Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

8 Sikap Orangtua yang Membuat Anak Merasa Bersalah Tanpa Sadar

ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)
ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)

Tanpa disadari, ada beberapa sikap orangtua yang membuat anak tumbuh dengan rasa bersalah berlebihan. Padahal, niat awalnya mungkin ingin mendidik atau menegur, tapi efeknya justru bisa menekan harga diri anak. Kalau terus berulang, mereka bisa tumbuh jadi pribadi yang takut mengecewakan dan sulit percaya diri.

Penting bagi orangtua untuk memahami bagaimana ucapan atau tindakan sederhana bisa membekas di hati anak. Dengan begitu, pola komunikasi bisa lebih sehat, dan anak belajar bertanggung jawab tanpa dihantui rasa bersalah. Berikut beberapa sikap orangtua yang membuat anak merasa bersalah tanpa sadar.

1. Menyalahkan anak secara langsung

ilustrasi anak dimarahi (pexels.com/lizasummer)
ilustrasi anak dimarahi (pexels.com/lizasummer)

Ketika anak berbuat salah, banyak orangtua refleks melontarkan kata-kata keras. Misalnya, “Kamu ceroboh banget!” atau “Kamu bikin masalah terus.” Kalimat seperti ini membuat anak merasa dirinya buruk, bukan hanya tindakannya.

Akan lebih sehat kalau orangtua memisahkan kesalahan dengan identitas anak. Katakan saja, “Vasnya jatuh, yuk kita hati-hati lain kali.” Seperti kata Keneisha Sinclair McBride, seorang Psikolog, dilansir HuffPost, penting untuk memisahkan anak dari tindakannya.

“Anak bisa saja berbuat sesuatu yang membuatmu kesal. Itu hanyalah tindakan, bukan identitas dirinya. Namun, saat orangtua mencampuradukkan keduanya, anak jadi merasa bersalah,” jelas Keneisha Sinclair.

2. Membuat anak jadi penyebab mood buruk

ilustrasi mama dan anak melakukan percakapan (pexels.com/rdne)
ilustrasi mama dan anak melakukan percakapan (pexels.com/rdne)

Anak cenderung merasa bertanggung jawab atas suasana hati orangtuanya. Saat melihat orangtua murung atau marah, mereka bisa mengira itu karena dirinya. Padahal, penyebab sebenarnya bisa dari pekerjaan atau masalah lain. Hal ini bikin anak merasa bersalah tanpa alasan jelas.

Mereka pun bisa tumbuh dengan perasaan takut membuat orangtua kecewa. Menurut Noel McDermott, seorang Psikoterapis, dilansir HuffPost, anak biasanya percaya bahwa merekalah penyebab orangtuanya kesal. Noel menyarankan agar orangtua mengakui perasaan mereka, tapi tetap meyakinkan anak bahwa emosi itu bukan karena mereka.

“Kadang kita melampiaskan stres ke anak meski kesalahan mereka sepele atau bahkan tanpa kesalahan.” Hal ini bisa menimbulkan rasa bersalah berlebihan,” kata Dr. Gene Beresin, profesor psikiatri Harvard Medical School, dilansir HuffPpost.

3. Bertengkar di depan anak

ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)
ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)

Pertengkaran orangtua yang terjadi di depan anak sering meninggalkan luka emosional. Mereka bisa berpikir konflik itu terjadi karena dirinya, apalagi kalau topiknya tentang kebutuhan anak. Akhirnya, rasa bersalah pun tumbuh meski mereka tidak punya kendali atas situasi.

Misalnya, saat orangtua berdebat soal biaya les, anak bisa merasa bersalah karena dianggap sumber masalah. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah dinamika antar orang dewasa. Itulah mengapa penting untuk menjaga agar perdebatan tidak berlangsung di hadapan anak.

4. Memberi label baik atau nakal

ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)
ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)

Ucapan sederhana seperti anak baik atau anak nakal terdengar sepele, tapi berdampak besar. Anak bisa merasa harga dirinya bergantung pada label yang ditempelkan orangtua. Kalau sering disebut nakal, mereka bisa kehilangan rasa percaya diri.

