Review Weapons (2025), Layak Disebut Film Horor Terbaik Tahun Ini?

- Horor slow-burning dengan enam POV berbedaPendekatan Cregger untuk film ini jelas tidak biasa. Alih-alih mengandalkan penceritaan konvensional, ia malah membangun teror perlahan-lahan lewat plot mosaik.
- Sinematografi yang sukses munculkan rasa tidak nyamanSalah satu kekuatan utama Weapons adalah bagaimana film ini membangun atmosfer tidak nyaman dan meresahkan tanpa harus "berisik".
- Babak akhir yang campur aduk; brutal tapi menghiburMemasuki babak ketiga, Weapons mulai lepas kendali. Misteri yang tadinya dibangun dengan elegan mulai dikuak satu per satu.
Setelah kesuksesan Barbarian (2022), Zach Cregger kembali dengan Weapons (2025). Digadang-gadang sebagai film horor terbaik tahun ini, Weapons adalah sebuah proyek yang lebih ambisius, kompleks, dan secara struktur cerita jauh lebih menantang. Tidak seperti film horor pada umumnya, Weapons menyajikan misteri dalam gaya penceritaan ala Rashomon (1950), yang mengingatkan kita pada film-film seperti Magnolia (1999) atau The Last Duel (2021).
Dengan durasi 2 jam 8 menit, film ini mengawali ceritanya pada pukul 02.17 dini hari di sebuah kawasan suburban. Sebanyak 17 anak secara misterius meninggalkan rumah mereka, berlari menembus malam dengan tangan terbentang. Satu-satunya anak yang tidak ikut, Alex, menjadi titik awal bagi guru kelas mereka, Justine Gandy (Julia Garner), untuk mengungkap fenomena aneh ini. Lalu, apa saja kelebihan dan kekurangannya? Mari kita simak di bawah ini!
1. Horor slow-burning dengan enam POV berbeda

Pendekatan Cregger untuk film ini jelas tidak biasa. Alih-alih mengandalkan penceritaan konvensional, ia malah membangun teror perlahan-lahan lewat plot mosaik. Setiap bab menghadirkan potongan cerita dari enam sudut berbeda: orang tua guru (Justine), orang tua anak (Archer), polisi (Paul), kepala sekolah (Marcus), dan dua tokoh lainnya yang sebaiknya tak perlu disebutkan demi menghindari spoiler.
Seiring waktu, lapisan-lapisan misteri mulai tersingkap, tapi beberapa pertanyaan tetap tak terjawab hingga menjelang akhir. Format ini membuat kita aktif berpikir dan menyusun sendiri benang merah dari seluruh kejadian. Meskipun lambat di awal, pendekatan ini terasa sangat rewarding bagi mereka yang sabar.
Konsep multi-POV ini bukan hanya gaya-gayaan sang sutradara saja, tapi jadi alat naratif yang efektif untuk menggambarkan skala trauma dalam komunitas dan efek domino dari sebuah tragedi.
2. Sinematografi yang sukses munculkan rasa tidak nyaman

Salah satu kekuatan utama Weapons adalah bagaimana film ini membangun atmosfer tidak nyaman dan meresahkan tanpa harus "berisik". Sinematografi Larkin Seiple (Everything Everywhere All At Once) bekerja sangat efektif. Ia mampu menciptakan ruang-ruang gelap, garis pandang terbatas, dan siluet mengancam yang terasa menghantui, bahkan dalam adegan paling sunyi sekalipun.
Tak hanya itu, elemen scoring juga menjadi bagian integral dari pengalaman horor film ini. Tidak ada ledakan jumpscare murahan, melainkan ketegangan yang disuntikkan lewat suara mengganggu dan ritme pelan yang mencekam. Adegan mimpi buruk dan kejar-kejaran menjadi contoh bagaimana Weapons bermain-main dengan suspense dan absurditas dalam dosis yang tak terduga.
Horor yang ditawarkan pun lebih bersifat psikologis daripada sekadar visual. Menonton film ini terasa seperti menerima Russian roulette untuk indra kita. Ya, seperti judul filmnya: Weapons.
3. Babak akhir yang campur aduk; brutal tapi menghibur

Memasuki babak ketiga, Weapons mulai lepas kendali. Misteri yang tadinya dibangun dengan elegan mulai dikuak satu per satu. Namun tentu saja, bukan tanpa harga. Tema yang awalnya kompleks dan filosofis mulai menyempit menjadi penjelasan tunggal yang agak gamblang. Jika boleh jujur, justru membatasi ruang interpretasi yang sebelumnya luas, bahkan memicu banyak teori.
Gladys, karakter yang muncul di babak akhir, menjadi titik balik tone film. Dari yang muram dan serius, film ini beralih menjadi campuran horor brutal dan komedi gelap. Bagi sebagian penonton, ini mungkin terasa ganjil. Namun itulah ciri khas Cregger. Ada vibe film-film Ari Aster dan Jordan Peele di akhir cerita: absurd, grotesk, tapi tetap menyisakan humor yang menyentil sekaligus disturbing.
4. Apakah Weapons recommended untuk ditonton?

Jawabannya sangat tergantung pada seleramu terhadap film horor. Jika kamu menyukai Barbarian (2022) atau film-film suspense Hitchcockian dengan struktur non-linear, Weapons kemungkinan besar akan menjadi pengalaman sinematik yang tidak biasa. Bayangkan saja, di tengah adegan seram ada komedi slapstick yang disisipkan, memicu ketawa getir dengan respon, "WTF?".
Kekuatan utama film ini tetap terjaga berkat naskah yang solid dan penampilan luar biasa dari para pemerannya. Aktor-aktor seperti Julia Garner dan Josh Brolin tampil prima dengan porsi layar yang seimbang. Terlepas dari adegan akhirnya, Weapons tetap menawarkan pengalaman horor yang tidak biasa: lambat, dalam, memusingkan, dan di saat bersamaan... menyenangkan.