ilustrasi membaca teks cerita fantasi (pixabay.com/Pexels)
Orientasi:
Pagi itu, Sinta sedang malas-malasnya untuk bangun dan bersiap ke sekolah karena semalam pekerjaan rumahnya baru ia selesaikan sekitar pukul 11 malam. Ia baru mampu membuka sebelah mata dan mengintip jam weker.
Namun, seketika perhatiannya teralihkan oleh handphone yang berkedip. Ia mengambilnya, lalu menemukan bahwa ternyata Rama telah membalas pesan WhatsApp-nya. Saat itu pula, Sinta tiba-tiba beranjak dari kamarnya dan lekas bersiap untuk berangkat ke sekolah.
Hal tersebut sebetulnya tidak mengherankan. Diam-diam, selama ini Rama adalah tambatan hati Sinta. Ia mengidolakan Rama karena Rama adalah anak yang ramah, sopan, dan berprestasi di sekolah.
Meski masih duduk di bangku kelas 10 SMA, Sinta sudah mulai belajar berdandan. Meski begitu, dandanan yang ia kenakan tidak berlebihan dan lebih berlandaskan menjaga kesehatan wajah saja. Jadi, salah satu persiapannya ke sekolah adalah dengan mengaplikasikan lip gloss ke bibirnya.
Namun, pagi itu, ia tidak dapat menemukan cermin kecil yang biasa ia gunakan untuk berdandan. Ia pun terus mencari hingga akhirnya berpapasan dengan ibunya yang sedang sibuk di dapur.
"Ma…, Mama liat cermin bedak Sinta gak?" tanya Sinta.
"Gak, Sinta. Ini sudah terlalu siang, lho! Kenapa kamu belum berangkat juga, nanti telat?" balas ibunya.
"Iya, Ma, tapi kan Sinta belum pake lip gloss."
"Pakai cermin di lemari kamu aja, Sin," ujar mamanya.
"Gak bisa, Ma. Gak kelihatan, mesti deket," balas Sinta sambil mengeluh.
"Ya udah, pakai cermin bedak mama aja. Kamu ambil sendiri di kamar mama, di meja rias."
Komplikasi:
Sinta lantas beranjak ke kamar ibunya dan segera menghampiri meja rias. Saat menghampiri, Sinta melihat deretan peralatan makeup. Namun, ia tidak menemukan cermin bedak kepunyaan ibunya.
Ia akhirnya mencoba mencarinya di laci meja itu. Ia menemukan cermin kecil yang agak kusam dan tampak terlihat sudah berumur. "Nah, ini aja deh, bisa," gumamnya dalam hati.
Namun, ketika ia bercermin, bukan wajahnya yang tampak. Sinta sontak kaget dan membalikkan cermin itu ke atas meja. Jantungnya berdebar kencang dan sedikit napasnya berpacu tak terkendali.
"Mungkin cuma salah lihat," ia menenangkan pikirannya. Tak lama dengan sedikit keraguan, ia membalikkan cermin itu lagi.
Kali ini, ia benar-benar memfokuskan pandangannya pada cermin. Namun, ternyata sekali lagi, ia melihat sosok lain yang berada di cermin itu. Seorang pria dengan wajah muram dengan alis tebal dan berpenampilan sedikit sangar.
Sinta mengenali sosok itu. Ia adalah teman sekolahnya, pria yang justru kebalikan dari Rama. Ia kurang menyukai sosok pria itu karena pendiam dan selalu menyorotkan pandangan tidak ramah pada siapa pun. Ia adalah Rahwana.
Resolusi:
"Sin, Sinta! Kamu kenapa, sayang?" terdengar suara ibunya mendekat. Wajar saja jika ibunya khawatir karena bunyi cermin yang tadi dihentakkan Sinta ke meja cukup keras. Ibunya lantas melihat Sinta yang sedang bercermin dengan wajah ketakutan dan penasaran.
"Kok, pakai cermin itu Sin?" tanya ibunya.
Sinta masih tidak bergerak dan belum menghiraukan pertanyaan ibunya. "Oh, kamu bisa lihat juga, ya? Kamu lihat siapa, Sin?"
Kali ini Sinta membalasnya, "Lho, Mama tahu? Sinta lihat Rahwana, teman sekolah," balas Sinta makin keheranan.
"Oh, ternyata kamu udah kenal, ya? Ya, baguslah," balas ibunya.
"Hah? Maksudnya gimana, Ma?" jawab Sinta sambil menyipitkan matanya.
"Cermin itu pusaka keluarga kita, Sin. Nenek kamu menyebutnya cermin jodoh," balas ibunya sambil tertawa kecil.
"Hah? Sejak kapan kita punya beginian Ma? Lagian, gak mungkin Rahwana. Sinta gak suka sama dia, malah agak kekih," jawabnya.
"Namanya jodoh, siapa yang tahu Sin?"
"Gak, ah! Gak mau!" tegas Sinta.
"Ah, lagian kamu masih SMA. Mana tahu soal gituan? Masih belum umur!" balas mamanya.
"Ih, tapi ga mungkin! Rahwana itu orangnya jutek banget, diajak ngobrol juga susah, mana kasar lagi! Gak ada lembut-lembutnya ke cewek, Ma," balas Sinta.
"Kamu kenal sama dia, Sin? Maksudnya, bener-bener tahu isi hati sama sifatnya gimana?"
"Boro-boro, diajak ngobrol aja susah," jawab Sinta.
"Ya, sudah kalau begitu. Jangan menilai seseorang dari sikapnya saja! Belum tentu seseorang yang sikapnya dingin seperti itu, memiliki hati yang buruk."
Sinta lalu tertegun sejenak merenungkan perkataan ibunya tersebut. Namun, tak lama ia kembali sadar bahwa persoalan pokok kali ini bukanlah soal Rahwana apalagi jodohnya.
"Lho, tapi kok Mama punya cermin gini sih? Ini beneran? Ga ada layarnya, kan?" tanya Sinta sambil meraba-raba bagian belakang cermin itu.
"Itu belum seberapa, Sin. Masih banyak pusaka lain yang kamu bakal lebih kaget lihatnya," balas ibunya sambil mengedipkan matanya.