Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sejarah Lonceng Gereja, Begini Awal Mulanya!

Ilustrasi lonceng gereja (pexels.com/Stijn Dijkstra)

Setiap gereja memiliki lonceng yang dibunyikan setiap momen tertentu. Ternyata sejak zaman duhulu benda yang umumnya terbuat dari logam itu memang sudah menjadi bagian dari banyak upacara keagamaan. Lonceng ini sudah mulai umum digunakan di Eropa selama Abad Pertengahan, dan Gereja Ortodoks Timur mempunyai sejarah panjang dalam menggunakan lonceng dalam kebaktian. Gereja Ortodoks Rusia juga memiliki sejarah dalam membunyikan lonceng.

Lalu bagaimana awal mula atau sejarah lonceng gereja? Mengapa sampai sekarang masih digunakan oleh banyak gereja di dunia? Yuk, simak ceritanya sampai tuntas di bawah ini.

1. Sebagai alat komunikasi antara pendeta dan jemaat

ilustrasi genta atau (pixabay.com/lonceng besar yang dipasang di menara gereja)

Melansir laman History of Bells, sejak diperkenalkan dalam budaya kita sekitar 3 hingga 4 ribu tahun yang lalu, lonceng telah menjadi bagian penting dari agama dan upacara keagamaan di seluruh dunia. Kemampuannya untuk membawa informasi melintasi jarak yang jauh dianggap sebagai alat komunikasi yang sangat baik antara pendeta dan jemaat kala itu.

Oleh karenanya, banyak sekali jenis lonceng yang dibuat selama ribuan tahun. Mulai dari lonceng kecil atau untuk pribadi hingga lonceng besar yang digantung di menara gereja.

Setelah diciptakan lonceng logam pertama di zaman Tiongkok Kuno, lonceng semakin banyak digunakan dalam upacara keagamaan. Tradisi tersebut diteruskan ke agama Hindu dan Buddha di mana lonceng diterima serta diintegrasikan secara erat ke dalam upacara mereka.

Di kuil-kuil Hindu, lonceng ditempatkan di pintu masuk bangunan, atau di atas pintu menuju tempat suci bagian dalam. Para penyembah membunyikan lonceng tersebut sebagai bagian dari doa mereka yang ingin mencapai dewanya.

2. Sebagai representasi persembahan dalam agama Buddha

Ilustrasi lonceng gereja (Pexels.com/Strange Happenings)

Dalam agama Buddha, lonceng dianggap sebagai representasi persembahan kepada Buddha dan Bodhisattva yang bertujuan untuk mengumpulkan karma positif. Suara lonceng juga dianggap sebagai representasi kebijaksanaan, kedamaian, kesabaran, dan penyembuhan dari kebingungan.

Di Jepang, lonceng Buddha adalah bagian integral dari semua kuil mereka, terkadang membutuhkan tenaga 20 biksu untuk mengoperasikannya. Pasalnya, satu lonceng perunggu yang besar mencapai berat 30 ton dan dapat dibunyikan dari jarak 48 kilometer.

Kekristenan bersentuhan dengan lonceng terakhir kali di kehidupan zaman Mesir Kuno. Lonceng mereka digunakan dalam upacara merayakan dewa Osiris, tetapi biasanya dibuat menyerupai gong datar.

3. Lonceng kembali digunakan setelah Kekaisaran Romawi runtuh

Ilustrasi lonceng gereja (pexels.com/Stijn Dijkstra)

Setelah Kekaisaran Romawi runtuh, tradisi penggunaan lonceng dalam agama muncul kembali dalam agama Kristen Eropa. Di sana, pengetahuan tentang lonceng diciptakan di Italia. Di bawah kepemimpinan Uskup Nola, Palanius, lonceng masuk ke dalam upacara-upacara Kristen dan menyebar ke seluruh negeri.

Hal ini mendapatkan popularitas, karena tidak hanya mampu mengumpulkan umat untuk upacara keagamaan, tetapi juga sebagai alarm di saat bahaya. Selama beberapa abad berikutnya, para biarawan Kristen di Italia membawa pengetahuan tentang lonceng ke seluruh benua Eropa. Pengakuan resmi lonceng dalam upacara Kristen terjadi pada tahun 604 oleh Paus Sabinian yang kemudian melakukan upacara pemberkatan.

Lonceng mencapai Inggris di tahun 650-750, hingga akhirnya dipopulerkan oleh upacara Santo Bede. Dia memperkenalkan dering lonceng di pemakaman. Berikutnya pada abad Renaisans, lonceng di gereja-gereja Kristen di seluruh Eropa mulai menjadi lebih besar dan lebih keras. Dalam perkembangannya, gereja-gereja membuat menara dan lonceng besar yang dihiasi dengan desain yang rumit.

Itulah tadi sejarah lonceng gereja yang perlu kamu tahu. Ternyata sudah digunakan sejak zaman dahulu dan masih eksis sampai sekarang. Semoga informasi ini memberi wawasan baru, ya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima
Stella Azasya
3+
Pinka Wima
EditorPinka Wima
Follow Us