Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

8 Kesalahan Pola Asuh yang Sering Bikin Anak Sulit Sukses di Masa Depan

ilustrasi mama dan anak melakukan percakapan (pexels.com/rdne)
ilustrasi mama dan anak melakukan percakapan (pexels.com/rdne)

Menjadi orangtua memang tidak ada sekolahnya, tapi pola asuh sangat berpengaruh pada masa depan anak. Setiap sikap, ucapan, hingga aturan yang diterapkan bisa membentuk cara berpikir dan karakter anak saat dewasa. Karena itu, penting banget untuk memahami pola asuh yang tepat agar anak bisa tumbuh percaya diri dan mandiri.

Sayangnya, masih banyak orangtua yang tanpa sadar melakukan kesalahan dalam mengasuh. Walau terlihat sepele, kesalahan ini bisa berdampak besar pada psikologis anak. Yuk, coba lihat beberapa kesalahan pola asuh berikut ini yang dapat mempersulit anak di masa depan.

1. Terlalu mengatur kehidupan anak

ilustrasi anak dan ibu saling marah (pexels.com/rdne)
ilustrasi anak dan ibu saling marah (pexels.com/rdne)

Ketika orangtua terlalu mengatur segala aspek kehidupan anak, mereka jadi sulit mengambil keputusan sendiri. Apalagi, jika kamu menjadi orangtua yang terlalu mengendalikan, memantau setiap pertemanan, mengikuti semua gerakan anak di luar rumah, atau hanya mengizinkan tontonan tertentu bisa menjadi sangat toxic.

“Sikap terlalu mengatur ini biasanya berawal dari rasa cemas atau tidak aman yang dirasakan orangtua sendiri. Namun, dampaknya justru berlawanan karena anak bisa menjauh atau memilih menyembunyikan sesuatu dari orangtuanya,” jelas Danielle Dellaquila, LMSW, terapis di Gateway to Solutions, dilansir Parents.

Anak hanya terbiasa mengikuti arahan tanpa belajar berpikir mandiri. Akibatnya, saat dewasa mereka bisa kebingungan menentukan jalan hidupnya. Membiarkan anak membuat keputusan kecil, seperti memilih baju atau hobi, sangat penting. Dari situ mereka belajar tanggung jawab atas pilihannya. Perlahan, anak pun tumbuh lebih percaya diri menghadapi tantangan.

2. Tidak pernah memberikan kebebasan mengekspresikan diri

ilustrasi memarahi anak (pexels.com/lizasummer)
ilustrasi memarahi anak (pexels.com/lizasummer)

Anak yang dilarang mengekspresikan diri sering kali takut menjadi dirinya sendiri. Mereka merasa harus selalu menyesuaikan diri dengan standar orangtua. Hal ini bisa membuat anak kehilangan jati diri di masa depan.

Memberikan ruang berekspresi membantu anak mengembangkan kreativitas. Orangtua bisa mendukung dengan mendengarkan ide atau minat mereka. Dengan begitu, anak tumbuh lebih berani menunjukkan keunikan dirinya.

3. Kurang memberikan apresiasi pada usaha anak

ilustrasi seorang ayah dan anak (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi seorang ayah dan anak (pexels.com/cottonbro)

Banyak orangtua hanya fokus pada hasil akhir, bukan pada proses. Padahal, menghargai usaha anak sangat penting untuk membangun semangatnya. Jika tidak diapresiasi, anak bisa kehilangan motivasi.

Memberi pujian sederhana saat anak berusaha sudah sangat berarti. Apresiasi juga membuat mereka lebih gigih meski menghadapi kegagalan. Anak pun belajar bahwa usaha sama berharganya dengan hasil.

4. Sering membandingkan anak dengan orang lain

ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)
ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)

Membandingkan anak dengan teman atau saudara bisa melukai hatinya. Anak merasa tidak cukup baik dan kehilangan rasa percaya diri. Dampaknya, mereka tumbuh dengan banyak keraguan dalam diri.

“Kesalahan terbesar yang sering dilakukan orangtua, meski penuh kasih, adalah tidak menyadari bahwa setiap anak memiliki tujuan dan jalan hidupnya sendiri,” ujar Dawn Friedman, MSEd, LPCC, konselor anak, dilansir Parents.