Sebaliknya, terlalu sering dilabeli anak baik membuat anak takut salah. Mereka jadi tertekan untuk selalu sempurna agar tidak mengecewakan. Dilansir HuffPost, Laura Linn Knight, pendidik parenting, mengingatkan, label seperti ini bisa menciptakan jalan pikiran anak yang terus-menerus menilai dirinya baik atau buruk.

5. Tidak memberi kesempatan memperbaiki kesalahan

ilustrasi memarahi anak (pexels.com/lizasummer)
ilustrasi memarahi anak (pexels.com/lizasummer)

Kesalahan adalah bagian alami dari pertumbuhan anak. Namun, jika orangtua hanya menghukum tanpa memberi kesempatan untuk memperbaikinya, rasa bersalah akan menumpuk. Anak pun tidak belajar cara bertanggung jawab dengan sehat.

Dengan memberi kesempatan untuk meminta maaf atau memperbaiki keadaan, anak bisa belajar nilai penting dari tanggung jawab. Mereka tahu bahwa setiap kesalahan bisa diperbaiki. Hal ini juga memperkuat hubungan emosional antara orangtua dan anak.

 

6. Mengabaikan perasaan anak

ilustrasi seorang ayah dan anak (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi seorang ayah dan anak (pexels.com/cottonbro)

Kadang, setelah konflik, orangtua lupa menanyakan bagaimana perasaan anak. Akibatnya, anak bingung dengan emosi yang muncul dan menyimpulkan bahwa semuanya salah dirinya. Ini bisa membuat rasa bersalah terus berdiam dalam hati mereka.

Mengajak anak berbicara terbuka bisa membantu mereka memahami dan mengelola perasaannya. Pertanyaan sederhana seperti, “Apa yang kamu rasakan?” bisa membuat anak merasa dihargai. Dari sini, mereka belajar bahwa rasa bersalah bisa dipahami, bukan ditekan.

7. Membandingkan dengan anak lain

ilustrasi anak dimarahi (pexels.com/gabbyk)
ilustrasi anak dimarahi (pexels.com/gabbyk)

Membandingkan anak dengan saudara atau teman sering dianggap memotivasi. Padahal, kalimat seperti, “Lihat, kakakmu bisa lebih rajin,” justru membuat anak merasa gagal. Mereka pun tumbuh dengan beban rasa bersalah karena tidak bisa memenuhi harapan.

Perbandingan ini mengikis rasa percaya diri anak secara perlahan. Mereka merasa tidak cukup hanya dengan menjadi diri sendiri. Sebaiknya, orangtua lebih fokus menghargai kelebihan unik anak tanpa harus menempatkannya dalam kompetisi.

8. Menggunakan tekanan emosional

ilustrasi memarahi anak (pexels.com/gabbyk)
ilustrasi memarahi anak (pexels.com/gabbyk)

Beberapa orangtua tanpa sadar menggunakan rasa bersalah sebagai alat kontrol. Misalnya dengan berkata, “Mama sudah banyak berkorban, masa kamu gak bisa nurut?” Kalimat ini membuat anak merasa utangnya terlalu besar pada orangtua. Tekanan emosional semacam ini bisa menumbuhkan anak yang takut mengecewakan dan sulit berkata tidak.

Dilansir HuffPost, Margaret Ward Martin, seorang terapis, menegaskan, rasa bersalah itu baik kalau muncul dari kesadaran diri anak. Namun, kalau orangtua memakainya sebagai alat untuk mengatur atau menekan anak, rasa bersalah itu justru berbalik merugikan. Jadi, lebih baik orangtua mengungkapkan kebutuhan tanpa membuat anak terbebani.

Membesarkan anak memang penuh tantangan, apalagi soal cara berkomunikasi. Dengan menyadari sikap-sikap di atas, orangtua bisa lebih berhati-hati agar tidak menanamkan rasa bersalah berlebihan. Anak pun bisa tumbuh jadi pribadi yang tangguh, percaya diri, dan punya hubungan sehat dengan orangtuanya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima Wima
EditorPinka Wima Wima
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Mekanisme Pertahanan Diri yang Sebenarnya Bentuk Insecurity, Punya?

10 Sep 2025, 14:16 WIBLife