penampilan mengerikan Artika Sari Devi sebagai "ibu"

Salah satu kekuatan utama film ini adalah akting Artika Sari Devi. Ia bertransformasi total dari sosok ibu yang hangat menjadi figur mengerikan. Bahkan demi peran ini, Artika melakukan method acting dan menurunkan berat badannya hingga 3 kilogram. Dedikasinya membuahkan hasil. Setiap gerak gerik sang Ibu, khususnya tatapan matanya, membuat penonton tidak nyaman.
Ada momen ketika Ibu terlihat tenang dan menawan. Namun dalam hitungan detik langsung berubah menjadi ancaman yang mengerikan. Perubahan ekstrem ini membuat karakternya tak terduga, sehingga menambah lapisan teror dalam film. Chemistry Atika dengan Aurora Ribero dan Ali Fikry sebagai anaknya juga patut diapresiasi.
Hubungan kakak-adik yang diperankan Aurora dan Ali memberi keseimbangan emosional, sehingga kita sebagai penonton benar-benar merasakan ketakutan mereka menghadapi perubahan sang Ibu. Tidak heran jika banyak kritikus di Fantastic Fest 2025 menyebut penampilan Artika sebagai salah satu yang paling menonjol di festival tahun ini.
3. Bawa kritik sosial tentang motherhood dan womanhood

Lebih dari sekadar horor, Dia Bukan Ibu juga membawa kritik sosial tentang peran seorang ibu dan perempuan. Yanti, yang ditinggal oleh suaminya, mendapatkan tekanan untuk tetap kuat, cantik, dan sukses di mata orang lain. Transformasi misteriusnya bisa dibaca sebagai simbol bagaimana masyarakat menuntut perempuan untuk selalu tampil sempurna, bahkan ketika sedang rapuh.
Melalui teror yang dialami Vira dan Dino, film ini menyinggung bagaimana motherhood tidak selalu identik dengan kelembutan. Ada sisi gelap dari ekspektasi menjadi ibu yang baik, terutama ketika tuntutan sosial dan trauma pribadi bercampur.
"Dari proses kita me-research, meng-interview, mencari tahu, ada certain level of regret atau grief malah yang tumbuh dalam mengalami proses motherhood ini. Padahal sebetulnya itu tidak tabu. Itu hanya something yang manusiawi. Tapi ekspektasi masyarakat kita atau ekspektasi dunia itu, seorang ibu kayak gak boleh ngeluh lah, ya," tutur Randolph.
Randolph menampilkan semua ini tanpa menggurui, melainkan lewat narasi penuh simbolisme. Dari ayam yang disembelih, kuning telur, hingga susu, semua detail kecil punya makna yang bisa ditafsirkan sebagai kritik terhadap cara kita memandang perempuan dan peran ibu dalam keluarga.
4. Apakah Dia Bukan Ibu recommended untuk ditonton?

Jika kamu adalah penggemar horor keluarga ala Hereditary, Dia Bukan Ibu wajib masuk daftar tontonan. Film ini tak sekadar menawarkan jumpscare dan adegan gore, melainkan juga pengalaman mencekam yang buat sesak napas. Namun perlu diingat, ada banyak adegan disturbing, termasuk kekerasan terhadap hewan (khususnya ayam dan kucing) yang bisa menjadi pemicu bagi sebagian penonton.
Kekuatan film ini jelas ada pada penyutradaraan Randolph Zaini yang berani (gila, kalau penulis boleh jujur), akting luar biasa dari Artika Sari Devi, serta berbagai simbolisme yang membuatnya lebih dari sekadar supernatural horror. Meski durasinya yang 1 jam 59 menit terasa bisa agak dipadatkanf, keseluruhan pengalaman menonton tetap menegangkan dan memikat.
Dia Bukan Ibu membuktikan bahwa horor Indonesia bisa berdiri sejajar dengan karya internasional. Sebuah penerus Hereditary yang layak, sekaligus cermin menakutkan tentang keluarga, cinta, dan kegelapan yang tersembunyi di baliknya. Dia Bukan Ibu tayang di seluruh bioskop Indonesia mulai 25 September 2025.