Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Berhenti Melabeli Diri sebagai Anak Broken Home

ilustrasi orangtua bercerai (freepik.com/freepik)

Siapa pun pasti mendambakan keluarga yang harmonis dan hangat. Namun, tak semua dari kita memiliki keberuntungan itu. Sebagian orang harus menghadapi perpisahan orangtua atau konflik keluarga yang berkepanjangan, hingga menyematkan label ‘anak broken home’ pada diri sendiri, baik sadar maupun tidak. Meski awalnya terasa wajar, lambat laun, label ini justru bisa membebani.

Kenyataannya, kita lebih dari sekadar pengalaman masa lalu. Menanggalkan label tersebut membuka ruang bagi pertumbuhan dan pandangan hidup yang lebih luas. Berikut ini adalah alasan penting mengapa melepaskan label ini bisa meringankan hidup.  

1. Fokus pada masa lalu bisa menghambat hubungan yang sehat

ilustrasi pasangan berbincang (freepik.com/bearfotos)

Melabeli diri sebagai ‘anak broken home’ membuat hubungan kita dengan orang lain sulit berkembang. Rasa takut bahwa luka lama akan terulang kembal, dapat menghambat kepercayaan pada orang lain. Padahal, masa lalu seharusnya tidak menjadi tolok ukur dalam setiap hubungan. 

Melepaskan label tersebut membuka peluang untuk membangun ikatan yang lebih tulus dengan orang lain. Kita bisa hadir sepenuhnya dalam hubungan baru tanpa bayang-bayang pengalaman pahit. Dengan begitu, kedekatan bisa tumbuh secara alami dan membawa kualitas positif dalam setiap interaksi.

2. Agar bisa menikmati hidup dengan bebas

ilustrasi solo traveler (freepik.com/freepik)

Keadaan keluarga yang kurang ideal terkadang membatasi kita untuk menikmati hidup dengan penuh. Seolah-olah, ada perasaan bahwa kita ‘berbeda’ dan tidak layak bahagia seperti orang lain Akan tetapi, apakah kita ingin terus melihat diri dari sudut pandang yang sempit itu?

Kebahagiaan adalah hak semua orang, tanpa terkecuali. Menghapus label ‘anak broken home’ memberi kita kebebasan untuk hidup. Ingat bahwa kebahagiaan sejati datang ketika kita menerima diri seutuhnya, tanpa terbebani oleh apa yang telah terjadi.

3. Sebagai cara berdamai dengan masa lalu

ilustrasi tersenyum (freepik.com/cookie_studio)
ilustrasi tersenyum (freepik.com/cookie_studio)

Menganggap diri sebagai hasil kehancuran keluarga, membuat kita terjebak dalam rasa sakit yang sama. Label ini seolah lingkaran setan yang menghalangi kita untuk berdamai dengan diri sendiri. Menyebut diri sebagai ‘anak broken home’ nyatanya justru memperlambat proses pemulihan dan membuat kita sulit menerima masa kini. 

Sebaliknya, menerima keadaan memungkinkan kita merelakan apa yang telah terjadi. Berdamai dengan masa lalu bukan berarti mengabaikan pengalaman pahit tersebut, melainkan memilih fokus pada hari ini dan masa depan. Ini adalah langkah menuju ketenangan batin yang sesungguhnya. 

4. Belajar lepas dari tekanan untuk membuktikan diri kepada orang lain

ilustrasi kerja paruh waktu (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi kerja paruh waktu (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Tumbuh dari keluarga yang tidak utuh kadang membuat kita keras terhadap diri sendiri. Rasanya seperti ada keinginan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa kita bisa sukses atau tumbuh lebih kuat, meski latar belakang keluarga tidak sempurna. Sayangnya, pemikiran ini justru membuat kita tertekan.

Berhenti menganggap diri sebagai produk kegagalan keluarga membantu kita fokus pada apa yang benar-benar diinginkan dalam hidup. Tanpa tekanan untuk membuktikan sesuatu kepada orang lain, kita bisa lebih bebas mengejar impian dan tujuan pribadi. Proses ini membantu kita untuk mencintai diri sendiri, menerima keadaan, dan berjalan sesuai kehendak hati. 

5. Keluarga yang hancur tidak menentukan nilai diri kita

ilustrasi presentasi (pexels.com/ThisIsEngineering)

Keretakan keluarga mungkin memengaruhi perjalanan hidup, tetapi itu tidak menentukan siapa kita sebenarnya. Nilai diri kita bergantung pada bagaimana kita bertransformasi sebagai individu, bukan kondisi yang sedang dihadapi. Melepaskan label ini memungkinkan kita lebih menghargai diri, tanpa terikat pada kisah keluarga yang sulit.

Ingat, kita harus bangga menjadi diri sendiri. Meskipun kisah keluarga rumit, bukan berarti hidup hancur sepenuhnya. Oleh sebab itu, mindset positif bahwa kita dapat tumbuh dari pengalaman pahit menjadi penting guna membangun masa depan yang lebih cerah. 

Berhenti melabeli diri sebagai ‘anak broken home’ merupakan upaya meraih ketenangan batin. Kita semua berhak untuk menulis ulang cerita hidup dan lepas dari bayang-bayang masa lalu. Terlepas dari masalah keluarga, yang lebih penting adalah bagaimana kita melangkah ke depan dengan penuh harapan dan keyakinan. Jadi, ketika situasi keluarga terasa sulit, jangan pernah lupa kalau kamu berhak bahagia, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Annisa Isnaini
EditorAnnisa Isnaini
Follow Us