Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Tips Parenting ala Shahnaz Haque, Ajarkan Pendidikan dan Empati!

Bayu Oktara dan Shahnaz Haque berbincang dalam acara Bincang Inspiratif Tanoto Foundation (Dok. Tanoto Foundation)
Bayu Oktara dan Shahnaz Haque berbincang dalam acara Bincang Inspiratif Tanoto Foundation (Dok. Tanoto Foundation)

Pendidikan bukan hanya soal mengajar anak untuk membaca, menulis, atau berhitung, tetapi juga tentang bagaimana mengasah kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan empati mereka. Dalam membentuk pribadi anak yang seimbang, orangtua pun memegang peranan yang sangat penting. Shahnaz Haque, mengemukakan harapannya dengan pemerintahan yang baru khususnya di bidang pendidikan.

“Kurikulum bisa berubah, namun yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita bisa membuat anak-anak Indonesia berpikir, bukan hanya berpikir dalam dua variabel. Anak-anak harus dilatih untuk berpikir dengan banyak cabang di dalam pikiran mereka, agar mereka mencintai pengetahuan. Tidak ada anak Indonesia yang tidak suka pengetahuan, betapa pun sulitnya,” sebut Shahnaz, dalam rilis yang diterima IDN Times.

1. Konsep pembelajaran yang diajarkan Shahnaz

ilustrasi anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Shahnaz juga memperkenalkan konsep pembelajaran yang melibatkan empat lingkaran atau yang dikenal dengan istilah quadruple loop learning process. Proses ini dimulai dengan single loop, di mana anak menyelesaikan masalah yang ada, kemudian berlanjut ke double loop, di mana anak belajar dari kegagalan dan tantangan.

Pada triple loop, anak mulai membuat perencanaan yang matang dan merumuskan solusi alternatif yang lebih efektif. Akhirnya, pada quadruple loop, anak tidak hanya belajar teori, tetapi dapat mengaplikasikan pembelajarannya dalam kehidupan nyata.

2. Tips membuat anak berpikir kritis

ilustrasi anak (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi anak (pexels.com/Pixabay)

Shahnaz yang juga istri dari Gilang Ramadhan, menekankan bahwa salah satu cara terbaik untuk mendidik anak agar berpikir kritis adalah dengan mengajak mereka untuk selalu bertanya dan menggali lebih dalam tentang apa yang mereka pelajari. Orangtua harus mendorong anak-anak untuk berpikir lebih luas dan tidak menghentikan rasa penasaran mereka.

Anak-anak juga perlu diberi ruang untuk bertanya, tanpa dibatasi oleh jawaban yang hanya berkisar pada ‘iya’ atau ‘tidak’, atau ‘benar’ dan ‘salah’. Anak-anak harus dibiarkan bertanya tentang hal-hal yang mereka ingin ketahui, dan bantu mereka mencari.

“Biarkan anak kita cerewet dan banyak pertanyaan, itu artinya cara berpikirnya hidup dan dia harus dilayani sejauh mungkin,” sambung Shahnaz.

Di saat seperti ini, biasanya orangtua menjawab anak seperlunya. Padahal, seharusnya orangtua menanggapi hingga rasa penasaran anak terjawab, karena sebenarnya mereka sedang berpikir kritis dengan pertanyaan-pertanyaannya.

3. Taksonomi bloom dan pengembangan pikiran anak

ilustrasi anak (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi anak (pexels.com/Pixabay)

Tidak hanya tentang pola pikir, Shahnaz juga menyoroti pentingnya keterampilan motorik tangan yang sering kali terabaikan di era digital ini. Dalam dunia yang semakin bergantung pada teknologi, seperti tablet atau laptop, banyak anak yang lebih fokus pada jempol mereka daripada pada kemampuan untuk menulis tangan. Shahnaz mengingatkan, bahwa menulis tangan memberikan kesempatan bagi anak untuk benar-benar memahami informasi yang mereka terima, tidak hanya sekadar menghafal.

"Anak-anak perlu kembali menulis tangan karena itu membantu mereka memahami apa yang mereka pelajari, bukan sekadar menghafal," ujar Shahnaz.

Hal ini berhubungan erat dengan teori Taxonomy of Bloom, yang mengidentifikasi enam level berpikir. Dimulai dari mengingat (menghafal informasi dasar), kemudian memahami (menerima dan menjelaskan informasi), menerapkan (menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah), menganalisis (memecah informasi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil), mengevaluasi (menilai informasi atau situasi untuk membuat keputusan), dan yang paling tinggi, menciptakan (menghasilkan ide atau produk baru).

Ini adalah langkah-langkah yang mendalam dalam pengembangan keterampilan berpikir anak. Shahnaz menambahkan, bahwa dalam dunia pendidikan banyak anak hanya dipandu untuk sampai pada level pertama atau kedua dalam Taksonomi Bloom.

"Banyak yang hanya menghafal tanpa memahami atau mengevaluasi," ungkapnya.

Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk mengajak anak-anak untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang akan membantu mereka tidak hanya memahami dunia, tetapi juga berinovasi dalam memecahkan masalah yang ada di sekitar mereka.

