Kenapa Banyak Pekerja Remote Sulit Menikmati Liburan?

- Lingkungan yang sama membuat otak sulit beralih dari mode kerja ke mode istirahat
- Kebiasaan multitasking membuat pikiran menolak diam
- FOMO untuk terlihat profesional membuat liburan terasa penuh kecemasan
Bekerja secara remote sering dianggap sebagai impian banyak orang. Bayangan bisa bekerja dari mana saja, tidak terikat waktu, dan punya kebebasan menentukan ritme hidup terdengar sangat menarik. Namun, di balik fleksibilitas itu, banyak pekerja remote justru merasa kehilangan kemampuan untuk benar-benar berhenti. Saat waktunya berlibur tiba, mereka sulit menenangkan pikiran karena kepala masih penuh dengan urusan kerja.
Fenomena ini memperlihatkan hal yang menarik, yakni semakin bebas seseorang mengatur hidupnya, semakin sulit ia menemukan jeda yang benar-benar lepas dari tanggung jawab. Banyak yang tidak sadar kalau kebebasan itu datang bersama beban baru rasa bersalah ketika beristirahat, kecemasan kehilangan kendali, dan tuntutan tak terlihat dari pekerjaan ini.
Lantas, kenapa banyak pekerja remote sulit menikmati liburannya, ya? Ini beberapa alasan yang menjadi penyebabnya!
1. Lingkungan yang sama membuat otak sulit beralih dari mode kerja ke mode istirahat

Bekerja dari rumah membuat batas ruang menjadi kabur. Ruang tamu, kamar tidur, atau bahkan tempat liburan bisa berubah fungsi jadi kantor dadakan. Akibatnya, otak tidak lagi mengenali perbedaan antara tempat kerja dan tempat istirahat. Meski tubuh sudah berpindah lokasi, otak masih “menyala” dengan pola pikir kerja yang sama seperti di rumah.
Masalah ini terlihat kecil, tapi dampaknya besar. Ketika setiap tempat terasa seperti tempat kerja, maka tidak ada lagi ruang yang benar-benar bebas. Inilah alasan mengapa banyak pekerja remote merasa tegang bahkan saat duduk di pantai. Mereka tidak sadar bahwa otaknya sudah kehilangan kemampuan alami untuk menandai “waktu berhenti”, karena lingkungan fisik dan ritme hari-harinya tak pernah berubah.
2. Kebiasaan multitasking membuat pikiran menolak diam

Kerja remote sering membuat seseorang terbiasa berpindah fokus dengan cepat dari rapat daring, ke pesan atasan, lalu ke urusan rumah. Pola ini melatih otak untuk terus aktif dan siaga. Masalahnya, ketika waktu libur tiba, otak yang terbiasa multitasking justru sulit menyesuaikan diri dengan kondisi diam. Muncul rasa tidak nyaman ketika tidak melakukan apa-apa.
Bahkan, saat sedang di perjalanan atau menikmati makan malam, tangan terasa gatal ingin membuka laptop atau memeriksa notifikasi kerja. Di sinilah letak paradoksnya yakni tentang kebiasaan bekerja fleksibel justru membentuk ketergantungan terhadap kesibukan. Tanpa disadari, diam menjadi sesuatu yang menakutkan karena terasa seperti kehilangan kendali atas hidup sendiri.
3. FOMO untuk terlihat profesional membuat liburan terasa penuh kecemasan

Banyak pekerja remote hidup dalam ritme kerja yang sangat terkoneksi. Setiap perubahan di grup kerja, pengumuman klien, atau proyek baru bisa terjadi kapan saja. Hal ini menumbuhkan rasa takut tertinggal atau fear of missing out (FOMO) versi profesional. Meskipun sudah berlibur, sebagian tetap memantau email karena takut kehilangan momentum.
Ketika perasaan FOMO ini muncul, liburan kehilangan maknanya. Pikiran tidak benar-benar istirahat karena sibuk menebak-nebak apa yang sedang terjadi di tempat kerja. Akhirnya, waktu santai yang seharusnya memulihkan justru menjadi sumber stres baru. Banyak yang pulang dari liburan dengan tubuh segar tapi pikiran tetap lelah, karena otak tak pernah benar-benar putus dari dunia kerja.
4. Citra “bebas” pekerja remote menciptakan tekanan sosial terselubung

Kerja remote sering digambarkan dengan visual yang indah: bekerja sambil minum kopi di tepi pantai atau berlibur sambil tetap produktif. Gambaran itu menciptakan tekanan bahwa pekerja remote harus bisa memadukan kerja dan liburan dengan sempurna. Akibatnya, banyak orang merasa gagal jika liburannya tidak seindah ekspektasi media sosial.
Tekanan itu membuat liburan berubah fungsi. Alih-alih untuk menenangkan diri, liburan menjadi ajang pembuktian bahwa seseorang “hidup ideal” seperti yang dibayangkan publik. Pekerja remote pun tanpa sadar meniru gaya hidup orang lain, bukan mencari kenyamanan sesuai dirinya. Hasilnya, mereka berlibur tapi tetap cemas, bukan karena pekerjaan menumpuk, melainkan karena merasa tidak cukup bahagia dibandingkan orang lain.
5. Identitas diri yang melebur dengan pekerjaan menghambat rasa tenang

Bagi banyak pekerja remote, pekerjaan bukan sekadar sumber penghasilan, tapi juga bagian dari identitas diri. Mereka merasa berarti ketika produktif, merasa berguna ketika terlibat dalam proyek, dan merasa kosong ketika berhenti sejenak. Saat liburan datang, kekosongan itu muncul kembali seperti kehilangan arah tanpa pekerjaan yang biasa mengisi waktu.
Kondisi ini membuat istirahat terasa asing. Tanpa kesibukan, muncul perasaan canggung bahkan panik karena kehilangan “pegangan”. Padahal, makna hidup tidak hanya lahir dari produktivitas, tapi juga dari kemampuan untuk berhenti. Menikmati liburan berarti memberi ruang bagi diri sendiri untuk sekadar hadir, tanpa tuntutan harus menjadi apa pun. Namun, untuk banyak pekerja remote, hal sesederhana itu justru terasa sulit.
Kesulitan pekerja remote menikmati liburan bukan karena kurangnya waktu atau kesempatan, melainkan karena cara mereka memandang jeda. Dalam dunia yang serba terhubung, berhenti terasa seperti kemunduran, padahal justru di sanalah keseimbangan hidup terbentuk. Jadi, apakah kamu masih bisa benar-benar berlibur tanpa merasa harus produktif?


















