Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Awas! 4 Tanda Tiger Parenting Diam-diam Sudah Bikin Anak Depresi

ilustrasi remaja kurang semangat
ilustrasi remaja kurang semangat (unsplash.com/gaspar zaldo)
Intinya sih...
  • Tuntutan yang tak kenal lelah menciptakan kondisi waspada terus-menerus, menguras energi fisik dan mental anak.
  • Pola asuh tiger parenting menanamkan pesan bahwa nilai anak setara dengan prestasi.
  • Waktu bermain direnggut demi jam belajar tambahan, menyebabkan keterampilan sosial anak tumpul dan canggung.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Melihat anak tumbuh sukses dan berprestasi adalah impian setiap orang tua di dunia. Berbagai cara pun ditempuh untuk memastikan masa depan cerah tersebut, salah satunya lewat pola asuh yang sangat disiplin. Namun, niat baik yang dieksekusi dengan cara yang terlalu keras justru bisa menjadi bumerang yang melukai anak.

Pola asuh ‘macan’ atau tiger parenting adalah contohnya; gaya ini menuntut kepatuhan mutlak dan keunggulan akademis di atas segalanya. Dilansir University of California, anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua otoriter menunjukkan hasil maladaptif, seperti depresi, kecemasan, dan keterampilan sosial yang buruk. Dampaknya ternyata jauh lebih dalam dari sekadar perasaan tertekan sesaat, bahkan bisa mengubah kondisi biologis tubuh, lho. Mari kita bedah satu per satu luka tak kasat mata yang bisa ditimbulkannya.

1. Hormon stres meroket, tubuh ikut menderita

ilustrasi anak stres berat
ilustrasi anak stres berat (unsplash.com/Katie Gerrard)

Tekanan tanpa henti untuk selalu menjadi nomor satu ternyata bukan hanya soal perasaan, tetapi juga meninggalkan jejak nyata pada tubuh anak. Tuntutan yang tak kenal lelah menciptakan kondisi waspada terus-menerus, seolah-olah anak sedang berada dalam mode ‘bertahan hidup’. Kondisi ini secara perlahan menguras energi fisik dan mental mereka setiap hari.

Secara ilmiah, stres kronis ini memicu tubuh untuk memproduksi kortisol—hormon stres—secara berlebihan. Sebuah penelitian lintas budaya bahkan menunjukkan bahwa kontrol psikologis dari orang tua secara signifikan berhubungan dengan tingkat kortisol yang lebih tinggi pada anak. Ini membuktikan bahwa tekanan mental dari orang tua benar-benar memberikan dampak fisiologis yang terukur.

Dalam jangka panjang, kadar kortisol yang tinggi secara konsisten tentu tidak baik untuk kesehatan; hal ini dapat mengganggu pola tidur, melemahkan sistem imun, dan memicu berbagai masalah kesehatan lainnya di kemudian hari. Jadi, di balik ambisi mencetak anak jenius, ada risiko kesehatan fisik yang diam-diam mengintai. Ironis, bukan?

2. Kepercayaan diri rapuh dan selalu butuh validasi

ilustrasi anak sedih
ilustrasi anak sedih (pexels.com/Mikhail Nilov)

Dalam pola asuh ‘macan’, cinta dan penerimaan orang tua sering kali terasa bersyarat; pujian dan kasih sayang baru diberikan ketika anak berhasil meraih prestasi gemilang. Hal ini menanamkan pesan berbahaya di benak anak: bahwa nilai mereka sebagai manusia setara dengan piala atau angka di rapor. Hubungan yang seharusnya tulus pun berubah menjadi layaknya sebuah transaksi.

Akibatnya, anak tidak pernah membangun fondasi harga diri yang kokoh dari dalam. Rasa percaya diri mereka menjadi sangat rapuh dan bergantung sepenuhnya pada pencapaian eksternal serta pujian dari orang lain. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka hanya berharga jika berhasil memenuhi ekspektasi yang ada.

Kondisi ini akan terus terbawa hingga dewasa, membuat mereka menjadi pribadi yang haus akan validasi. Mereka mungkin kesulitan mengambil keputusan tanpa persetujuan orang lain atau bahkan tanpa sadar mencari pasangan yang mereplikasi dinamika penuh tuntutan seperti di masa kecilnya. Mereka sukses, tetapi tidak pernah merasa cukup.

3. Keterampilan sosial tumpul dan canggung

ilustrasi anak sedih
ilustrasi anak sedih (pexels.com/Jordane Maldaner)

Salah satu ‘biaya’ terbesar dari tiger parenting adalah waktu bermain dan bersosialisasi yang direnggut demi jam belajar tambahan. Interaksi dengan teman sebaya sering dianggap sebagai gangguan yang tidak produktif dan harus diminimalkan. Padahal, momen-momen inilah yang sejatinya membentuk kecerdasan sosial seorang anak.

Dunia bermain adalah ‘laboratorium’ pertama bagi anak untuk belajar bernegosiasi, berempati, menyelesaikan konflik, dan memahami dinamika pertemanan. Ketika kesempatan ini dihilangkan, mereka kehilangan momen krusial untuk mengasah keterampilan interpersonal. Mereka mungkin pintar matematika, tetapi gagap saat harus bekerja dalam sebuah tim.

Nah, dampaknya adalah mereka bisa tumbuh menjadi individu yang canggung secara sosial atau socially inept. Mereka mungkin merasa kesulitan untuk memulai percakapan, membaca situasi sosial, atau membangun hubungan pertemanan yang mendalam. Prestasi akademis yang cemerlang terasa hampa ketika mereka merasa kesepian dan terasing.

4. Hilangnya keaslian diri dan inisiatif pribadi

ilustrasi anak sedih mendengar kedua orangtuanya
ilustrasi anak sedih mendengar kedua orangtuanya (pexels.com/Monstera Production)

Orang tua ‘macan’ cenderung menjadi arsitek utama bagi kehidupan anak-anaknya, mengatur segalanya mulai dari jadwal les hingga pilihan karier di masa depan. Impian dan aspirasi anak sering kali dikesampingkan demi memenuhi skenario ideal versi orang tua. Tidak ada ruang bagi anak untuk sekadar mencoba-coba atau bahkan membuat kesalahan.

Kontrol yang berlebihan ini secara efektif mematikan api kreativitas, rasa ingin tahu, dan inisiatif pribadi anak. Mereka terbiasa hanya mengikuti perintah dan tidak pernah belajar untuk mendengarkan suara hati atau mempercayai penilaian mereka sendiri. Mereka dilatih untuk menjadi eksekutor yang andal, bukan seorang inovator yang berani.

Pola asuh ini bisa melahirkan orang dewasa yang mungkin terlihat sukses di permukaan, tetapi merasa hampa dan kehilangan arah di dalam. Mereka menjalani hidup yang seolah bukan milik mereka, terjebak dalam jalur yang telah digariskan sejak kecil. Mereka mungkin punya segalanya, kecuali kebahagiaan yang datang dari menjadi diri sendiri.

Mengejar kesuksesan untuk anak adalah hal yang mulia, tetapi jangan sampai mengorbankan kesejahteraan mental dan kebahagiaan mereka. Keseimbangan antara dukungan, disiplin, dan cinta tanpa syarat adalah kunci untuk membesarkan generasi yang tangguh luar-dalam. Pada akhirnya, kesuksesan sejati bukan hanya soal nilai, kan?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us

Latest in Life

See More

7 Ide Storage Dapur Tertutup yang Bikin Rumah Auto Rapi dan Estetik

08 Sep 2025, 23:32 WIBLife