Snow White, Film Live Action Disney yang Overhated?

Setelah penantian panjang, adaptasi live action Snow White akhirnya hadir di bioskop Indonesia pada Rabu (19/3/2025). Proses produksi yang berliku dan penuh kontroversi, mulai dari pemilihan pemain hingga isu politik, telah menjadikannya salah satu film Disney yang paling mendapat sorotan. Tak heran jika banyak yang penasaran, seperti apa hasil akhirnya?
Saat artikel ini ditulis, Snow White sendiri menuai beragam tanggapan dari para kritikus. Di situs Rotten Tomatoes, film ini memperoleh skor 47 persen. Sebagian besar pujian tertuju pada performa Rachel Zegler yang dinilai berhasil menghidupkan karakter Snow White dengan pesona dan vokal yang memukau, tetapi tak sedikit pula yang mengkritik plot yang dianggap terlalu politis dan kehilangan esensi dongeng aslinya.
Lantas, apakah ulasan-ulasan tersebut serta kontroversi yang menyelimuti film ini membuat Snow White layak dilabeli sebagai adaptasi live action yang gagal? Daripada terburu-buru menyimpulkan, simak review film Snow White versi penulis berikut ini. Siapa tahu, kamu bakal menemukan jawaban dan sudut pandang baru dari ulasan-ulasan yang beredar!
1. Hormati kisah klasik dengan sentuhan modern yang segar

Terlepas dari kesuksesan Snow White and the Seven Dwarfs (1937) sebagai film animasi panjang pertama Disney, ada satu detail yang paling diingat fans dari sosok Snow White. Putri ini digambarkan memiliki kulit seputih salju, sebagaimana ditekankan dalam namanya yang menjadi simbol kecantikan ideal pada masanya. Hal ini pula yang kemudian memicu kontroversi ketika Disney memilih Rachel Zegler, aktris berdarah Amerika Latin, sebagai pemeran utama dalam film adaptasi live action ini.
Demi mengubah stereotip dan merangkul inklusivitas, Erin Cressida Wilson (The Girl on the Train), sebagai penulis naskah, pun mengambil langkah berani dengan memberikan latar belakang baru bagi Snow White. Alih-alih menekankan pada warna kulit, film ini menceritakan bahwa sang karakter tituler lahir di tengah badai salju yang ganas. Perubahan ini secara tak langsung menjadi metafora kuat untuk menggambarkan kerasnya pengalaman hidup yang akan ia hadapi.
Setelahnya, film ini kembali ke kisah klasik yang akrab bagi audiens. Snow White tumbuh menjadi seorang putri yang dicintai rakyatnya di bawah asuhan raja dan ratu yang bijaksana. Namun, kebahagiaan itu sirna ketika ibunya meninggal, dan ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita cantik yang kemudian dikenal sebagai Evil Queen (Gal Gadot). Dengan tipu daya, sang ratu jahat mengirim raja pergi berperang dan menjerumuskan Snow White, beserta seluruh negeri, ke dalam penderitaan.
Tentu saja kisah Snow White tak berhenti sampai di sana. Evil Queen, yang terobsesi dengan kecantikannya, menjadi cemburu setelah Cermin Ajaib menyatakan bahwa Snow White adalah yang tercantik di negeri itu. Dipenuhi amarah, ia mengutus seorang pemburu untuk membunuh Snow White di hutan. Namun, karena belas kasihan, sang pemburu membiarkannya pergi, hingga akhirnya Snow White bertemu dengan tujuh kurcaci di dalam hutan.
Sentuhan modern kembali terasa ketika naskah garapan Wilson memperkenalkan Jonathan (Andrew Burnap) sebagai reinterpretasi karakter pangeran. Bukan sosok penyelamat yang muncul entah dari mana, ia adalah pemimpin kelompok bandit yang memiliki hubungan kuat dengan perjuangan Snow White. Kehadiran Jonathan tentu membuat narasi "pangeran" menjadi lebih believeable dibandingkan versi animasinya.
2. Manjakan mata dan telinga, visual dan musik jadi salah satu elemen krusial

Tentu sangat mustahil menghadirkan kisah seajaib Snow White tanpa visual yang magical, bukan? Menyadari hal itu, Disney tak main-main dalam menggarap film ini dengan menggelontorkan dana fantastis, diperkirakan mencapai 250-270 juta dolar AS, setara dengan produksi The Lion King (2019). Tak berhenti di situ, mereka juga menggandeng duo genius Benj Pasek dan Justin Paul, yang sebelumnya sukses besar lewat The Greatest Showman (2017), untuk menggarap sejumlah lagu baru.
Perpaduan magis antara visual yang memukau dan alunan musik yang menyentuh hati sudah terlihat jelas sedari awal. Lewat tembang "Good Things Grow" yang energik dan desain produksi berwarna pastel, Marc Webb (500 Days of Summer), sebagai sutradara, berhasil merangkai adegan musikal pembuka yang meriah.
Belum lagi ketika nomor romansa "A Hand Meets a Hand" divisualisasikan dengan begitu menghipnotis. Tak hanya lagu-lagu orisinal yang ciamik, Snow White juga memberikan ruang bagi para penonton untuk bernostalgia dengan menyelipkan tembang-tembang ikonik, seperti nomor jenaka "Heigh-Ho" dan "The Silly Song".
Namun, bukan berarti visual hanya berjaya saat nomor musikal berkumandang, justru sebaliknya. Coba tengok bagaimana Webb menghadirkan transisi keren dengan memanfaatkan sinematografi frantic khas Mandy Walker (Elvis) saat Snow White menghadapi kengerian di hutan belantara, lalu adegan ketika ia akhirnya tiba di hutan ajaib yang penuh warna dan keajaiban. Perbedaan visual yang mencolok ini semakin memperkuat narasi dan emosi yang ingin disampaikan oleh Snow White.
Bicara soal kekurangan, sebagian kritikus menganggap visual CGI para kurcaci dalam film ini terasa "mengganggu". Namun, menurut penulis, cela tersebut justru berhasil diatasi oleh naskah garapan Wilson dengan menghadirkan Dopey (disuarakan Andrew Barth Feldman) sebagai pusat emosi dari kelompok kurcaci. Digambarkan sebagai yang paling muda dan kikuk, tapi berhati lembut, Dopey tampil begitu menggemaskan hingga sulit untuk tak jatuh hati padanya.
3. Zegler menjelma jadi permata yang bersinar di tengah hujan kritikan

