5 Sisi gelap pekerja WHV di Australia, Bukan Sekadar Liburan

- Praktik eksploitasi sering terjadi pada pemegang WHV di Australia, terutama di sektor pertanian dan hospitality.
- Pekerjaan WHV bisa sangat berat secara fisik dan upah yang diterima tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan.
- Banyak pemegang WHV terjebak dalam pekerjaan di daerah pedalaman demi memperpanjang visa, namun rentan menjadi korban pemalsuan dokumen dan penahanan paspor.
Artikel ini tidak bermaksud untuk menggeneralisasi seluruh pengalaman peserta Working Holiday Visa (WHV) di Australia. Kisah-kisah yang diangkat hanya mewakili sebagian kecil pengalaman yang kurang menyenangkan dan bukan gambaran menyeluruh. Banyak peserta WHV yang menjalani pengalaman positif dan sukses. Namun, penting untuk tetap waspada dan melakukan riset matang sebelum memutuskan untuk ikut program ini.
Working Holiday Visa (WHV) di Australia sering digambarkan sebagai kesempatan emas: bekerja sambil menjelajah negeri kanguru, bertemu orang dari seluruh dunia, dan merasakan pengalaman hidup mandiri di luar negeri. Banyak konten di media sosial memamerkan gaya hidup bebas, pantai yang menakjubkan, serta kebun dengan pemandangan indah tempat para backpacker bekerja.
Namun di balik gemerlap cerita-cerita tersebut, ada sisi lain dari kehidupan pemegang WHV yang jarang tersorot kamera. Banyak pekerja WHV menghadapi tantangan berat, eksploitasi, hingga kesulitan mental yang tersembunyi di balik senyuman dalam foto liburan. Berikut ini adalah 5 sisi gelap pekerja WHV di Australia yang penting untuk kamu ketahui sebelum memutuskan untuk ikut program ini.
1. Eksploitasi tenaga kerja oleh majikan nakal

Salah satu sisi gelap paling umum adalah praktik eksploitasi. Banyak pemegang WHV, terutama yang bekerja di sektor pertanian atau hospitality, menjadi korban majikan nakal yang tidak membayar upah sesuai standar atau bahkan sama sekali tidak membayar. Beberapa majikan memanfaatkan status "sementara" dan ketidaktahuan pekerja WHV soal hukum ketenagakerjaan di Australia.
Ada juga kasus di mana pekerja dipaksa bekerja berjam-jam tanpa istirahat layak, dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi. Karena takut kehilangan pekerjaan atau status visanya, banyak WHV memilih diam dan menerima perlakuan tersebut. Padahal, Australia sebenarnya memiliki sistem hukum ketenagakerjaan yang ketat tapi tidak semua pekerja tahu bagaimana cara melaporkan pelanggaran.
2. Kerja fisik berat dengan upah minim

Meski disebut “holiday,” kenyataannya banyak WHV yang bekerja dalam kondisi sangat jauh dari kata liburan. Pekerjaan seperti memetik buah, bekerja di peternakan, packing makanan, atau bersih-bersih di hotel bisa sangat berat secara fisik. Mereka harus bekerja di bawah terik matahari, menghadapi serangga dan tanah berlumpur, atau berdiri berjam-jam di pabrik dingin.
Upah yang diterima pun sering kali tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Ada sistem “per piece” (bayaran per keranjang atau kilogram hasil panen) yang membuat pekerja tertekan untuk terus bekerja cepat agar cukup menghasilkan. Jika tidak kuat secara fisik, pekerjaan seperti ini bisa menguras stamina dan berdampak pada kesehatan dalam jangka panjang.
3. Visa kedua yang mengandung perangkap

Salah satu daya tarik WHV di Australia adalah kesempatan untuk memperpanjang visa hingga tahun kedua, bahkan ketiga. Tapi untuk mendapatkannya, pemegang visa harus menyelesaikan “specified work” di area regional minimal 88 hari (untuk tahun kedua). Ini sering mendorong banyak orang mengambil pekerjaan apapun di pedalaman demi memperpanjang izin tinggal.
Namun di sinilah banyak yang terjebak. Tak sedikit petani atau agen tenaga kerja yang memalsukan dokumen, memperpanjang pekerjaan agar tidak kunjung selesai, atau bahkan menahan paspor dan upah. Beberapa bahkan memanfaatkan ketergantungan ini untuk menekan pekerja agar menerima kondisi kerja yang buruk, karena jika melawan, mereka bisa kehilangan peluang untuk memperpanjang visa.
4. Kesepian dan kesehatan mental yang terabaikan

Bekerja dan tinggal di daerah terpencil tanpa keluarga dan teman dekat bisa berdampak besar pada kesehatan mental. Banyak WHV mengalami kesepian, stres, burnout, hingga depresi, terutama saat pekerjaan tidak sesuai ekspektasi atau saat menghadapi perlakuan tidak adil. Lingkungan yang asing dan tekanan hidup mandiri bisa membuat siapa pun merasa kewalahan.
Ditambah lagi, karena status WHV adalah sementara, banyak pekerja enggan atau tidak tahu cara mengakses layanan kesehatan mental di Australia. Akibatnya, masalah-masalah psikologis sering tidak tertangani dengan baik. Tidak sedikit kasus pekerja WHV yang merasa terjebak dan akhirnya pulang lebih awal karena tidak tahan secara mental.
5. Biaya hidup tinggi dan tekanan finansial

Banyak orang mengira WHV bisa menabung banyak uang sambil jalan-jalan. Faktanya, biaya hidup di Australia sangat tinggi. Sewa tempat tinggal, transportasi, makanan, dan kebutuhan sehari-hari bisa dengan cepat menguras tabungan. Apalagi jika kamu tinggal di kota besar atau harus pindah-pindah untuk mencari pekerjaan.
Jika kamu tidak mendapatkan pekerjaan dalam waktu cepat, tekanan finansial bisa menjadi mimpi buruk. Beberapa WHV bahkan terpaksa tidur di mobil atau tinggal di hostel murahan yang penuh sesak demi bertahan. Karena itulah, WHV seharusnya dipersiapkan dengan matang, termasuk memiliki dana cadangan yang cukup untuk setidaknya dua bulan tanpa penghasilan.
Bukan berarti WHV di Australia adalah hal buruk. Banyak juga yang berhasil mendapatkan pengalaman berharga, teman baru, dan perjalanan hidup yang tak terlupakan. Tapi agar tidak kecewa dan terjebak dalam situasi sulit, penting untuk memahami sisi gelap dari realitas WHV.
Kuncinya adalah persiapan dan pengetahuan. Ketahui hak-hakmu sebagai pekerja, pelajari cara melaporkan eksploitasi, siapkan fisik dan mentalmu untuk tantangan di lapangan, dan buat rencana keuangan yang realistis. Dengan begitu, kamu bisa menikmati petualangan WHV dengan lebih aman, sadar, dan bermakna.