[REVIEW] Shazam! Fury of the Gods, ketika Keluarga Menjadi Kekuatan

Sebagai penggemar DC Extended Universe (DCEU), kamu pasti masih ingat dengan kesuksesan Shazam! (2019) dalam mengulang pencapaian Wonder Woman (2017) sebagai salah satu film superhero terbaik, kan?
Kini, empat tahun setelah film pertama dirilis, sekuelnya yang berjudul Shazam! Fury of the Gods (2023) siap menghibur para fans yang telah menantikan kelanjutan kisah Billy Batson alias Shazam (Asher Angel dan Zachary Levi).
Sayangnya, kembalinya Shazam ke layar lebar pada Rabu (15/3/2023) tak dibarengi dengan ulasan yang positif dari para kritikus. Sebagian memang memuji tone filmnya yang ringan dan menyenangkan. Namun, sebagian lagi mengkritik alur ceritanya yang berantakan dan komedinya yang garing. Melihat pernyataan tersebut, sebuah pertanyaan pun muncul, benarkah Shazam sudah kehilangan "sihirnya"?
Buat kamu yang penasaran dan masih ragu untuk menontonnya, review film Shazam! Fury of the Gods di bawah ini bisa banget dijadikan panduan. Sedikit bocoran, ternyata apa yang dikatakan para kritikus di atas gak sepenuhnya benar, lho!
1. Soroti kehidupan Billy Batson dan lima saudara angkatnya setelah peristiwa di film pertama

Tak ada yang lebih menakutkan dari beranjak dewasa dan meninggalkan keluarga. Hal inilah yang dirasakan oleh sang protagonis, Billy Batson alias Shazam, dalam Shazam! Fury of the Gods. Meski sebelumnya berhasil mengalahkan Thaddeus Sivana (Mark Strong) dan Seven Deadly Sins bersama lima saudara angkatnya, Billy tetap merasa takut kehilangan mereka.
Ketakutan Billy tersebut membuatnya menjadi pemimpin yang suka mengatur. Bisa ditebak, sikap Billy tersebut mendatangkan "bencana." Selain dicap sebagai superhero pecundang oleh masyarakat, kedua saudara angkatnya, Freddy Freeman (Jack Dylan Grazer) dan Mary Bromfield (Grace Fulton), juga merasa risih dan ingin bebas dari segala aturannya.
Sementara itu, di kerajaan para dewa, dua putri Atlas, Hespera (Helen Mirren) dan Kalypso (Lucy Liu), menawan sang penyihir Shazam (Djimon Hounsou) dan memaksanya untuk menyatukan tongkat sihir yang dipatahkan Billy di film pertama. Dengan tongkat tersebut, mereka berencana untuk merebut kekuatan yang dimiliki Billy dan para saudara angkatnya.
2. Shazam! Fury of the Gods percaya diri dengan menampilkan villain baru, Daughters of Atlas

Sebelum Shazam! Fury of the Gods tayang, banyak fans yang mempertanyakan keputusan Henry Gayden (Shazam!) dan Chris Morgan (seri film Fast & Furious), selaku penulis naskah, untuk menghadirkan Daughters of Atlas sebagai villain. Pasalnya, mereka merupakan karakter baru yang tak mempunyai hubungan apa pun dengan jalan cerita di komik.
Namun, menurut penulis, kehadiran mereka justru berhasil memberi warna baru bagi DCEU di tengah kritik terkait minimnya karakter superhero perempuan. Daughters of Atlas tak menjadi villain yang sekadar nampang. Oleh Gayden dan Morgan, masing-masing dari mereka dibekali dengan karakterisasi yang menarik dan kekuatan yang unik.
Dari ketiga Daughters of Atlas, salah satu yang mencuri perhatian adalah Anthea (Rachel Zegler). Selain sifatnya yang (ternyata) baik hati, kemampuannya memanipulasi poros Bumi (Power of Axis) juga menyuguhkan parade efek visual yang atraktif. Magical banget!
3. Jalin chemistry manis, Jack Dylan Grazer dan Rachel Zegler sukses curi atensi!