Dari departemen akting, sorotan tentu tertuju pada Rachel Zegler yang memerankan sang karakter tituler. Seperti yang telah disinggung di atas, terpilihnya ia sebagai Snow White, ditambah dengan pernyataan kontroversialnya tentang film aslinya yang dianggap usang dan kurang relevan, membuat kritik semakin deras menghampiri aktris berdarah Latin ini. Namun, lewat penampilannya, Zegler berhasil “membungkam” komentar negatif yang dilayangkan kepadanya.
Sebagai Snow White, Zegler menyuguhkan perkembangan karakter yang meyakinkan sepanjang film. Ia memulai perjalanannya sebagai putri naif yang pasif menunggu keajaiban dan terlihat lemah di hadapan sang ibu tiri. Namun, seiring berjalannya cerita, ia berkembang menjadi sosok yang kuat dan tegas, tapi tetap penuh kasih kepada semua makhluk di sekitarnya.
Tak hanya akting, vokal Zegler yang memukau juga diperdengarkan di nomor-nomor musikal, seperti "Waiting on a Wish" hingga "Snow White Returns". Menjadi titik balik karakternya, tembang terakhir merupakan puncak di mana akting dan vokal Zegler dikerahkan seutuhnya. Dengan performa yang solid ini, bukan tak mungkin Zegler akan kembali dinominasikan dalam kategori Best Actress – Musical or Comedy di Golden Globe 2026, setelah sebelumnya menang lewat West Side Story (2021).
Di sisi lain, Andrew Burnap juga mencuri perhatian lewat perannya sebagai Jonathan. Dengan karakterisasi yang eksentrik dan karisma yang kuat, mudah untuk menobatkannya sebagai salah satu live action “pangeran” Disney terbaik. Chemistry-nya dengan Zegler dalam tembang "Princess Problems" dan "A Hand Meets A Hand" menjadi salah satu highlight yang sayang untuk dilewatkan.
Sayangnya, pesona akting tak berbanding lurus di semua lini, terutama pada sosok Evil Queen yang diperankan Gal Gadot. Meski memiliki aura megah, aktris Israel yang turut menuai kritik atas pandangan politiknya ini gagal tampil mengancam sebagai sosok antagonis, baik dalam akting verbal maupun nomor musikal. Jika dibandingkan dengan Lady Tremaine (Cate Blanchett) di Cinderella (2015) atau Ursula (Melissa McCarthy) di The Little Mermaid (2023), Evil Queen dalam film ini terasa kurang berkesan dan mudah terlupakan.
4. Ditutup dengan pesan alih-alih aksi, apakah Snow White berakhir antiklimaks?

Bagian ini mengandung spoiler bagi yang belum menonton Snow White!
Selain latar belakang Snow White dan munculnya sejumlah karakter baru, salah satu modifikasi besar yang dilakukan Erin Cressida Wilson dalam naskahnya adalah ending. Tak lagi diselamatkan kurcaci dan pangeran, meski semuanya berkumpul dan adegan "true love's kiss" tetap ada, Snow White diceritakan berhasil mengalahkan Evil Queen melalui pidato yang mampu membangkitkan kembali simpati dan keberanian rakyat yang selama ini terintimidasi. Namun, banyak yang menganggap adegan pamungkas ini terasa prematur dan antiklimaks.
Bagi penulis, ending ini justru merupakan representasi sejati dari tema pemberdayaan dan pembebasan dalam kisah Snow White. Alih-alih mengedepankan aksi balas dendam ala "mata dibalas mata" yang sering kita temui dalam film-film bertema serupa, Snow White memilih jalur kebaikan sebagai kekuatan utamanya. Esensi ini juga terasa kuat dalam adaptasi Cinderella beberapa tahun lalu.
Di tengah dunia yang semakin dipenuhi oleh konflik dan kekerasan, pesan dalam ending Snow White ini justru terasa menyegarkan. Mengalahkan kejahatan dengan keberanian dan empati bisa jadi terlihat kurang spektakuler, tetapi justru menjadi bentuk revolusi yang lebih bermakna. Jika dunia nyata saja membutuhkan lebih banyak kepemimpinan yang adil dan penuh kasih, mengapa kita harus terus-menerus menuntut film pahlawan perempuan yang hanya menang lewat aksi fisik semata?
Ternyata, polemik dan skor Rotten Tomatoes yang kurang memuaskan tak sepenuhnya menggambarkan keseluruhan pengalaman menonton Snow White. Walaupun ada beberapa catatan, film ini tetap menawarkan visual yang memanjakan mata, alunan musik yang catchy, pesan moral yang relevan, serta penampilan memukau Rachel Zegler yang sukses menghidupkan sang putri ikonis. Jadi, sudah siap menyaksikan sendiri bagaimana Disney menghidupkan kembali dongeng klasik ini?