Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kepribadian yang Terbentuk Akibat Pola Asuh Tidak Konsisten

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Liza Summer)

Pola asuh orangtua memainkan peran penting dalam membentuk kepribadian anak. Ketika pola asuh tidak konsisten—entah karena suasana hati orangtua yang berubah-ubah, aturan yang tidak jelas, atau harapan yang tidak realistis—anak-anak sering kali tumbuh dengan pola pikir dan karakter yang kompleks.

Berikut adalah lima kepribadian yang sering terbentuk akibat pola asuh tidak konsisten. Yuk, kita refleksikan, mungkin kamu pernah mengalaminya atau bahkan sedang dalam fase ini.

1. Si penghindar konflik, takut mengecewakan

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Artem Podrez)

Anak yang tumbuh dalam lingkungan di mana aturan terus berubah dan tidak ada kepastian cenderung menghindari konflik. Mereka takut melakukan kesalahan karena merasa apa pun yang mereka lakukan tidak pernah cukup benar. Ketakutan ini sering kali membuat mereka lebih memilih diam atau menyesuaikan diri, meskipun itu merugikan diri sendiri.

Ketika dewasa, kepribadian ini bisa menjadi tantangan besar. Kamu mungkin sulit berkata “tidak” atau merasa cemas ketika harus menyampaikan pendapat. Tapi ingat, keberanian untuk jujur terhadap perasaanmu adalah langkah awal untuk keluar dari siklus ini.

2. Si perfeksionis, mengejar pengakuan yang tak pernah ada

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Tran Trung)

Orangtua yang memberikan perhatian hanya saat anak mencapai sesuatu membuat anak merasa dicintai karena hasil, bukan usaha. Ini membentuk kepribadian perfeksionis, di mana seseorang terus-menerus berusaha menjadi yang terbaik agar mendapatkan validasi.

Sayangnya, hidup dengan standar yang terlalu tinggi sering kali melelahkan. Kalau kamu merasa berada di titik ini, cobalah untuk lebih menerima diri sendiri. Kamu tidak perlu selalu sempurna untuk berharga di mata orang lain—terutama dirimu sendiri.

3. Si pemberontak, merasa tidak didengar

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/JESSICA TICOZZELLI)

Ketika pola asuh tidak konsisten melibatkan otoritas yang berlebihan tanpa komunikasi, anak-anak mungkin tumbuh menjadi pemberontak. Mereka merasa tidak ada gunanya mematuhi aturan karena aturan itu sendiri sering kali tidak adil atau berubah-ubah.

Sebagai orang dewasa, kamu mungkin sering merasa sulit mempercayai figur otoritas atau sulit berkomitmen pada aturan. Tapi penting untuk diingat, pemberontakan yang sehat adalah mencari solusi, bukan sekadar melawan. Gunakan energimu untuk membangun komunikasi yang lebih baik dengan orang-orang di sekitarmu.

4. Si tidak percaya diri, hidup dengan keraguan

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Martin Péchy)

Anak yang tumbuh dengan pesan-pesan campur aduk dari orangtua sering kali merasa tidak cukup baik. Ketika pujian dan kritik datang tanpa pola yang jelas, mereka jadi bingung menilai diri sendiri. Akibatnya, rasa percaya diri mereka cenderung rendah, dan mereka ragu mengambil keputusan.

Jika kamu merasa ini adalah bagian dari dirimu, sadari bahwa tidak apa-apa membuat kesalahan. Keberanian untuk mencoba adalah langkah awal membangun kepercayaan diri. Ingat, kepercayaan dirimu tumbuh dari dirimu sendiri, bukan dari validasi orang lain.

5. Si pleaser, selalu berusaha membahagiakan orang lain

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/cottonbro studio)

Ketika anak merasa hanya dihargai saat memenuhi keinginan orangtua, mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang sulit menolak permintaan. Mereka merasa kebahagiaan orang lain adalah tanggung jawab mereka.

Namun, menjadi "pleaser" sering kali membuat kamu mengorbankan kebahagiaan pribadi. Cobalah untuk sesekali berkata “tidak” dan prioritaskan dirimu. Kamu juga pantas bahagia tanpa harus selalu memikul beban orang lain.

Pola asuh tidak konsisten memang bisa meninggalkan bekas yang mendalam pada kepribadian seseorang. Tapi, penting untuk diingat bahwa masa lalu tidak selalu menentukan masa depan. Setiap orang punya kesempatan untuk berubah dan memperbaiki diri. Jadilah versi terbaik dari dirimu, bukan untuk orang lain, tapi untuk kebahagiaan dan kedamaian sendiri. Mari kita belajar untuk memaafkan masa lalu dan melangkah ke depan dengan keberanian.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Afifah
EditorAfifah
Follow Us