Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Kebiasaan Galak yang Dikira Mendidik, padahal Melukai Mental

Ilustrasi ibu dan anak (Pexels.com/Mikhail Nilov)
Ilustrasi ibu dan anak (Pexels.com/Mikhail Nilov)
Intinya sih...
  • Bentakan bukan cara efektif untuk mendidik anak, malah membuat mereka takut dan nutup diri.
  • Membandingkan anak dengan orang lain bisa merusak rasa percaya diri dan membuat mereka kehilangan semangat belajar.
  • Ancaman kepada anak dapat membuat mereka merasa tidak aman secara emosional dan tumbuh dengan rasa takut yang tidak mereka pahami.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di lingkungan sekitar, apalagi dalam budaya Asia, bersikap tegas bahkan galak ke anak sering dianggap sebagai bentuk kasih sayang dan cara mendidik yang ampuh. Banyak orangtua percaya bahwa dengan bersikap keras, anak bakal lebih cepat paham, lebih disiplin, dan gak manja. Tapi, gak semua bentuk “galak” itu efektif, lho. Bahkan, tanpa disadari, beberapa justru bisa melukai mental anak.

Mendidik anak memang gak mudah, tapi kalau yang diterapkan cuma marah, bentak, atau ancaman, dampaknya bisa panjang. Anak memang bisa terlihat nurut di luar, tapi dalamnya? Bisa jadi penuh ketakutan, minder, atau tumbuh dengan luka yang gak sembuh-sembuh sampai dewasa. Nah, biar gak salah langkah, berikut ini beberapa kebiasaan galak yang dikira mendidik, padahal malah bisa bikin anak luka secara emosional. Yuk, cek satu-satu!

1. Sering membentak saat anak melakukan kesalahan

Ilustrasi berkumpul bersama (Pexels.com/Agung Pandit Wiguna)
Ilustrasi berkumpul bersama (Pexels.com/Agung Pandit Wiguna)

Banyak orangtua yang refleks langsung bentak saat anak bikin salah, entah itu numpahin air, lupa ngerjain PR, atau berisik pas jam istirahat. Kesannya sih biar anak langsung ngerti dan gak mengulangi lagi. Tapi kenyataannya, bentakan bukan bikin anak lebih paham, malah bikin dia takut dan nutup diri. Anak jadi gak berani ngomong jujur, bahkan bisa mulai sembunyiin hal-hal penting dari orangtua.

Lama-lama, bentakan ini bisa ngikis rasa percaya diri mereka. Mereka jadi ngerasa gak cukup baik, gak pernah bisa benar di mata orangtua. Padahal, anak butuh bimbingan, bukan intimidasi. Bentakan mungkin bikin berefek “cepat diam” dalam jangka pendek, tapi dalam jangka panjang, bisa bikin hubungan kamu dan anak jadi jauh dan dingin.

2. Membandingkan anak dengan orang lain, apalagi sambil marah

Ilustrasi mengkritik anak (Pexels.com/Julia M Cameron)
Ilustrasi mengkritik anak (Pexels.com/Julia M Cameron)

Kalimat kayak, “Tuh lihat si A, nilainya bagus. Kamu kapan bisa kayak gitu?” sering banget diucapkan dengan nada tinggi saat orangtua kesal. Sekilas kelihatan kayak motivasi, padahal itu bentuk tekanan mental yang bisa nyakitin banget. Anak jadi ngerasa gak cukup, gak pernah bisa bikin bangga, dan mulai kehilangan rasa percaya diri.

Mereka mulai mikir, “Aku gak seberharga itu,” apalagi kalau dibandinginnya terus-menerus. Bukannya semangat, mereka malah jadi benci belajar atau malas berkembang karena udah insecure duluan. Mendidik bukan soal bikin anak jadi ‘lebih baik dari orang lain’, tapi soal bantu mereka berkembang jadi versi terbaik dirinya sendiri. Jadi, hati-hati banget dengan kebiasaan membandingkan, apalagi kalau dilakukan dalam kondisi emosi.

3. Mengancam anak agar nurut

Ilustrasi ibu dan anak (Pexels.com/Kamaji Ogino)
Ilustrasi ibu dan anak (Pexels.com/Kamaji Ogino)

“Kalau kamu gak nurut, Mama tinggal kamu!” atau “Gak mau makan? Ya udah, besok gak usah makan sekalian!” Kalimat-kalimat kayak gini kelihatannya sepele, tapi bisa bikin anak merasa gak aman secara emosional. Anak-anak itu masih belajar mengenali perasaan dan dunia sekitarnya, jadi ancaman bisa bikin mereka ngerasa ditinggalkan dan gak dicintai.

Anak yang sering diancam bisa tumbuh dengan rasa takut, dan sering merasa harus menyenangkan orang lain biar gak ditinggalkan. Mereka jadi takut ngungkapin pendapat, takut bilang tidak, dan tumbuh dengan kecemasan yang gak mereka pahami. Daripada ngancam, coba deh ajak ngobrol dengan cara yang tenang tapi tetap tegas. Anak-anak itu bisa diajak diskusi, kok, asal kita mau sabar.

4. Mengabaikan perasaan anak saat mereka menangis atau marah

Ilustrasi anak bersedih (Pexels.com/Kindel Media)
Ilustrasi anak bersedih (Pexels.com/Kindel Media)

Banyak orangtua yang bilang, “Udah, gak usah cengeng!” atau “Cowok gak boleh nangis!” setiap kali anak menunjukkan emosi. Padahal, menangis atau marah itu bagian dari cara anak belajar mengenali dan mengekspresikan perasaan. Kalau perasaan mereka terus diabaikan, lama-lama mereka tumbuh dengan pola pikir bahwa emosi itu salah dan harus disembunyikan. Anak jadi gak terbiasa mengekspresikan diri dengan sehat. Mereka bisa tumbuh jadi orang yang dingin, atau sebaliknya, meledak-ledak karena gak pernah diajarin cara ngelola emosi.

Orangtua yang bijak itu bukan yang bikin anaknya gak pernah nangis, tapi yang bisa menemani dan membantu mereka memahami emosi. Jadi, saat anak menangis atau marah, jangan buru-buru suruh mereka diam. Dengarkan dulu, lalu bantu mereka mengenali apa yang sedang mereka rasakan.

Menjadi orangtua memang gak ada sekolahnya, tapi bukan berarti kita bisa terus-terusan menerapkan pola asuh lama yang ternyata gak sehat. Ketahui kebiasaan galak yang dikira mendidik dan pahami bahwa galak gak selalu identik dengan mendidik. Kadang, justru kelembutan yang bisa membentuk karakter anak jadi lebih kuat dan sehat secara emosional. Jadi, yuk, mulai sadar dan perbaiki pola komunikasi kita ke anak. Karena luka batin masa kecil sering kali berakar dari niat yang baik tapi cara yang salah. Semoga kita bisa jadi orangtua yang bukan cuma bikin anak nurut, tapi juga bikin anak merasa aman, dicintai, dan tumbuh dengan mental yang sehat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us