Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Mitos tentang Parental Burnout, Cek Faktanya!

ilustrasi ibu mengalami burnout (pexels.com/Ketut Subiyanto)
Intinya sih...
  • Parental burnout adalah kondisi kelelahan fisik dan emosi pada orang tua, bukan hanya pada orang tua dengan anak kecil, tetapi juga pada orang tua dengan anak remaja dan dewasa muda.
  • Burnout sering dialami oleh orang tua yang perfeksionis dan terlalu menuntut diri, membuat mereka merasa bersalah saat lelah atau frustrasi. Meminta bantuan adalah bentuk kekuatan, bukan kegagalan.
  • Me time dan liburan singkat penting, tapi pemulihan dari burnout membutuhkan waktu dan strategi yang lebih dari sekadar itu. Membangun sistem rumah tangga yang baik serta meminta bantuan profesional bisa membantu mengatasi burnout.

Parental burnout adalah kondisi di mana orang tua merasa kelelahan, baik secara fisik maupun psikis. Tak hanya lelah, tetapi emosi juga ikut terkuras dan merasa ia tidak cukup baik sebagai orang tua. Sayangnya, masih banyak orang yang belum memahami apa itu parental burnout dengan benar, apalagi mengakui bahwa itu adalah hal yang nyata dan wajar terjadi.

Lebih parahnya lagi, ada banyak mitos yang beredar di masyarakat yang membuat orang tua merasa bersalah atas rasa lelah yang mereka alami. Mitos-mitos ini bisa menghalangi orang tua untuk mencari bantuan atau memberi ruang dirinya sendiri untuk sembuh. Berikut ini enam mitos tentang parental burnout yang wajib kamu tahu supaya kamu bisa lebih jujur pada diri sendiri dan lebih empati pada sesama orang tua. Yuk, simak!

1. Parental burnout hanya terjadi pada orang tua dengan anak bayi atau balita

ilustrasi seorang ibu mengalami burnout (pexels.com/Keira Burton)

Mitos paling umum mengenai parental burnout adalah burnout hanya terjadi pada orang tua dengan anak bayi atau balita. Meskipun masa-masa awal mengasuh anak memang sangatlah berat, faktanya burnout bisa terjadi pada orang tua dengan anak usia berapa pun, termasuk anak yang sudah memasuki usia remaja dan dewasa muda, lho. Tekanan, konflik, dan ekspektasi bisa muncul di berbagai fase parenting, bukan hanya di awal-awal saja.

Anak yang beranjak dewasa bawa tantangan yang berbeda untuk orang tua, mulai dari urusan sekolah, pergaulan, teknologi, hingga kesehatan fisik maupun psikis anak itu sendiri. Tekanan sebagai orang tua bisa berubah bentuk, namun tetap terasa berat bila tidak ada ruang untuk beristirahat dan mendapat dukungan. Oleh karena itu, sadari bahwa parental burnout bisa terjadi dalam berbagai tahap kehidupan anak, bukan hanya saat mereka masih kecil dan lucu.

2. Parental burnout hanya dialami oleh orang tua yang tidak kompeten

ilustrasi seorang ibu mengasuh tiga anak (pexels.com/Gustavo Fring)

Sebagian besar orang mengira bahwa burnout hanya dialami oleh orang tua yang tidak mampu mengurus anak dengan baik, kurang terorganisir, atau tidak "pantas" menjadi orang tua. Padahal kenyataannya, burnout justru lebih sering dialami oleh orang tua yang sangat peduli, perfeksionis, dan terus-terusan menuntut diri untuk menjadi orang tua yang ideal. Tekanan internal untuk selalu sempurna sebagai orang tua bisa buat seseorang mengabaikan batas kemampuan dirinya.

Orang tua yang sangat bertanggung jawab dan mencintai anak-anaknya sering merasa bersalah saat merasa lelah atau frustrasi. Mereka memendam rasa tidak nyaman itu sendirian karena takut dianggap gagal. Padahal, burnout bukan sekadar soal kurang kompeten, tapi burnout itu terjadi karena beban yang terlalu berat untuk ditanggung tanpa dukungan.