Seperti film pertamanya, Shazam! Fury of the Gods masih mengandalkan komedi untuk menghibur para penontonnya. Beberapa di antaranya memang cerdas dan menggelitik, seperti lelucon soal Fast & Furious dan situasi di mana salah satu karakter mengungkap orientasi seksualnya secara spontan.
Namun, sayangnya ada sejumlah momen canggung yang berakhir dengan cringe alih-alih lucu (petunjuk: Wonder Woman dan Djimon Hounsou). Untungnya, Shazam! Fury of the Gods masih mempunyai beberapa elemen yang mampu menambal hit and miss pada komedinya. Salah satunya adalah chemistry antara Jack Dylan Grazer dan Rachel Zegler sebagai Freddy dan Anthea.
Sama-sama mengalami permasalahan keluarga, khususnya saudara yang suka mengatur, keduanya membangun hubungan manis yang—meski klise—mampu menjadi highlight dalam Shazam! Fury of the Gods. Hebatnya, David F. Sandberg, selaku sutradara, mampu menyelipkan subplot romansa tersebut tanpa terlihat annoying.
4. Third act tersaji epik, berasa nonton film dark fantasy!

Meski lemah dalam presentasi komedi, Shazam! Fury of the Gods tak main-main jika bicara soal aksi. Mitologi Yunani yang diusung sebagai tema digunakan Gayden dan Morgan untuk melepas sejumlah monster mengerikan di third act—yap, jauh lebih mengerikan dari Seven Deadly Sins di film pertama!
Selain desain monster yang kreatif, pengarahan Sandberg pun berjasa dalam membuat babak pamungkasnya semakin menggelegar. Sandberg, yang pernah membuat dua film horor keren, yakni Lights Out (2016) dan Annabelle: Creation (2017), paham cara memperlakukan para monsternya. Tak ayal, paruh ketiga Shazam! Fury of the Gods tersaji layaknya film dark fantasy.
Selain parade monster, Shazam! Fury of the Gods pun menyuguhkan sebuah pertarungan masif yang melibatkan Billy Batson alias Shazam, Kalypso, naga, dan petir. Dibalut CGI yang impresif serta sinematografi yang apik dari Gyula Pados (seri film Maze Runner dan Jumanji), adegan epik tersebut dijamin akan membuat para pencinta komik berteriak kegirangan!
5. Selain aksi, Shazam! Fury of the Gods juga tak lupa selipkan pesan penting tentang keluarga

Layaknya seri film Ant-Man dalam Marvel Cinematic Universe (MCU), Shazam! juga diatur sebagai seri film DCEU yang paling family oriented. Tak peduli betapa mengerikannya villain atau monster yang muncul, Shazam! Fury of the Gods tetap menjunjung tinggi tema yang menjadi ciri khas dari seri filmnya, yakni keluarga.
Seperti yang disinggung di atas, Ketakutan Billy yang berlebihan akan terpisah dari keluarganya, termasuk orang tua angkatnya, Rosa dan Victor (Marta Milans dan Cooper Andrews), membuatnya insecure dengan dirinya sendiri. Shazam! Fury of the Gods menjadi perjalanan Billy dalam mengubah ketakutan itu menjadi kekuatan.
Sementara itu, meski terlihat kuat dan solid di awal, Daughters of Atlas akhirnya terpecah belah karena mengikuti ego masing-masing. Alih-alih memaksakan untuk memiliki ambisi yang sama, bukankah sebuah keluarga seharusnya saling mendukung di tengah perbedaan?
Secara keseluruhan, Shazam! Fury of the Gods memang belum bisa melampaui kejenakaan film pertamanya. Namun, bukan berarti film ini menjadi film superhero yang buruk.
Sebaliknya, di tengah gelaran aksi yang lebih spektakuler dari film pertama, Shazam! Fury of the Gods masih mampu mempertahankan tema keluarga yang menjadi ciri khasnya. Jadi, jangan ragu menontonnya di bioskop bersama keluarga tercinta, ya!