"Setelah melewati masa tujuh tahun pertama, banyak pasangan bertahan karena fokus utama mereka adalah anak-anak. Namun ketika anak-anak tumbuh besar dan mulai mandiri, pasangan tidak lagi sibuk sebagai “ayah dan ibu.” Peran itu perlahan memudar, sehingga muncul ruang kosong dalam kehidupan mereka. Pada titik ini, sebagian orang mengalami krisis paruh baya: mereka sadar hidupnya masih panjang (sekitar 20 tahun lagi dengan kondisi sehat) dan muncul keinginan untuk “memulai kembali” dengan pasangan baru atau pengalaman baru," jelas Taibbi.
Mengatasi Kebosanan dan Menjaga Keharmonisan Keluarga

- Krisis paruh baya dan tantangan setelah anak-anak dewasaSetelah masa tujuh tahun pertama, banyak pasangan bertahan karena fokus utama mereka adalah anak-anak. Namun ketika anak-anak tumbuh besar, peran itu memudar.
- Hubungan butuh check-upHubungan juga perlu “check-up” layaknya tubuh manusia. Pasangan perlu secara berkala memeriksa kondisi hubungan mereka dan menyediakan waktu untuk melakukan percakapan yang jujur.
- Eksplorasi minat baru untuk menjaga koneksiPasangan perlu aktif mencari cara baru untuk menjaga hubungan tetap hidup, seperti menghidupkan kembali minat lama atau mencoba hal baru yang memberi semangat.
Meskipun perubahan terus berkembang seiring waktu, ada titik kritis perkembangan yang dapat diprediksi. Dilansir laman Psychology Today, Bob Taibbi, seorang penulis yang sudah menulis 13 buku menjelaskan, bahwa bagi banyak pasangan, hal ini terjadi sekitar usia tujuh tahun, ketika mereka menyadari bahwa kehidupan yang telah mereka bangun dengan aturan dan rutinitasnya tidak lagi cocok untuk mereka.
Alih-alih menerima tantangan untuk memperbaiki hubungan, justru terlalu banyak pasangan yang mengesampingkan hubungan mereka. Yuk, simak lebih lanjut tips untuk menjaga hubunganmu!
1. Krisis paruh baya dan tantangan setelah anak-anak dewasa

Ada juga pasangan yang bertahan sampai usia pensiun. Tetapi ketika anak-anak sudah mandiri dan pekerjaan tidak lagi menyita waktu, barulah mereka berhadapan satu sama lain tanpa “gangguan” rutinitas. Di sinilah sering muncul kesadaran pahit bahwa hubungan mereka tidak punya lagi banyak kesamaan atau ikatan yang kuat, sehingga kebersamaan terasa kosong.
2. Hubungan butuh check-up

Hubungan juga perlu “check-up” layaknya tubuh manusia. Sama seperti kita rutin ke dokter untuk memastikan kesehatan fisik, pasangan juga perlu secara berkala memeriksa kondisi hubungan mereka. "Apakah kedua belah pihak mendapatkan kebutuhan emosionalnya?", "Seberapa bahagia mereka secara keseluruhan?", "Apa yang harus diubah dalam rutinitas harian maupun waktu berkualitas agar hubungan lebih sehat?".
Tantangannya di sini biasanya bukan soal apa yang dikatakan, tetapi menyediakan waktu untuk melakukan percakapan itu. Selain itu, sering kali orang takut untuk jujur karena khawatir menyinggung atau menyakiti pasangan, sehingga akhirnya berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Diperlukan keberanian untuk berkata jujur, misalnya mengaku bosan, merasa jauh, atau ingin mencoba sesuatu yang baru.
3. Eksplorasi minat baru untuk menjaga koneksi

Ketika hubungan memasuki masa transisi, misalnya setelah anak-anak dewasa atau memasuki usia paruh baya, pasangan perlu aktif mencari cara baru untuk menjaga hubungan tetap hidup. Misalnya:
- Menghidupkan kembali minat lama (seperti olahraga, hiking, atau diskusi politik).
- Mencoba hal baru yang memberi semangat (kursus memasak, belajar menari, ikut kegiatan sosial, atau jadi sukarelawan).
Intinya bukan soal aktivitas apa yang dipilih, melainkan semangat untuk bereksplorasi bersama. Yang terpenting adalah keduanya bergerak menuju tujuan bersama, bukan hanya jalan sendiri-sendiri. Bahaya yang perlu dihindari adalah jika pasangan tidak melakukan apa-apa dan pasrah pada rutinitas, serta merasa satu-satunya solusi adalah kabur dari hubungan dan memulai yang baru.