3. Orang tua harus selalu kuat dan tidak boleh minta bantuan

ilustrasi seorang ibu kelelahan (pexels.com/Yan Krukau)

Budaya kita sering mengagungkan sosok orang tua tangguh yang bisa mengurus semuanya tanpa mengeluh. Akibatnya, banyak orang tua merasa malu untuk minta bantuan, bahkan ketika mereka benar-benar kewalahan. Mereka merasa kalau butuh bantuan berarti mereka gagal menjalankan perannya sebagai orang tua.

Kenyataannya, meminta bantuan adalah bentuk kekuatan. Tidak ada orang tua yang bisa melakukan semuanya sendirian. Baik itu bantuan dari pasangan, keluarga, teman, bahkan bantuan profesional seperti psikolog. Semua itu bisa sangat membantu untuk meringankan beban. 

4. Burnout bisa diatasi hanya dengan me time atau liburan singkat

ilustrasi seorang ibu mengalami burnout (pexels.com/Valeria Ushakova)

Me time dan liburan singkat memang penting, tapi parental burnout tidak bisa selesai hanya dengan satu kali jalan-jalan atau spa. Burnout terjadi karena tekanan yang berulang, minimnya dukungan, dan ketidakseimbangan antara memberi dan menerima. Artinya, pemulihan butuh waktu dan strategi yang lebih dari sekadar me time atau liburan.

Burnout ini bisa diatasi dengan mulai membangun sistem yang baik di rumah, seperti berbagi peran dengan pasangan, menetapkan batasan, menjaga koneksi sosial, dan berkonsultasi dengan profesional jika diperlukan. Burnout itu bukan masalah sepele, jadi solusinya pun perlu lebih dari sekadar kabur sebentar dari rumah.

5. Parental burnout hanya dialami oleh ibu rumah tangga

ilustrasi seorang ayah mengalami burnout (pexels.com/Andrew Neel)

Parental burnout sering dikaitkan dengan ibu rumah tangga karena mereka biasanya lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anak di rumah. Tapi faktanya, parental burnout bisa dialami siapa saja, lho. Ibu, ayah, single parent, orang tua yang bekerja, bahkan orang tua yang punya pengasuh sekalipun bisa mengalami parental burnout. Semua orang tua memiliki tekanan sendiri-sendiri dalam menjalankan perannya.

Ayah pun bisa mengalami burnout, meskipun sering tidak terlihat karena norma sosial yang mengajarkan laki-laki untuk tidak terlalu menunjukkan emosi. Maka dari itu, sangat penting untuk membuka ruang diskusi tentang kelelahan yang dialami orang tua tanpa terkecuali, tanpa mengkotak-kotakkan siapa yang lebih berhak merasa lelah. 

6. Burnout adalah tanda kamu bukan orang tua yang baik

ilustrasi keluarga (pexels.com/Alina Matveycheva)

Ini adalah mitos yang sering membuat orang tua hancur. Faktanya, burnout adalah sinyal dari tubuh dan pikiran bahwa orang tua sudah melewati batas kemampuannya. Itu bukan tanda kegagalan, tapi sinyal bahwa orang tua juga butuh bantuan, istirahat, dan perubahan dalam sistem yang selama ini dijalani.

Orang tua yang baik bukanlah orang tua yang kuat terus-terusan tanpa henti, tapi orang tua yang peka terhadap batas dirinya, berani mengakui rasa lelah yang dirasakan, dan tahu kapan harus minta pertolongan.

Merasa lelah bukan berarti kamu kurang bersyukur atau tidak cukup baik sebagai orang tua, ya. Yuk, mulai lebih terbuka terhadap perasaan sendiri dan lebih empati pada sesama, karena menjadi orang tua memang gak mudah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us