4. Peran guru dan orangtua dalam membangun karakter anak

ilustrasi anak (pexels.com/Pragyan Bezbaruah)
ilustrasi anak (pexels.com/Pragyan Bezbaruah)

Shahnaz mengingatkan bila dalam dunia pendidikan guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pendidik yang bertanggung jawab atas perkembangan siswa. Menurutnya, peran keluarga dan lingkungan juga sangat penting dalam mendidik anak, sebuah konsep yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu Tri Sentra Pendidikan yang menyebutkan bahwa pendidikan itu ada dalam tiga pilar: sekolah, rumah, dan lingkungan.

"Semua orang bisa menjadi guru, dan setiap tempat bisa menjadi sekolah. Ketika kita mengajar, kita juga belajar dari siswa," kata Shahnaz.

Dia menekankan bahwa peran orangtua dalam mendidik anak sangatlah penting, karena anak-anak adalah peniru yang sangat baik. Apa yang mereka lihat dan alami di rumah, akan sangat mempengaruhi perkembangan mereka.

Shahnaz juga mengingatkan bahwa anak-anak bukan hanya belajar dari apa yang kita katakan, tetapi dari apa yang kita lakukan. Orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak mereka, dan ini menjadi lebih relevan di dunia yang semakin terhubung dengan media sosial.

"Jika kita memberi contoh yang baik, mereka akan meniru, bukan hanya kata-kata kita, tetapi juga tindakan kita," tambahnya.

5. Mengaktifkan otak tengah dan kekuatan kepepet

ilustrasi anak (pexels.com/Julia M Cameron)
ilustrasi anak (pexels.com/Julia M Cameron)

Selain pentingnya mengaktifkan otak kiri (logika) dan otak kanan (kreativitas), Shahnaz juga membahas bagaimana otak tengah yang mengatur intuisi dan insting, yang dapat dilatih untuk mempersiapkan anak menghadapi tantangan hidup. Salah satu cara untuk melatih otak tengah ini adalah dengan membiarkan anak-anak menghadapi konsekuensi dari kelalaian mereka atau yang dikenal dengan istilah "Power of Kepepet", mendorong mereka untuk belajar dari kesalahan dan mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka.

"Jangan selalu melindungi anak dari setiap masalah yang mereka hadapi. Biarkan mereka belajar untuk menyelesaikan masalah sendiri. Dengan cara ini, anak-anak akan mengembangkan keterampilan emosional yang stabil, serta kemampuan untuk menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik," ucapnya.

6. Generasi alpha dan tantangan di masa depan

ilustrasi anak (pexels.com/Anna Shvets)
ilustrasi anak (pexels.com/Anna Shvets)

Di era digital, generasi Alpha telah mulai tumbuh dengan teknologi yang sangat canggih di tangan mereka. Shahnaz menyadari bahwa tantangan yang dihadapi oleh orangtua saat ini adalah bagaimana membuat anak-anak tetap terhubung dengan kemanusiaan mereka di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat. Shahnaz menekankan, bila meskipun teknologi dapat meningkatkan kecerdasan, itu tidak dapat menggantikan nilai-nilai kemanusiaan.

"Manusia bisa bersaing dalam kecerdasan dengan teknologi, tetapi teknologi tidak bisa menjadi manusia," jelas Shahnaz.

Oleh karena itu, orangtua harus memastikan bahwa anak-anak mereka tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga memiliki empati, perasaan, dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain secara manusiawi. Shahnaz juga mengajak orangtua untuk tidak terlalu khawatir jika anak-anak mereka menunjukkan kecenderungan ekstrover atau introver.

Ia menyarankan untuk membiarkan mereka menjadi diri mereka sendiri. Paling penting adalah memastikan bahwa anak-anak tumbuh dengan emosi yang stabil, yang akan membantu mereka menghadapi tantangan hidup di masa depan.

7. Membangun karakter anak lewat cinta dan empati

ilustrasi anak (pexels.com/Julia M Cameron)
ilustrasi anak (pexels.com/Julia M Cameron)

Pada akhirnya, Shahnaz mengingatkan bahwa semua ini tidak lepas dari cinta. Cinta adalah dasar dari segala hal yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang anak-anak dan bagaimana mendidik mereka dengan cara yang baik. Cinta akan membantu orangtua untuk memahami kebutuhan dan potensi anak, serta memberikan mereka ruang untuk berkembang dengan cara yang mereka butuhkan.

"Anak pintar memang mudah untuk dibimbing, tetapi anak jenius membutuhkan lebih banyak tantangan agar mereka bisa terus berkembang. Tantangan itu yang akan membawa mereka untuk selalu ingin tahu dan mencintai pengetahuan," tutup Shahnaz.

Pendidikan yang baik bukan hanya tentang memberikan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter anak untuk menjadi manusia yang baik, penuh empati, dan mampu menghadapi dunia dengan segala tantangannya. Ini adalah pekerjaan rumah bagi semua orangtua, guru, dan pihak yang terlibat dalam pendidikan anak-anak Indonesia, untuk memastikan bahwa generasi masa depan tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter kuat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Alma Salsabilla
EditorAlma Salsabilla
Follow Us