Setiap anak punya kelebihan dan waktunya masing-masing. Orangtua sebaiknya fokus mendukung perkembangan anak sesuai potensinya. Dengan begitu, anak merasa dihargai apa adanya.

5. Mengabaikan perasaan dan pendapat anak

ilustrasi mama dan anak melakukan percakapan (pexels.com/rdne)
ilustrasi mama dan anak melakukan percakapan (pexels.com/rdne)

Jika orangtua sering mengabaikan pendapat anak, mereka merasa tidak dianggap. Anak jadi takut bicara dan terbiasa memendam perasaan. Hal ini bisa memengaruhi hubungan mereka dengan orang lain di masa depan. Apalagi, menolak mengakui perasaan atau pengalaman anak, terutama ketika berbeda dengan pandangan orangtua, ini bisa sangat merusak anak.

Mendengarkan anak tanpa menghakimi adalah kunci penting. Meski sederhana, hal ini membuat mereka merasa dihargai. Anak yang terbiasa didengar akan lebih mudah membangun hubungan sehat dengan orang lain.

6. Terlalu protektif dan tidak membiarkan anak gagal

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/kindelmedia)
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/kindelmedia)

Orangtua yang terlalu protektif sering kali tidak membiarkan anak mencoba hal baru. Padahal, pengalaman gagal adalah bagian dari pembelajaran. Tanpa itu, anak sulit menjadi pribadi yang tangguh.

“Banyak orangtua berusaha keras agar anak tidak mengalami rasa tidak nyaman, cemas, atau kecewa sedikit pun. Akibatnya, saat dewasa dan menghadapi masalah hidup yang wajar, mereka merasa ada sesuatu yang salah,” jelas Paul Bohn, seorang Psikiater, dilansir Huff Post.

Membiarkan anak mengambil risiko kecil bisa melatih mentalnya. Orangtua bisa tetap mendampingi tanpa terlalu ikut campur. Dengan begitu, anak belajar bangkit setelah gagal.

7. Memberi hukuman yang tidak mendidik

ilustrasi anak dimarahi (pexels.com/gabbyk)
ilustrasi anak dimarahi (pexels.com/gabbyk)

Hukuman yang terlalu keras hanya meninggalkan trauma pada anak. Mereka tumbuh dengan rasa takut, bukan kesadaran untuk berubah. Cara ini membuat anak sulit terbuka pada orangtua.

Sebaliknya, disiplin yang mendidik justru lebih efektif. Misalnya, menjelaskan konsekuensi dari perbuatannya secara logis. Anak pun belajar memahami kesalahan dan memperbaikinya.

“Anak butuh konsistensi emosional untuk merasa aman dan mengembangkan keterampilan mengatasi stres. Jika mereka harus selalu waspada apakah orangtua akan marah atau menarik diri, itu membuat mereka tidak stabil,” kata Cynthia Edwards Hawver, PsyD, psikolog berlisensi, dilansir Parents.

8. Tidak menjadi teladan yang baik

ilustrasi anak yang menutup telinga (pexels.com/kindelmedia)
ilustrasi anak yang menutup telinga (pexels.com/kindelmedia)

Anak belajar lebih banyak dari apa yang dilihat daripada yang diajarkan. Jika orangtua tidak memberi contoh baik, anak bisa meniru perilaku buruk tanpa sadar. Misalnya, kebiasaan berkata kasar atau tidak menepati janji.

Menjadi teladan berarti menunjukkan perilaku positif setiap hari. Anak akan lebih mudah meniru tindakan yang konsisten dari orangtuanya. Dengan begitu, nilai baik akan tertanam kuat dalam diri mereka.

Masa depan anak yang sukses bukan hanya ditentukan pendidikan formal, tapi juga pola asuh di rumah. Dengan menghindari delapan kesalahan di atas, orangtua bisa membantu anak tumbuh percaya diri, mandiri, dan siap menghadapi tantangan. Jadi, dari kesalahan tadi, mana yang paling sering kamu lihat di sekitarmu?

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima Wima
EditorPinka Wima Wima
Follow Us

Latest in Life

See More

Hindari Brain Rot! NUVO Family Ingatkan Pentingnya Anak Main di Luar

03 Sep 2025, 15:39 WIBLife